oleh : Suharsono
Islam Dewasa Ini
Benturan peradaban akan terjadi, jika dua peradaban yang dimaksud tersebut memiliki kesetaraan sumberdaya, kekuatan dan juga keberanian. Tetapi jika satu peradaban lebih superior dibandingkan yang lain, yang terjadi bukanlah benturan tetapi imitasi (peniruan).
Peradaban yang inferior menyerap dan meniru berbagai aspek dan nilai-nilai kehidupan yang berasal dari peradaban yang dipandang superior. Jika imitasi dan penyerapan itu berlangsung terus, maka tentunya terjadi infiltrasi dan penetrasi, yang sengaja atau tidak, dilakukan peradaban yang superior tersebut terhadap peradaban yang inferior, dan pada gilirannya peradaban yang inferior itu kehilangan seluruh energinya dan mati, kecuali yang tersisa hanyalah sebuah nama atau label.
Realitas umat Islam yang ada dewasa ini adalah akibat dari suatu inferioritas peradaban ketika berinteraksi dengan Barat materialisme yang superior. Pandangan umat Islam secara relatif dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah buah dari sekulerisasi, yang merupakan derivat langsung dari materialisme. Oleh karena itu maka untuk memodernisasi haruslah dengan jalan sekulerisasi dan menjadi sekuler.
Asumsi yang keliru ini, sudah barang tentu membawa sikap keterlanjuran untuk “menganggap” akan sebabnya (sekulerisme) daripada melihat fenomena modernisasi itu sendiri. Kesalahan medotologis ini berlanjut dengan upaya-upaya pemusatan perhatian terhadap idealitas-idealitas dan norma sekuler, sementara itu modernisasi menjadi dinomorduakan. Oleh sebab itu hasil ini hasil akhir dari langkah-langkah demikian bagi umat Islam, adalah “sekulerisasi” dan bukannya “modernisasi.”
Mesir adalah korban pertama dari sekulerasi. Negara yang bentuk awalnya terdiri atas umat Islam tradisionis dengan menempatkan ulama dalam posisi sentral kehidupan masyarakat, dan untuk penjaga gawang kelestarian etika dan norma-norma agama, untuk pertama kalinya diguncang oleh Muhammad Ali Pasha (1805-1849), yang keranjingan dengan upaya sekulerismenya. Tindakan ini dijalankan oleh Muhammad Ali dan putranya, Ibrahim Pasha, dengan cara pembrangusan institusi tradisional dan cara-cara teroris lainnya, sebagai salah satu upaya pemaksaan inovasi-inovasi sekuler, yang sesungguhnya memang tak akan pernah dapat diterima oleh ulama tradisionis.
Tindakan-tindakan pembrangusan yang dilakukan oleh Muhammad Ali, dalam term, Machiavelli sesungguhnya merupakan kenyataan yang mudah dipahami; karena peranan sentral ulama tradisionis bagi masyarakat tetap akan menjadi kendala bagi pembaharuan-pembaharuan sekuler. Karena itu, untuk membungkam ulama, Muhammad Ali mengambil tindakan-tindakan taktis dengan jalan mendatangkan ahli-ahli dari Perancis untuk berperan serta dalam pemerintahannya, di samping yang tak kalah efektifnya adalah pengiriman-pengiriman pemuda dan pelajar Mesir ke Perancis, yang sudah barang tentu akan mudah difungsikan sebagai propagandis-propagandsi baru dalam rangka mendukung sekulerisme di Mesir.
Di tangan Khediv Ismail (1863-1879) sekulerisasi di Mesir mencapai puncak keberhasilannya. Jika pada masa Muhammad Ali sekulerisasi lebih banyak ditandai dengan nafas-nfas modernisme yang mengambil bentuknya berupa pembaharuan-pembaharuan teknologi militer dan industri, maka pada pemerintahan Khediv Ismail sekulerisme diinjeksikan ke dalam “adab-budaya” Mesir. Pada masa ini, terjadi perombakan besar-besaran yang meliputi konsepsi-konsepsi, pranata-pranata dan sistem dalam berbagai bidang dan yang terpokok adalah sosio-ekonomi serta pemerintahan. Dengan demikian terjadi pergeseran-pegeseran dan merubah keseimbangan masyarakat Masir; elite-elite sosial baru mulai bermunculan yang disiapkan rezim Khediv Ismail sebagai penyangga, menuju ke sebuah negara Mesir modern.
Impian Khediv Ismail untuk menjadikan Mesir sebagai “bagian dari Eropa,” dicoba melalui aktivitas-aktivitas antara lain, membuka komunitas-komunitas luar negeri, mendirikan sekolah-sekolah sekuler, mengintroduksi kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan etika Barat terhadap masyarakat. Dalam pengembangan yang relatif singkat, pranata-pranata sekuler ini, mampu mengembangkan sayapnya menyeruak ke dalam detail-detail kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menggeser norma-norma agama; sehingga melorot tajam menjadi standard sekunder dalam tata hidup sosial di Mesir.
Apa yang terjadi di Mesir dalam skala yang lebih revolusioner terjadi di Turki. Fenomena awal sekulerisasi di Turki ditandai oleh provokasi-provokasi moderat yang dilancarkan oleh Nemik Kemal bersama Ali Su’awi Efendi melalui artikel-artikel di Tasfiri Efkar dan ceramah Ramadhan. Tetapi karena kuatnya posisi di kalangan tradisionis, menjadikan upaya-upaya mereka tidak efektif. Barulah ketika lahir angkatan muda Turki sekitar tahun 1871-1872, Namik Kemal berhasil membakar semangat nasionalisme angkatan muda, yang pada intinya merupakan ‘jiplakan’ tema-tema revolusi Perancis tahun 1865, yang menyenandungkan nation d’etre. Ide-ide sekuler mula-mula memperoleh lahan di kalangan intelektual (westernized), kemudian berkembang luas menembus inti kekuasaan yang paling dalam, yang pada akhirnya mencapai puncak kemenangan, di mana Turki untuk pertama kalinya dipakai sebutan dari negara dan rakyat Ottoman ini.
Perkembangan sentimen ke-Turki-an semakin dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang utuh dan terencana, semakin menjauhi praktek-praktek Islami, dan semakin dekat dengan Barat. Kenyataan demikian ditandai dengan pembaharuan-pembaharuan jangka pendek, yang dimaksudkan untuk menyebrangkan bangsa ini dari peradaban Islam ke peradaban Barat.
Tetapi sebuah kekuatan pemerintahan sekuleris muncul yang secara capat menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Islam baru menampakkan garangnya, ketika Mustafa Kemal Pasha dengan Angkatan Muda Turki, berhasil menggulingkan dinasti Ottoman. Tahun 1923 konstitusi Turki, di bawah Attaturk menghapuskan Islam sebagai ajaran agama negara. Agama dijadikan sebagai urusan pribadi-pribadi dan sama sekali lepas dari urusan-urusan soisal. Selanjutnya sebagai konsekuensi logis, kaena agama tidak lagi menjadi urusan negara, maka Khilafah dihapuskan, kantor komisariat syari’ah ditutup dan digantikan dengan kode Swiss.
Di dunia Islam sesungguhnya ada sejenis nasionalisme yang memang merupakan fenomena umum, karena latar belakang etnis dan geografis, tetapi bukanlah berarti kondisi demikian kemudian dapat dipakai sebagai dasar pijakan (raison d’etre) lahirnya nasionalisme yang menuntut loyalitas tertinggi masyarakat.18 Tetapi kenyataan yang terjadi di Turki, telah berubah menjadi sedemikian akutnya. Kerena nasionalisme berpadu dengan ruh sekulerisme, dan setelah melalui ketegangan-ketegangan yang memuncak, antara kalangan tradisionis dengan westernized, akhirnya Islam sebagai ajaran yang mendarah daging dalam masyarakat terdepak ke luar.
Begitu juga yang terjadi di belahan-belahan lain dunia Islam, roda sekulerisme terus menggelinding merobohkan mata rantai kehidupan soisal yang telah mapan. Meskipun hembusannya tidak sekencang di Turki, paket sekulerisme dalam gayanya yang sama juga melanda Iran terutama sekali pada awal abad 20-an. Setelah revolusi Konstituante tahun 1905-1911, Iran sekali lagi terperosok ke dalam tata kehidupan diktatorian.
Situasi Iran di bawah dinasti Pahlevi yang demikian sekuler ini, pada awalnya didahului persaingan-persaingan dan ketegangan antara beberapa kubu ulama yang masing-masing pihak mencoba mempertahankan mahzabnya dengan berusaha mnerontokkan mahzab lain. Oleh sebab itu lahirnya negara sekuler di Iran, bukan saja sebagai situasi yang ditolelir, tetapi dimaafkan. Alasan ulama-ulama yang bertengkar ini, antara lain terlihat dari pandangannya, yang menempatkan negara (sekuler) sebagai pembentuk suatu bagiaan integral kekuatan Islam, dan bukannya suatu keuatan jahat yang terpisah.
Pelucutan peran dan fungsi ulama tradisionis dilakukan secara bertahap, sebagai upaya pembatasan otorisasi fuqhaha dalam proses kehidupan sosiokultural. Hal ini selain dudukung oleh mujtahid yang lekat dalam gaya hidup sekulerisme seperti Talibzada, Malkhom Khan, Mirza Aga Khan Kirmani, juga disebabkan oleh kalangan konstitusionalis yang gagal membuktikan diri sebagai pemerintahan yang mampu membuat pranata-pranata pembangunan masyarakat dengan etik Barat modern. Oleh sebab itu, ketika dinasti baru sejak memupuk kekuasaan tahun 1920-an dengan implementasinya kebijaksanaan-kebijaksanaan sosiokultural sekuler, fuqhaha telah banyak terdesak mundur, sehingga kegiatannya hanya terbatas pada masjid-masjid dan madrasah-madrasah, yang telah “diciutkan fungsinya” oleh rezim sekuler.
Penanaman ide-ide sekuler, setelah menancapkan akar-akarnya di semua sektor pemerintahan, segera melebar ke distrik-distrik pendidikan di hampir semua tingkat. Pendidikan sekuler wajib dilaksakan disekolah-sekolah milik negara, sementara itu penerapan hukum dan sistem peradilan, langsung di bawah menteri kehakiman yang dibantu oleh hakim-hakim dari yang berpendidikan sekuler.
Modernisasi sistem-sistem pendidikan dengan menggunakan model Barat sekuler, merupakan senjata paling efektif yang digunakan rezim Pahlevi untuk mermehkan pengaruh “perjuangan” tokoh-tokoh Islam. Untuk lebih menjatuhkan dan lebih mengucilkan kalangan ulama, rezim Pahlevi sengaja menginjeksi ke dalam kesadaran masyarakat suatu prototype budaya yang diambil dari sejarah Iran pra Islam, khususnya budaya Arya.
Berbagai wajah sekulerisme yang mulai muncul pada abad XIX sampai pertengahan abad XX, sesungguhnya tidak hanya berkembang di Mesir, Turki maupun Iran tetapi dalam bentuknya yang lebih pragmatis dan terkemudian, juga terjadi di Tunisia, Nigeria, Sinegal dan berbagai wilayah lainnya, termasuk Indonesia yang secara intensif di mulai dari era Soekarno.
Dalam masalah keyakinan, sebatas menyakini tentang adanya Allah, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir (sekuler). Hal ini misalnya ditunjukan oleh Al-Qur’an;
"Dan sesungguhnya jika kamu menanyakn kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “ Allah.” Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Q.S. 31: 25)
Akan tetapi bagi orang-orang kafir, keyakinan tentang adannya Allah, tidak dikembangkan sebagai keyakinan hidup yang sekaligus merupakan standard norma tingkah lakunya. Bahkan istilah kafir yang dikenakan untuk mereka itu adalah wujud penolakan sacara definitif terhadap keharusan taat kepada Allah. Sebagaiman yang diklaim Al-Qur’an sendiri:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunksn Allah.” Mereka menjawab: “(tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kam mengerjakannya.” Dan apakah (mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)?” (Q.S. 31: 21)
Kondisi orang kafir yang demikian, tak jauh berbeda dengan sikap iblis untuk sujud (hormat) kepada Adam (Q.S. 2: 30-39). Keduanya memilih konfrontasi dengan menanggung segala resikonya, ketimbang harus tunduk kepada perintah-perintah Tuhan. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang-orang Mukmin. Tidak seorang kafir pun membiarkan orang Mukmin memperoleh kebahagiaan dan kemenangan, kecuali mereka terus menerus menggangunya, dan bila mungkin menariknya ke dalam golongannya (Q.S. 2:120).
Kenyataan sikap yang demikian ini, dalam kapasitas makronya, berarti upaya pendominasian pranata-pranata soisal yang secara teologis dimaksudkan mendepak pranata-pranata Tuhan (sunnatuddin) untuk diganti dengan norma-norma relatif hasil terkaan dan prasangka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah (Q.S. 6:136-139). Tak syak lagi, meskipun tidak sama persis antara orang-orang kafir dengan kondisi oranmg-orang sekuler dalam abad XIX dan XX ini, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya mempunyai kencenderungan sikap serta pemikiran yang sama.
Oleh sebab itu bagaimanakah nasib umat Islam di bawah pemerintahan sekuler? Kencangnya arus sekulerisasi yang melanda dunia Islam, pada akhirnya menciptakan berbagai ketergantungan baru, umat Islam kepada materialisme Barat, yang semakin lama terlihat adanya bahaya yang semakin fatal. Berbagai bentuk ketergantungan itu antara lain terletak pada konsepsi pemikiran dan intelektual, sosio-pemerintahan, ekonomi dan militer. Dalam lapangan intelektual misalnya, terlihat betapa dominasi ilmu pengetahuan oleh Barat terahadap umat Islam, baik dari segi materi keilmuan maupun tuntutan metodologis.
Kenyataan demikian, apabila terus-menerus menjadi tempat ketergantungan ilmuwan-ilmuwan Muslim, sudah barang tentu mereka akan gagal memberikan interpretasi yang representaif terhadap ajaran agamanya sendiri. Seperti kita saksikan sekarang ini, di mana para ilmuwan Muslim papan atas dengan tegas mengatakan bahwa konsepsi kenegaraan, ekonomi, sosial dan lain-lain tidak ada dalam Al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan kondisi umat Islam di bawah pemerintahan yang sekuler dan dengan kondisi para ilmuwan Muslim yang tidak berdaya dalam merumuskan konsepsi kehidupan dari ajaran Islam sendiri? Realitas umat Islam yang demikian dapat diibaratkan seperti anak yatim piyatu yang tanpa perlindungan, dan dengan demikian mudah menjadi ‘santapan srigala.’ Kita saksikan sekarang ini, bahwa tema-tema pemikiran, gaya hidup dan prilaku umat Islam adalah fungsi dari materialisme. Hal itu terjadi tidak saja di kalangan elite tetapi juga sudah merata sampai ke akar rumput. Kita hidup dalam suatu zaman, sebagaimana diisyaratkan Rasulullah saw, penuh dengan dan diselimuti debu kejahiliyahan dan dosa, yakni materialisme. Kita mungkin tidak menyukainya tetapi tak dapat menghindarinya.
Membangun Peradaban Islam: Mungkinkah?
Pertanyaan besar ini kita ajukan, karena situasi yang melingkupi dunia Islam adalah sedemikian rupa, sehingga setiap niat baik, apalagi cita-cita besar untuk mewujudkan peradaban Islam di masa depan. Dengan pertanyaan itu setidaknya kita akan berpikir dan menganalisis seberapa besar tantangan yang kita hadapi, potensi yang kita miliki didasarkan atas asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kemampuan kita dalam memberikan analisa inilah yang secara relatif memberikan “rasa” optimis atau pesimis, meskipun secara doktrinatif tentu kita juga harus memiliki perasaan optimis.
Sebagaimana diuraikan di depan bahwa semua aspek kehidupan umat Islam secara riil telah dideterminasi oleh nilai-nilai peradaban materialisme. Bagaimanakah ekonomi, politik, hukum, hankam, seni dan entertainment kita, pada kenyataannya adalah hasil imitasi konsep dan peniruan dari Barat. Artinya, tak ada satu aspek realitas keumatan pun yang siap untuk berbenturan dengan realitas kehidupan yang ada dalam peradaban materialisme Barat. Tetapi jika kita bertanya pada diri sendiri dan mengukur keyakinan kita; sebenarnya mana yang lebih kredible antara ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dibandingkan dengan ajaran hidup yang dimiliki peradaban Barat. Kita akan mendapatkan jawaban yang sangat optimis; ajaran Islamlah yang lebih unggul dan kredible.
Ada perasaan superior di hati kita dan tentu umat Islam umumnya, berkenaan dengan keunggulan ajaran yang dimilikinya, bila dibandingkan dengan ajaran lain, baik berupa kitab suci agama lain maupun falsafah hidup buatan manusia lainnya. Titik awal dalam membangun peradaban Islam yang kita cita-citakan haruslah berawal dari domain, di mana kita sendiri memiliki perasaan superior itu sendiri. Karena rasa superior itulah yang akan mendorong kita untuk bersifat ekspansif dalam membangun peradaban.
Pada satu sisi dapat dikatakan bahwa superioritas dan atau inferioritas suatu peradaban itu sepenuhnya tergantung pada dua hal. Pertama, ajaran-ajaran atau nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam peradaban yang bersangkutan. Misalnya, seberapa sahihkan pandangan yang berasal dari ajaran peradaban tersebut memberikan pernyataan tentang sesuatu, termasuk pandangan tentang masa depan umat manusia.
Bagaimana ajaran itu merespons pikiran-pikiran manusia, dari persoalan sehari-hari sampai dengan hal-hal yang bersifat substantive dan transendensi. Apakah pernyataan-pernyataan dari ajaran itu bisa dibuktikan dalam kehidupan. Artinya, apakah jika seseorang mengikuti secara penuh ajaran yang diyakininya akan memperoleh kesuksesan hidup dan sebagainya.
Kedua, terletak pada kemampuan interpretasi sumberdaya insani yang terdapat dan menjadi pendukung dalam peradaban tersebut, sehingga ajaran-ajarannya memiliki kontekstualisasi dengan problem-problem kemanusiaan pada masanya, dan tentunya dengan konsistensi logis yang memadai. Artinya, apakah sumberdaya insani yang menjadi penyangga peradaban tersebut itu terdiri atas manusia-manusia yang cerdas, tercerahkan dan mampu membangun konsep tentang berbagai aspek kehidupan yang diturunkan dari ajaran tersebut atau tidak.
Jika suatu peradaban tidak memiliki ajaran yang kredible atau handal dalam melayani tantangan intelektual dan tidak mampu memberikan jawaban yang futuristik, apalagi jika mengalami inkonsistensi ketika dipraktekkan, maka cepat atau lambat peradaban tersebut pasti akan mati dan tak akan sanggup hidup lagi. Contoh tentang peradaban ini adalah peradaban manusia klasik, seperti Sumeria, Mesir, Romawi dan yang kontemporer, adalah Komunisme. Peradaban-peradaban itu bertahan hidup karena dikawal oleh kekuasaan yang tiranik dan diktator. Tetapi secara intrinsik (dari dalam sendiri) akan mengalami kehancuran, karena ajarannya memang inkonsisten.
Sebaliknya juga, meskipun suatu peradaban memiliki ajaran yang kredible, tetapi jika sumberdaya insani yang dimilikinya tidak mampu menginterpretasikan ajaran tersebut pada konteks kehidupan yang tengah berlangsung, maka peradaban yang bersumber dari ajaran yang kredible tersebut tetap tidak mampu berkembang. Contoh tepat tentang peradaban yang dimaksudkan ini adalah Islam. Ajaran Islam, karena dipresentasikan oleh orang-orang yang inferior, menyebabkan, seolah-olah tidak lagi memadai untuk menjawab problema manusia. Meskipun demikian, jika pada suatu masa tertentu peradaban yang memiliki ajaran yang kredible itu memiliki sumberdaya insani yang unggul, maka sudah semestinya akan menjadi peradaban yang superior. Peradaban yang superior adalah peradaban yang seluruh ajarannya kredible dan memiliki sumberdaya insani yang handal, mampu memberikan pandangan-pandangan dan interpretasinya tentang kehidupan ini maupun mendatang secara memadai berdasarkan ajaran peradaban yang dimilikinya dan wajar menjadi “kiblat” peradaban manusia.
Realitas peradaban Islam sekarang ini berada dalam posisi superior, jika ditinjau dari perspektif ajaran. Sebaliknya Islam adalah peradaban yang inferiror, jika ditinjau dari sumber daya insani. Islam, seperti dinyatakan dalam kata-kata bijak adalah ajaran yang tertinggi dan tidak ada yang menyamainya (al-islaamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alayhi). Tetapi sebaliknya juga Islam tertutupi [pancaran dan superioritasnya] oleh kebodohan umat Islam sendiri.
Peradaban yang merasa superior, secara fenomenal, akan mengemukakan pandangan-pandangan dan interpretasinya untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Lebih dari itu, mereka akan mengajak pihak lain bahkan memaksanya untuk mengikuti apa yang dianggapnya baik tersebut, dan biasanya tanpa memberikan empaty untuk melihat ajaran peradaban yang menjadi pilihan pihak lain. Peradaban Barat, yang diklaim oleh sejumlah opini dominan sebagai peradaban yang ‘paling maju’ dan akan membawa umat manusia pada kemajuan dan kemakmuran (materi), kini merasa mendapatkan saingan baru setelah musuh bebuyutannya (Komunisme) tumbang. Dan, saingan baru itu, yang tidak hanya merupakan rival tetapi berpotensi menghasilkan benturan peradaban yang amat dahsyat, adalah Islam. Karena ajaran Islam, siapapun mengetahui, adalah yang paling kredible dan handal untuk menyelamatkan manusia, di dunia ini dan akherat kelak. Itulah mengapa, peradaban Barat yang direpresentasikan oleh Amerika, Inggris, Perancis dan sejumlah negara Eropa lain, lebih suka menjadikan orang-orang Muslim sebagai sasaran tembak ketimbang terhadap ajaran Islam. Karena sumberdaya insani Islam (Muslim), saat ini adalah titik lemah kebangkitan peradaban Islam. Masalahnya, menjadi berbeda, jika Barat berani membidik ajaran Islam itu sendiri untuk dibenturkan dengan ajaran sekuler. Karena bila ajaran Islam diangkat ke permukaan, menjadi wacana global, dengan sendirinya akan memberikan penetrasi dan menginfiltrasi setiap manusia, tak peduli dari manapun latar belakang peradabannya, selama memiliki integritas intelektual.
Dengan demikian, kunci utama membangun peradaban Islam pada masa kita sekarang ini adalah dengan mengembangkan superioritas, terutama bagi mereka yang merasa “terpanggil” untuk urusan besar ini. Hal ini sangat penting, agar kesempurnaan ajaran Islam, dalam semua aspek kehidupan manusia, mendapatkan orang-orang terpilih dan sekaligus representatif untuk mempresentasikannya di hadapan seluruh umat manusia. Bila tidak demikian, maka kebesaran ajaran Islam diselubungi oleh kebodohan kaum Muslim, yang pada gilirannya komunitas yang berasal dari peradaban lain, karena interaksinya dengan orang-orang Muslim yang seperti itu, akan meremehkan ajaran Islam itu sendiri, tanpa mengkajinya secara obyektif.
Superioritas itu, seperti tercermin dalam ajaran Al-Qur’an, terletak pada kesempurnaan spirirtual dan intelektual seseorang, yang tentunya akan memanifestasikan pada akhlaq dan prilaku, serta sikap hidup yang Islami. Dalam hal ini kita yang hidup di Hidayatullah telah memulai dengan langkah yang benar, yakni dengan memperbanyak ibadah, termasuk menegakkan shalat lail secara kontinyu. Intensitas spiritual, di samping memanifestasikan prilaku individual yang Islami, juga tercermin dalam perspektifnya pada aspek-aspek sosial yang penting, seperti kekuasaan, materi dan hal ikhwal duniawi lainnya. Seseorang yang memiliki spiritualitas memadai akan tetap superior dan determinan bila berinteraksi dengan para penguasa, begitu juga ketika berinteraksi dengan orang-orang kaya. Tetapi superioritas spiritual, yang hanya didukung oleh ritualisme tidaklah cukup. Perlu ada intelektualisasi yang memadai dan itu berarti mengharuskan kita untuk berani berbenturan dengan berbagai wacana dan pemikiran yang berkembang. Dalam kebijakan taktis dan strategisnya kita perlu membangun basis kaderisasi yang handal, sehingga mampu menjadi juru bicara yang kompeten tentang peradaban Islam yang kita harapkan.
Membangun superioritas intelektual adalah dengan mempertajam dan memperkaya intelektualitas. Dalam konteks ini, kita yang hidup di Hidayatullah, sebenarnya adalah orang-orang yang cukup banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hanya saja perlu diketengahkan di sini, bahwa pola interaksi kita dengan Al-Qur’an sangat terbatas (membaca dalam pengertian yang sempit). Kita belum sampai pada pola pembacaan yang bersifat eksploratif dan mengetengahkan Al-Qur’an itu dalam “bahasa konsep,” yang dapat dipahami oleh orang-orang yang sekadar mengandalkan common sense. Pembacaan yang bersifat eksploratif, memungkinkan kita untuk mengenal tentang bagaimana Al-Qur’an memberikan pandangannya atas sesuatu hal juga pola logika yang kaya dan determinatif. Begitu juga dengan pengajuan-pengajuan pertanyaan yang mengacu pada know how dan know why, memungkinkan kita memperoleh sistem penjelas yang inspiratif dan genuine. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam berinteraksi dengan sirah nabawiyah. Keduanya, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan menghasilkana sistem penjelas yang luas dan otoritatif mengatasi episteme dan argumentasi yang dikembangkan oleh sains dan disiplin modern.
Membangun peradaban Islam, berarti mengislamkan seluruh dunia ini, dalam setiap aspek dan tingkatnya. Misi-misi Islam harus dijelaskan dengan pola logika dan kerangka berfikir yang Islami pula. Tentu saja ini suatu pekerjaan besar, yang membutuhkan kesabaran seorang ideolog, untuk mewujudkannya. []
Islam Dewasa Ini
Benturan peradaban akan terjadi, jika dua peradaban yang dimaksud tersebut memiliki kesetaraan sumberdaya, kekuatan dan juga keberanian. Tetapi jika satu peradaban lebih superior dibandingkan yang lain, yang terjadi bukanlah benturan tetapi imitasi (peniruan).
Peradaban yang inferior menyerap dan meniru berbagai aspek dan nilai-nilai kehidupan yang berasal dari peradaban yang dipandang superior. Jika imitasi dan penyerapan itu berlangsung terus, maka tentunya terjadi infiltrasi dan penetrasi, yang sengaja atau tidak, dilakukan peradaban yang superior tersebut terhadap peradaban yang inferior, dan pada gilirannya peradaban yang inferior itu kehilangan seluruh energinya dan mati, kecuali yang tersisa hanyalah sebuah nama atau label.
Realitas umat Islam yang ada dewasa ini adalah akibat dari suatu inferioritas peradaban ketika berinteraksi dengan Barat materialisme yang superior. Pandangan umat Islam secara relatif dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah buah dari sekulerisasi, yang merupakan derivat langsung dari materialisme. Oleh karena itu maka untuk memodernisasi haruslah dengan jalan sekulerisasi dan menjadi sekuler.
Asumsi yang keliru ini, sudah barang tentu membawa sikap keterlanjuran untuk “menganggap” akan sebabnya (sekulerisme) daripada melihat fenomena modernisasi itu sendiri. Kesalahan medotologis ini berlanjut dengan upaya-upaya pemusatan perhatian terhadap idealitas-idealitas dan norma sekuler, sementara itu modernisasi menjadi dinomorduakan. Oleh sebab itu hasil ini hasil akhir dari langkah-langkah demikian bagi umat Islam, adalah “sekulerisasi” dan bukannya “modernisasi.”
Mesir adalah korban pertama dari sekulerasi. Negara yang bentuk awalnya terdiri atas umat Islam tradisionis dengan menempatkan ulama dalam posisi sentral kehidupan masyarakat, dan untuk penjaga gawang kelestarian etika dan norma-norma agama, untuk pertama kalinya diguncang oleh Muhammad Ali Pasha (1805-1849), yang keranjingan dengan upaya sekulerismenya. Tindakan ini dijalankan oleh Muhammad Ali dan putranya, Ibrahim Pasha, dengan cara pembrangusan institusi tradisional dan cara-cara teroris lainnya, sebagai salah satu upaya pemaksaan inovasi-inovasi sekuler, yang sesungguhnya memang tak akan pernah dapat diterima oleh ulama tradisionis.
Tindakan-tindakan pembrangusan yang dilakukan oleh Muhammad Ali, dalam term, Machiavelli sesungguhnya merupakan kenyataan yang mudah dipahami; karena peranan sentral ulama tradisionis bagi masyarakat tetap akan menjadi kendala bagi pembaharuan-pembaharuan sekuler. Karena itu, untuk membungkam ulama, Muhammad Ali mengambil tindakan-tindakan taktis dengan jalan mendatangkan ahli-ahli dari Perancis untuk berperan serta dalam pemerintahannya, di samping yang tak kalah efektifnya adalah pengiriman-pengiriman pemuda dan pelajar Mesir ke Perancis, yang sudah barang tentu akan mudah difungsikan sebagai propagandis-propagandsi baru dalam rangka mendukung sekulerisme di Mesir.
Di tangan Khediv Ismail (1863-1879) sekulerisasi di Mesir mencapai puncak keberhasilannya. Jika pada masa Muhammad Ali sekulerisasi lebih banyak ditandai dengan nafas-nfas modernisme yang mengambil bentuknya berupa pembaharuan-pembaharuan teknologi militer dan industri, maka pada pemerintahan Khediv Ismail sekulerisme diinjeksikan ke dalam “adab-budaya” Mesir. Pada masa ini, terjadi perombakan besar-besaran yang meliputi konsepsi-konsepsi, pranata-pranata dan sistem dalam berbagai bidang dan yang terpokok adalah sosio-ekonomi serta pemerintahan. Dengan demikian terjadi pergeseran-pegeseran dan merubah keseimbangan masyarakat Masir; elite-elite sosial baru mulai bermunculan yang disiapkan rezim Khediv Ismail sebagai penyangga, menuju ke sebuah negara Mesir modern.
Impian Khediv Ismail untuk menjadikan Mesir sebagai “bagian dari Eropa,” dicoba melalui aktivitas-aktivitas antara lain, membuka komunitas-komunitas luar negeri, mendirikan sekolah-sekolah sekuler, mengintroduksi kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan etika Barat terhadap masyarakat. Dalam pengembangan yang relatif singkat, pranata-pranata sekuler ini, mampu mengembangkan sayapnya menyeruak ke dalam detail-detail kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menggeser norma-norma agama; sehingga melorot tajam menjadi standard sekunder dalam tata hidup sosial di Mesir.
Apa yang terjadi di Mesir dalam skala yang lebih revolusioner terjadi di Turki. Fenomena awal sekulerisasi di Turki ditandai oleh provokasi-provokasi moderat yang dilancarkan oleh Nemik Kemal bersama Ali Su’awi Efendi melalui artikel-artikel di Tasfiri Efkar dan ceramah Ramadhan. Tetapi karena kuatnya posisi di kalangan tradisionis, menjadikan upaya-upaya mereka tidak efektif. Barulah ketika lahir angkatan muda Turki sekitar tahun 1871-1872, Namik Kemal berhasil membakar semangat nasionalisme angkatan muda, yang pada intinya merupakan ‘jiplakan’ tema-tema revolusi Perancis tahun 1865, yang menyenandungkan nation d’etre. Ide-ide sekuler mula-mula memperoleh lahan di kalangan intelektual (westernized), kemudian berkembang luas menembus inti kekuasaan yang paling dalam, yang pada akhirnya mencapai puncak kemenangan, di mana Turki untuk pertama kalinya dipakai sebutan dari negara dan rakyat Ottoman ini.
Perkembangan sentimen ke-Turki-an semakin dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang utuh dan terencana, semakin menjauhi praktek-praktek Islami, dan semakin dekat dengan Barat. Kenyataan demikian ditandai dengan pembaharuan-pembaharuan jangka pendek, yang dimaksudkan untuk menyebrangkan bangsa ini dari peradaban Islam ke peradaban Barat.
Tetapi sebuah kekuatan pemerintahan sekuleris muncul yang secara capat menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan Islam baru menampakkan garangnya, ketika Mustafa Kemal Pasha dengan Angkatan Muda Turki, berhasil menggulingkan dinasti Ottoman. Tahun 1923 konstitusi Turki, di bawah Attaturk menghapuskan Islam sebagai ajaran agama negara. Agama dijadikan sebagai urusan pribadi-pribadi dan sama sekali lepas dari urusan-urusan soisal. Selanjutnya sebagai konsekuensi logis, kaena agama tidak lagi menjadi urusan negara, maka Khilafah dihapuskan, kantor komisariat syari’ah ditutup dan digantikan dengan kode Swiss.
Di dunia Islam sesungguhnya ada sejenis nasionalisme yang memang merupakan fenomena umum, karena latar belakang etnis dan geografis, tetapi bukanlah berarti kondisi demikian kemudian dapat dipakai sebagai dasar pijakan (raison d’etre) lahirnya nasionalisme yang menuntut loyalitas tertinggi masyarakat.18 Tetapi kenyataan yang terjadi di Turki, telah berubah menjadi sedemikian akutnya. Kerena nasionalisme berpadu dengan ruh sekulerisme, dan setelah melalui ketegangan-ketegangan yang memuncak, antara kalangan tradisionis dengan westernized, akhirnya Islam sebagai ajaran yang mendarah daging dalam masyarakat terdepak ke luar.
Begitu juga yang terjadi di belahan-belahan lain dunia Islam, roda sekulerisme terus menggelinding merobohkan mata rantai kehidupan soisal yang telah mapan. Meskipun hembusannya tidak sekencang di Turki, paket sekulerisme dalam gayanya yang sama juga melanda Iran terutama sekali pada awal abad 20-an. Setelah revolusi Konstituante tahun 1905-1911, Iran sekali lagi terperosok ke dalam tata kehidupan diktatorian.
Situasi Iran di bawah dinasti Pahlevi yang demikian sekuler ini, pada awalnya didahului persaingan-persaingan dan ketegangan antara beberapa kubu ulama yang masing-masing pihak mencoba mempertahankan mahzabnya dengan berusaha mnerontokkan mahzab lain. Oleh sebab itu lahirnya negara sekuler di Iran, bukan saja sebagai situasi yang ditolelir, tetapi dimaafkan. Alasan ulama-ulama yang bertengkar ini, antara lain terlihat dari pandangannya, yang menempatkan negara (sekuler) sebagai pembentuk suatu bagiaan integral kekuatan Islam, dan bukannya suatu keuatan jahat yang terpisah.
Pelucutan peran dan fungsi ulama tradisionis dilakukan secara bertahap, sebagai upaya pembatasan otorisasi fuqhaha dalam proses kehidupan sosiokultural. Hal ini selain dudukung oleh mujtahid yang lekat dalam gaya hidup sekulerisme seperti Talibzada, Malkhom Khan, Mirza Aga Khan Kirmani, juga disebabkan oleh kalangan konstitusionalis yang gagal membuktikan diri sebagai pemerintahan yang mampu membuat pranata-pranata pembangunan masyarakat dengan etik Barat modern. Oleh sebab itu, ketika dinasti baru sejak memupuk kekuasaan tahun 1920-an dengan implementasinya kebijaksanaan-kebijaksanaan sosiokultural sekuler, fuqhaha telah banyak terdesak mundur, sehingga kegiatannya hanya terbatas pada masjid-masjid dan madrasah-madrasah, yang telah “diciutkan fungsinya” oleh rezim sekuler.
Penanaman ide-ide sekuler, setelah menancapkan akar-akarnya di semua sektor pemerintahan, segera melebar ke distrik-distrik pendidikan di hampir semua tingkat. Pendidikan sekuler wajib dilaksakan disekolah-sekolah milik negara, sementara itu penerapan hukum dan sistem peradilan, langsung di bawah menteri kehakiman yang dibantu oleh hakim-hakim dari yang berpendidikan sekuler.
Modernisasi sistem-sistem pendidikan dengan menggunakan model Barat sekuler, merupakan senjata paling efektif yang digunakan rezim Pahlevi untuk mermehkan pengaruh “perjuangan” tokoh-tokoh Islam. Untuk lebih menjatuhkan dan lebih mengucilkan kalangan ulama, rezim Pahlevi sengaja menginjeksi ke dalam kesadaran masyarakat suatu prototype budaya yang diambil dari sejarah Iran pra Islam, khususnya budaya Arya.
Berbagai wajah sekulerisme yang mulai muncul pada abad XIX sampai pertengahan abad XX, sesungguhnya tidak hanya berkembang di Mesir, Turki maupun Iran tetapi dalam bentuknya yang lebih pragmatis dan terkemudian, juga terjadi di Tunisia, Nigeria, Sinegal dan berbagai wilayah lainnya, termasuk Indonesia yang secara intensif di mulai dari era Soekarno.
Dalam masalah keyakinan, sebatas menyakini tentang adanya Allah, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir (sekuler). Hal ini misalnya ditunjukan oleh Al-Qur’an;
"Dan sesungguhnya jika kamu menanyakn kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “ Allah.” Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Q.S. 31: 25)
Akan tetapi bagi orang-orang kafir, keyakinan tentang adannya Allah, tidak dikembangkan sebagai keyakinan hidup yang sekaligus merupakan standard norma tingkah lakunya. Bahkan istilah kafir yang dikenakan untuk mereka itu adalah wujud penolakan sacara definitif terhadap keharusan taat kepada Allah. Sebagaiman yang diklaim Al-Qur’an sendiri:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang diturunksn Allah.” Mereka menjawab: “(tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kam mengerjakannya.” Dan apakah (mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)?” (Q.S. 31: 21)
Kondisi orang kafir yang demikian, tak jauh berbeda dengan sikap iblis untuk sujud (hormat) kepada Adam (Q.S. 2: 30-39). Keduanya memilih konfrontasi dengan menanggung segala resikonya, ketimbang harus tunduk kepada perintah-perintah Tuhan. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang-orang Mukmin. Tidak seorang kafir pun membiarkan orang Mukmin memperoleh kebahagiaan dan kemenangan, kecuali mereka terus menerus menggangunya, dan bila mungkin menariknya ke dalam golongannya (Q.S. 2:120).
Kenyataan sikap yang demikian ini, dalam kapasitas makronya, berarti upaya pendominasian pranata-pranata soisal yang secara teologis dimaksudkan mendepak pranata-pranata Tuhan (sunnatuddin) untuk diganti dengan norma-norma relatif hasil terkaan dan prasangka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah (Q.S. 6:136-139). Tak syak lagi, meskipun tidak sama persis antara orang-orang kafir dengan kondisi oranmg-orang sekuler dalam abad XIX dan XX ini, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya mempunyai kencenderungan sikap serta pemikiran yang sama.
Oleh sebab itu bagaimanakah nasib umat Islam di bawah pemerintahan sekuler? Kencangnya arus sekulerisasi yang melanda dunia Islam, pada akhirnya menciptakan berbagai ketergantungan baru, umat Islam kepada materialisme Barat, yang semakin lama terlihat adanya bahaya yang semakin fatal. Berbagai bentuk ketergantungan itu antara lain terletak pada konsepsi pemikiran dan intelektual, sosio-pemerintahan, ekonomi dan militer. Dalam lapangan intelektual misalnya, terlihat betapa dominasi ilmu pengetahuan oleh Barat terahadap umat Islam, baik dari segi materi keilmuan maupun tuntutan metodologis.
Kenyataan demikian, apabila terus-menerus menjadi tempat ketergantungan ilmuwan-ilmuwan Muslim, sudah barang tentu mereka akan gagal memberikan interpretasi yang representaif terhadap ajaran agamanya sendiri. Seperti kita saksikan sekarang ini, di mana para ilmuwan Muslim papan atas dengan tegas mengatakan bahwa konsepsi kenegaraan, ekonomi, sosial dan lain-lain tidak ada dalam Al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan kondisi umat Islam di bawah pemerintahan yang sekuler dan dengan kondisi para ilmuwan Muslim yang tidak berdaya dalam merumuskan konsepsi kehidupan dari ajaran Islam sendiri? Realitas umat Islam yang demikian dapat diibaratkan seperti anak yatim piyatu yang tanpa perlindungan, dan dengan demikian mudah menjadi ‘santapan srigala.’ Kita saksikan sekarang ini, bahwa tema-tema pemikiran, gaya hidup dan prilaku umat Islam adalah fungsi dari materialisme. Hal itu terjadi tidak saja di kalangan elite tetapi juga sudah merata sampai ke akar rumput. Kita hidup dalam suatu zaman, sebagaimana diisyaratkan Rasulullah saw, penuh dengan dan diselimuti debu kejahiliyahan dan dosa, yakni materialisme. Kita mungkin tidak menyukainya tetapi tak dapat menghindarinya.
Membangun Peradaban Islam: Mungkinkah?
Pertanyaan besar ini kita ajukan, karena situasi yang melingkupi dunia Islam adalah sedemikian rupa, sehingga setiap niat baik, apalagi cita-cita besar untuk mewujudkan peradaban Islam di masa depan. Dengan pertanyaan itu setidaknya kita akan berpikir dan menganalisis seberapa besar tantangan yang kita hadapi, potensi yang kita miliki didasarkan atas asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kemampuan kita dalam memberikan analisa inilah yang secara relatif memberikan “rasa” optimis atau pesimis, meskipun secara doktrinatif tentu kita juga harus memiliki perasaan optimis.
Sebagaimana diuraikan di depan bahwa semua aspek kehidupan umat Islam secara riil telah dideterminasi oleh nilai-nilai peradaban materialisme. Bagaimanakah ekonomi, politik, hukum, hankam, seni dan entertainment kita, pada kenyataannya adalah hasil imitasi konsep dan peniruan dari Barat. Artinya, tak ada satu aspek realitas keumatan pun yang siap untuk berbenturan dengan realitas kehidupan yang ada dalam peradaban materialisme Barat. Tetapi jika kita bertanya pada diri sendiri dan mengukur keyakinan kita; sebenarnya mana yang lebih kredible antara ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., dibandingkan dengan ajaran hidup yang dimiliki peradaban Barat. Kita akan mendapatkan jawaban yang sangat optimis; ajaran Islamlah yang lebih unggul dan kredible.
Ada perasaan superior di hati kita dan tentu umat Islam umumnya, berkenaan dengan keunggulan ajaran yang dimilikinya, bila dibandingkan dengan ajaran lain, baik berupa kitab suci agama lain maupun falsafah hidup buatan manusia lainnya. Titik awal dalam membangun peradaban Islam yang kita cita-citakan haruslah berawal dari domain, di mana kita sendiri memiliki perasaan superior itu sendiri. Karena rasa superior itulah yang akan mendorong kita untuk bersifat ekspansif dalam membangun peradaban.
Pada satu sisi dapat dikatakan bahwa superioritas dan atau inferioritas suatu peradaban itu sepenuhnya tergantung pada dua hal. Pertama, ajaran-ajaran atau nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam peradaban yang bersangkutan. Misalnya, seberapa sahihkan pandangan yang berasal dari ajaran peradaban tersebut memberikan pernyataan tentang sesuatu, termasuk pandangan tentang masa depan umat manusia.
Bagaimana ajaran itu merespons pikiran-pikiran manusia, dari persoalan sehari-hari sampai dengan hal-hal yang bersifat substantive dan transendensi. Apakah pernyataan-pernyataan dari ajaran itu bisa dibuktikan dalam kehidupan. Artinya, apakah jika seseorang mengikuti secara penuh ajaran yang diyakininya akan memperoleh kesuksesan hidup dan sebagainya.
Kedua, terletak pada kemampuan interpretasi sumberdaya insani yang terdapat dan menjadi pendukung dalam peradaban tersebut, sehingga ajaran-ajarannya memiliki kontekstualisasi dengan problem-problem kemanusiaan pada masanya, dan tentunya dengan konsistensi logis yang memadai. Artinya, apakah sumberdaya insani yang menjadi penyangga peradaban tersebut itu terdiri atas manusia-manusia yang cerdas, tercerahkan dan mampu membangun konsep tentang berbagai aspek kehidupan yang diturunkan dari ajaran tersebut atau tidak.
Jika suatu peradaban tidak memiliki ajaran yang kredible atau handal dalam melayani tantangan intelektual dan tidak mampu memberikan jawaban yang futuristik, apalagi jika mengalami inkonsistensi ketika dipraktekkan, maka cepat atau lambat peradaban tersebut pasti akan mati dan tak akan sanggup hidup lagi. Contoh tentang peradaban ini adalah peradaban manusia klasik, seperti Sumeria, Mesir, Romawi dan yang kontemporer, adalah Komunisme. Peradaban-peradaban itu bertahan hidup karena dikawal oleh kekuasaan yang tiranik dan diktator. Tetapi secara intrinsik (dari dalam sendiri) akan mengalami kehancuran, karena ajarannya memang inkonsisten.
Sebaliknya juga, meskipun suatu peradaban memiliki ajaran yang kredible, tetapi jika sumberdaya insani yang dimilikinya tidak mampu menginterpretasikan ajaran tersebut pada konteks kehidupan yang tengah berlangsung, maka peradaban yang bersumber dari ajaran yang kredible tersebut tetap tidak mampu berkembang. Contoh tepat tentang peradaban yang dimaksudkan ini adalah Islam. Ajaran Islam, karena dipresentasikan oleh orang-orang yang inferior, menyebabkan, seolah-olah tidak lagi memadai untuk menjawab problema manusia. Meskipun demikian, jika pada suatu masa tertentu peradaban yang memiliki ajaran yang kredible itu memiliki sumberdaya insani yang unggul, maka sudah semestinya akan menjadi peradaban yang superior. Peradaban yang superior adalah peradaban yang seluruh ajarannya kredible dan memiliki sumberdaya insani yang handal, mampu memberikan pandangan-pandangan dan interpretasinya tentang kehidupan ini maupun mendatang secara memadai berdasarkan ajaran peradaban yang dimilikinya dan wajar menjadi “kiblat” peradaban manusia.
Realitas peradaban Islam sekarang ini berada dalam posisi superior, jika ditinjau dari perspektif ajaran. Sebaliknya Islam adalah peradaban yang inferiror, jika ditinjau dari sumber daya insani. Islam, seperti dinyatakan dalam kata-kata bijak adalah ajaran yang tertinggi dan tidak ada yang menyamainya (al-islaamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alayhi). Tetapi sebaliknya juga Islam tertutupi [pancaran dan superioritasnya] oleh kebodohan umat Islam sendiri.
Peradaban yang merasa superior, secara fenomenal, akan mengemukakan pandangan-pandangan dan interpretasinya untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Lebih dari itu, mereka akan mengajak pihak lain bahkan memaksanya untuk mengikuti apa yang dianggapnya baik tersebut, dan biasanya tanpa memberikan empaty untuk melihat ajaran peradaban yang menjadi pilihan pihak lain. Peradaban Barat, yang diklaim oleh sejumlah opini dominan sebagai peradaban yang ‘paling maju’ dan akan membawa umat manusia pada kemajuan dan kemakmuran (materi), kini merasa mendapatkan saingan baru setelah musuh bebuyutannya (Komunisme) tumbang. Dan, saingan baru itu, yang tidak hanya merupakan rival tetapi berpotensi menghasilkan benturan peradaban yang amat dahsyat, adalah Islam. Karena ajaran Islam, siapapun mengetahui, adalah yang paling kredible dan handal untuk menyelamatkan manusia, di dunia ini dan akherat kelak. Itulah mengapa, peradaban Barat yang direpresentasikan oleh Amerika, Inggris, Perancis dan sejumlah negara Eropa lain, lebih suka menjadikan orang-orang Muslim sebagai sasaran tembak ketimbang terhadap ajaran Islam. Karena sumberdaya insani Islam (Muslim), saat ini adalah titik lemah kebangkitan peradaban Islam. Masalahnya, menjadi berbeda, jika Barat berani membidik ajaran Islam itu sendiri untuk dibenturkan dengan ajaran sekuler. Karena bila ajaran Islam diangkat ke permukaan, menjadi wacana global, dengan sendirinya akan memberikan penetrasi dan menginfiltrasi setiap manusia, tak peduli dari manapun latar belakang peradabannya, selama memiliki integritas intelektual.
Dengan demikian, kunci utama membangun peradaban Islam pada masa kita sekarang ini adalah dengan mengembangkan superioritas, terutama bagi mereka yang merasa “terpanggil” untuk urusan besar ini. Hal ini sangat penting, agar kesempurnaan ajaran Islam, dalam semua aspek kehidupan manusia, mendapatkan orang-orang terpilih dan sekaligus representatif untuk mempresentasikannya di hadapan seluruh umat manusia. Bila tidak demikian, maka kebesaran ajaran Islam diselubungi oleh kebodohan kaum Muslim, yang pada gilirannya komunitas yang berasal dari peradaban lain, karena interaksinya dengan orang-orang Muslim yang seperti itu, akan meremehkan ajaran Islam itu sendiri, tanpa mengkajinya secara obyektif.
Superioritas itu, seperti tercermin dalam ajaran Al-Qur’an, terletak pada kesempurnaan spirirtual dan intelektual seseorang, yang tentunya akan memanifestasikan pada akhlaq dan prilaku, serta sikap hidup yang Islami. Dalam hal ini kita yang hidup di Hidayatullah telah memulai dengan langkah yang benar, yakni dengan memperbanyak ibadah, termasuk menegakkan shalat lail secara kontinyu. Intensitas spiritual, di samping memanifestasikan prilaku individual yang Islami, juga tercermin dalam perspektifnya pada aspek-aspek sosial yang penting, seperti kekuasaan, materi dan hal ikhwal duniawi lainnya. Seseorang yang memiliki spiritualitas memadai akan tetap superior dan determinan bila berinteraksi dengan para penguasa, begitu juga ketika berinteraksi dengan orang-orang kaya. Tetapi superioritas spiritual, yang hanya didukung oleh ritualisme tidaklah cukup. Perlu ada intelektualisasi yang memadai dan itu berarti mengharuskan kita untuk berani berbenturan dengan berbagai wacana dan pemikiran yang berkembang. Dalam kebijakan taktis dan strategisnya kita perlu membangun basis kaderisasi yang handal, sehingga mampu menjadi juru bicara yang kompeten tentang peradaban Islam yang kita harapkan.
Membangun superioritas intelektual adalah dengan mempertajam dan memperkaya intelektualitas. Dalam konteks ini, kita yang hidup di Hidayatullah, sebenarnya adalah orang-orang yang cukup banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hanya saja perlu diketengahkan di sini, bahwa pola interaksi kita dengan Al-Qur’an sangat terbatas (membaca dalam pengertian yang sempit). Kita belum sampai pada pola pembacaan yang bersifat eksploratif dan mengetengahkan Al-Qur’an itu dalam “bahasa konsep,” yang dapat dipahami oleh orang-orang yang sekadar mengandalkan common sense. Pembacaan yang bersifat eksploratif, memungkinkan kita untuk mengenal tentang bagaimana Al-Qur’an memberikan pandangannya atas sesuatu hal juga pola logika yang kaya dan determinatif. Begitu juga dengan pengajuan-pengajuan pertanyaan yang mengacu pada know how dan know why, memungkinkan kita memperoleh sistem penjelas yang inspiratif dan genuine. Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam berinteraksi dengan sirah nabawiyah. Keduanya, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan menghasilkana sistem penjelas yang luas dan otoritatif mengatasi episteme dan argumentasi yang dikembangkan oleh sains dan disiplin modern.
Membangun peradaban Islam, berarti mengislamkan seluruh dunia ini, dalam setiap aspek dan tingkatnya. Misi-misi Islam harus dijelaskan dengan pola logika dan kerangka berfikir yang Islami pula. Tentu saja ini suatu pekerjaan besar, yang membutuhkan kesabaran seorang ideolog, untuk mewujudkannya. []
bdw , , byr tampilannya g panjang , bqn read more aja ustadz . klo mw saya kirim caranya .