RSS

(sejenak) mengingat kematian

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Hampir empat belas jam pulang pergi perjalanan kami mengendarai mobil untuk menuju rumah salah seorang teman kami yang sedang berduka; ayahnya barusan menghembuskan nafas terakhirnya. Tentu saja kami terlambat tidak sempat mengikuti prosesi pemakanam maupun mengunjungi makamnya karena ketika kami sampai di rumahnya hari sudah malam sementara areal pemakaman cukup jauh. Maka kami pun mengucapkan bela sungkawa secara mendalam sebagai ungkapan perasaan empati atas apa yang mereka rasakan.

Sekitar satu jam kami berada di rumah duka. Selama itu terlihat jelas ketegaran keluarga itu menghadapi “musibah” yang menimpa mereka. Dengan lancar bahkan sesekali diselingi canda mereka menceritakan banyak hal seputar penyakit kepala keluarga itu, khususnya hari-hari menjelang kematiannya.

Bulan kemarin ayah mereka sempat opname dua minggu di sebuah rumah sakit tipes. Ia sempat kritis beberapa kali, namun ketika itu Allah swt masih mengijinkannya berkumpul dengan keluarganya. Setelah kondisinya membaik dan atas rekomendasi dokter, mereka membawa bapak itu pulang ke rumahnya. Dan pada awal-awal masa perawatan di rumah, kondisinya relatif stabil sehingga anak-anaknya pun (3 orang) kembali ke tempat kerja masing-masing dengan tenang apalagi masih ada ibu dan 2 adik perempuan mereka di rumah tersebut.

Tidak sampai dua minggu kemudian anak-anaknya yang berada jauh dari rumah sangat terkejut ketika siang itu mendapatkan telepon dari kerabat mereka bahwa ayahnya sudah tiada. Shock, kaget, sedih dan serangkaian rasa lainnya bergayut di hati masing-masing mereka. Tanpa pikir panjang mereka semua meminta ijin ke tempat kerja masing-masing untuk pulang.

Seperti halnya kami, merekapun tidak sempat membantu pengurusan jenazah ayahnya. Tempat tinggal mereka yang relatif jauh membutuhkan waktu paling tidak 12 jam untuk sampai ke rumah itu. Melalui kesepakatan melalui telepon mereka semua merelakan jenazah ayahnya di kuburkan tanpa kehadiran mereka semua; anak laki-lakinya.

Si sulung bercerita baru saja ia menyadari bahwa ayahnya sebenarnya telah memberi isyarat tentang kematiannya jauh-jauh hari sebelumnya. Ia ingat ketika itu mereka bergantian menyuapi makan ayahnya. Dan saat itu ayahnya dengan lahap makan makanan yang disuapi anak-anaknya. Namun (dalam ingatannya) pandangan ayahnya kosong, hampa dan tanpa daya. Itulah isyarat yang ia maksudkan dan barusan usai sholat maghrib tadi ia sadari.

Tidak lama kami berada di rumah teman kami tersebut. Hari semakin malam sementara tetangga kiri kanan mereka yang ingin melakukan doa bersama untuk si arwah (tahlilan) mulai berdatangan. Kamipun pamit pulang.

Cukup lama saya tidak menghadiri acara kematian seseorang atau mengunjungi sebuah makam. Terakhir 3 bulan yang lalu ketika menziarahi makam seorang teman yang satu hari sebelumnya meninggal dunia karena kecelakaan. Kemarin Allah swt memberikan kesempatan kembali untuk menginggat kematian, sesuatu yang relatif terlupakan dalam dinamika kehidupan seseorang terlebih ketika kesibukan mendera tiada akhirnya.

Ketika di mobil dalam perjalanan pulang dari rumah duka, saya teringat pesan salah seorang guru saya untuk sering-sering mampir jika melewati sebuah pemakaman. Beliau sering melakukan hal itu jika sedang bepergian dengan motonya untuk sebentar berbelok dari jalannya semula, menepi dan masuk ke pemakanam yang kebetulan beliau lewati. Menurut beliau itu sangat membantu seseorang untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kesombongannya. Mengapa harus sombong? Toh akhirnya akan mati juga.

Bahkan menurut guru saya itu kebiaaan tersebut sangat perlu dilakukan oleh anak-anak muda. Pada usia-usia ketika darah masih “panas”, tangan selalu mengepal “siap menghantam orang” dan syahwat “bergejolak dengan keras” harus sering dingatkan tentang kematian. Mendatangi pemakaman merupakan salah satu metode untuk menetralisir itu semua. Dan beliaupun telah mempraktekkannya.

Begitulah dengan kematian, sesuatu yang pasti akan menimpa semua makhluk hidup. Meskipun mengetahui sebagai suatu keniscayaan seringkali kita takut dan khawatir menghadapinya. Banyaknya kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan menjadi salah satu faktor penyebabnya ataupun juga kesadaran belum banyaknya amal yang telah kita lakukan selama ini.

Mari berbenah mumpung masih diberikan kesempatan dan waktu untuk memperbaiki diri. Tentu saja tidak boleh lupa untuk meminta di berikan kebaikan hidup di dunia, kesempatan bertaubat sebelum maut menjemput, mendapat kemudahan ketika mengahadapi sakaratul maut dan mendapatkan pengampunan semua kesalahan-kesalahan kita. Itu semua kita perlukan untuk mendapatkan ridha dan surganya Allah swt. Semoga.

| edit post

2 Responses to "(sejenak) mengingat kematian"

  1. Anonim Says:
  2. alhamd, artikelx mengingatkan saya di hari ni ttg kmatian ustad. btw, knp gak kasi tau nglayatx, spa tau saya jg bisa ikut.
    jangan lp bagi ilmu dong cara membuat itunya tu.... :)
  3. abinehanafi Says:
  4. wah... mahal bayarnya krn yang buat lg di malasyia perlu tiket pp

Posting Komentar