RSS

Kita (masih) terjebak (lagi)!

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim


Tidak ada tema lebih menarik di negeri ini hari-hari belakangan selain pemilu. Setiap hari hampir semua media massa cetak dan elektronik penuh dengan laporan tentang masalah ini. Belum lagi gambar-gambar orang-orang yang mempromosikan dirinya supaya nanti ketika coblosan orang “mencentang” wajahnya terpampang di setiap sudut jalan raya dan tempat-tempat yang orang banyak bisa melihatnya. Kesannya, semua energi, waktu, pikiran dan perasaan “tumplek bleg” ke ajang lima tahunan ini.

Boleh saja orang berasumsi bahwa apa yang mereka lakukan dalam rangka kebaikan bagi negeri tercinta Indonesia. Sah-sah saja kalau beranggapan tidak masalah biaya, waktu dan tenaga dikerahkan untuk mendapatkan pemimpin idaman demi satu tujuan : Indonesia Jaya!!!

Namun tidak salah juga kalau kemudian ada pikiran yang berbeda dan mengambil jalan yang berbeda pula. Bukankan itu juga bagian dari demokrasi, sistem yang selama ini mereka ikuti? Lalu apa yang mau dikomentari?

Hal pertama yang harus dijadikan perhatian adalah sistem itu sendiri karena sangat esensial. Satu sistem yang salah pasti akan melahirkan rententan-rentetan yang salah juga. Rasulullah saw pernah mengingatkan kita untuk tidak mengikuti jejak langkah (sunnah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bahkan lebih ekstrem beliau saw mengatakan “seandainya mereka masuk lubang biawakpun kalian akan ikut juga”

Jika kita beberapa waktu yang lalu berteriak-teriak boikot produk Yahudi, maka seharusnya juga millah dan sistem hidup mereka kita boikot. Maka mari kita lihat diri kita sendiri.

Ketika kita dengan penuh semangat turun ke jalan mengkumandangkan “hancurkan Israel” ataupun menempel poster boikot produk pendukung Yahudi di mana-mana, apakah aspek-aspek kita yang lain juga telah bersih dari campur tangan mereka? Sudahkah sistem ekonomi, pola pendidikan, pola asuh anak dan gaya hidup kita dalam berbusana, penampilan ataupun tontonan sudah “kinclong” dari pengaruh mereka. Termasuk juga apakah pola pemilihan kepemimpinan kita sudah beda dengan mereka? Adakah sunnah Rasulullah saw seseorang harus menawarkan diri dengan sebuah jabatan disertai “promosi” besar-besaran dengan menempel gambar dirinya di setiap sudut jalan?

Sekarang coba kita lihat dampak internal umat akibat “jor-joran” menyambut “pesta demokrasi 2009” ataupun partisipasi dalam sistem tersebut. Betapa tidak sedikit proyek umat yang ditinggalkan untuk ikut dalam pesta itu.

Berapa banyak lembaga-lembaga Islam seperti pondok pesantren yang kehilangan ustadz ataupun kiainya karena harus ikut berebut kursi dewan. Kalaupun tidak masuk bursa caleg, paling tidak menjadi tim sukses seseorang ataupun satu partai. Khususnya partai-partai yang mendeklare dirinya sebagai partai Islam.

Dengan keterlibatan kiai atau ustadz dalam pemenangan pemilu maka tidak bisa dielakkan pada sebagian acara pengajian ataupun kajian keIslaman mengalami pergeseran tema apa yang mereka sampaikan. Kalau semula tema yang diberikan adalah bagaimana seseorang itu semakin taat kepada Allah swt dalam aktifitas hidupnya, setelah beliau-beliau menjadi caleg ataupun tim sukses pihak tertentu maka topiknya adalah anjuran siapa yang harus dipilih dan partai apa yang harus dicoblos.

Belum lagi gesekan antar tokoh Islam karena berbeda partai dan kepentingan. Tidak jarang mereka saling menjelekkan secara terbuka di depan media. Semakin buram tentunya citra Islam di hadapan khalayak.

Dengan penggalangan opini yang sedemikian besarnya melalui media dan tokoh-tokoh penting, konsentrasi umat tersedot habis. Waktu, biaya, tenaga hilang sia-sia untuk memperjuangkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Padahal di pojok-pojok negeri ini masih banyak kaum muslimin yang dhuafa dari segala sisi kehidupan; aqidah, ibadah, ekonomi dan pendidikan. Sayang rasanya biaya milyaran bahkan trilyunan dipergunakan untuk sesuatu yang belum tentu mendapat ridho dari Allah swt.

Fenomena lain yang tidak kalah “menariknya” adalah perubahan standard kehidupan para anggota dewan sebelum dan setelah menjadi aleg. Tidak sedikit yang semula tinggalnya harus kontrak, tidak mempunyai kendaraan tiba-tiba sudah memiliki rumah yang tidak ada bedanya dengan istana para raja zaman dulu. Belum lagi deretan mobil-mobil mewah keluaran terbaru di tempat parkir.

Kalau seperti itu nasib siapa sesungguhnya yang diperjuangkan, rakyat atau mereka? Apa itu mungkin sisi positif dari pemilu, membuat orang yang semula bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa menjadi tokoh sekaligus kaya raya?

Tentu saja yang mendapat keuntungan terbesar adalah orang-orang yang menjual ideologi ini. Mereka senang karena produknya laku keras. Belum lagi peluang mereka untuk melakukan intervensi dan campur tangan ke dalam masalah-masalah negera-negara yang berpenduduk muslim. Dengan kata lain kebangkitan dan kejayaan Islam bisa mereka tunda lebih lama lagi.

“Akan datang suatu masa seluruh kaum akan berkoalisi ingin menguasai kalian, seperti berkumpulnya orang-orang di pinggir meja makan ketika akan menyantap makanan”. Sahabat bertanya: “apakah karena jumlah kami yang sedikit pada saat itu.” Nabi s.a.w menjawab: “bahkan jumlah kalian saat itu, justru sangat banyak. Akan tetapi tak ubahnya seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa takut pada musuh kalian, sebaliknya Allah menanamkan di hati kalian penyakit wahn”. Sahabat kembali bertanya: “apa itu penyakit wahn.” Nabi s.a.w bersabda: “cinta dunia dan takut mati.” (HR.Abu Dawud)

Akankah kita akan terus berputar-putar di tempat ini?

| edit post

1 Response to "Kita (masih) terjebak (lagi)!"

  1. joe Says:
  2. Begitulah, masa kampanye mereka ramai-rami mendekati rakyat dan menjanjikan ini-itu, padahal semua itu tidak tulus dan ada maunya...

Posting Komentar