oleh : Suharsono
Hegemoni Peradaban Barat
Peradaban Barat modern yang kita kenal sekarang ini, jika dikaji secara cermat adalah suatu peradaban yang menempatkan materi, suatu simplifikasi atas pandangan Aristotelian tentang materia prima, sebagai titik tolak keyakinannya. Keyakinan material inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti sumber motivasi (n-ach), verifikasi keilmuan, gaya dan standardisasi hidup bahkan secara vulgar menuding bahwa kemiskinan (ketiadaan materi) adalah sumber kejahatan.
Dalam verifikasi keilmuan peradaban material ini memberikan otoritas tertinggi pada model-model pengujian tentang benar tidaknya sesuatu atau ada tidaknya sesuatu, secara indrawi dan laboratoris. Jika obyek-obyek yang dikaji itu berkenaan dengan fisika, sudah barang tentu merupakan kontribusi yang cukup besar, sekalipun model verifikasi ini tidak mungkin menjangkau asal mula sesuatu (prima causa) dan juga fungsi proporsional tentang obyek yang diuji tersebut, selain dari memperturutkan ambisi manusia. Tetapi jika model verifikasi yang sama digunakan untuk menguji hal-hal yang bersifat metafisis, seperti adanya fitrah manusia yang berdasarkan tawhid, hati nurani, adanya kebangkitan kembali pasca kehidupan ini dan hal sejenisnya, maka jelas model verifikasi material ini sama sekali tidak membantu.
Tetapi masalahnya adalah bahwa bagi peradaban Barat yang materialis ini ketika hendak menguji atau memverifikasi segala sesuatu, apapun itu, jika tidak berhasil, mereka menyingkirkan obyek tersebut dari ruang publik dan melarang siapapun untuk membawa persoalan tersebut sebagai persoalan publik. Kegagalan dalam menguji sesuatu, menjadikan sesuatu itu justru disingkarkan, sekalipun itu adalah kebenaran yang hakekatnya sangat dibutuhkan manusia. Doktrin sekuler, yakni pemisahan urusan agama dengan dunia, sedikit banyak dipengaruhi oleh model verifikasi keilmuan yang dikembangkan peradaban Barat modern ini.
Begitu juga halnya dalam aspek gaya hidup dan penghargaan manusia yang satu atas manusia yang lain jelas ditunjukkan seberapa besar asset yang dimilikinya. Siapakah kamu? Pertanyaan ini, dalam “bawah sadar” orang-orang Barat modern, berarti berapa uang yang anda miliki, luas tanah, perhiasan, kendaraan dan hal-hal material lainnya. Semakin banyak anda memiliki itu, maka penghormatan besar akan diberikan.
Begitu juga sebaliknya, jika anda tidak memiliki hal-hal material tersebut, maka itu berarti anda bukanlah siapa-siapa; eksistensi diri anda dinafikan. Ketika orang-orang miskin meratap dan berusaha mempertahankan hak-haknya untuk hidup, misalnya dengan cara berjualan, maka dapat kita saksikan betapa beringas dan kejamnya “kaki tangan” pemilik modal ini dalam menghardik dan mengusir mereka. Tentu semua itu mereka lakukan berdasarkan dari aturan yang sudah dibuat, tetapi mengapa aturan dibuat seperti itu, itu juga merupakan kepanjangan dari pemodal sendiri.
Dalam kapitalisme tidak ada nilai-nilai kemanusiaan atau kasih sayang, tetapi menguntungkan atau tidak, karena materi adalah ukuran yang utama.
Di atas keyakinan dan orientasi hidup dengan nilai-nilai turunannya itulah, secara global dapat kita lihat Amerika Serikat menempatkan diri sebagai raja atau patron peradaban Barat ini, seperti Fir’aun di era Mesir kuno. Fenomena peradaban material ini juga sama dengan masa jahiliyah dulu, yakni tersutrukturisasi dalam pola hubungan patron-klien. Amerika adalah patronnya, maka dapat kita lihat bahwa World Bank, IMF, G-7 dan sejenisnya ibaratnya seperti Qarun. Sementara NATO memainkan peran sebagai tentara-tentara yang siap melayani keputusan Amerika, maka perguruan tinggi di Barat, para ilmuwan dan peneliti berperan sebagai tukang sihir yang menjungkirbalikkan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan dalam kehidupan. Dalam hubungan patron-klien ini, kedua belah pihak saling memperoleh keuntungan dan, sebaliknya, yang dirugikan adalah mereka-mereka yang tidak memiliki koneksi dengannya, yang mayoritasnya adalah masyarakat Muslim.
Materialisme adalah inti peradaban barat madern ini, tetapi bagaimana inti ini dapat terlindung dari gempuran, maka dibuatlah orbit yang berupa wacana-wacana, isu dan tema-tema yang terasa manusiawi, tetapi sebenarnya menjebak. Misalnya, isu tentang hak azasi manusia, demokrasi, gender, lingkungan hidup dan sebagainya. Isu-isu ini seperti sarana untuk menjebak dan memburu, masyarakat mana yang tidak mengikuti jejaknya atau mencoba mengganggu status quo yang dinilikinya. Apa itu hak azasi, jelas antara satu peradaban dengan peradaban lainnya berbeda. Islam misalnynya, menekankan bahwa hak azasi adalah ketika seseorang bisa secara bebas memanifestasikan fitrahnya, terbebas dari belenggu paganisme. Sebaliknya, dalam Barat materialisme, hak azasi bisa juga berarti ekspresi bebas untuk porno aksi, bahkan kini perkawinan sejenis pun, yang merupakan tiruan dari kaum Nabi Luth yang diazab itu, juga disebut sebagai hak azasi.
Negara-negera Muslim seringkali dihujat karena tidak menerapkan demokrasi, karena siapapun yang mempelajari Islam akan paham bahwa kebenaran dan kekuasaan Tuhan tidak identik dengan suara mayoritas. Tetapi dalam sebuah kasus yang terjadi di Aljazair, ketika rejim militer menyelenggarakan Pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FIS (Front Perlawanan Islam), toh Pemilu dibatalkan dan rejim militer dipulihkan dengan campur tangan Perancis.
Konflik dan Benturan
Sifat dari suatu peradaban besar adalah ekspansif; menyebarkan dan mentransmisikan ajaran-ajaran, nilai-nilai, gaya hidup dan wacana ke berbagai aspek kehidupan dan ke seluruh umat manusia. Sifat dasar inilah yang membuat ideologi itu berkembang pesat dan selanjutnya berkarakhter hegemonik terhadap seluruh umat manusia yang mampu dijangkaunya. Sementara di bumi ini, ada sejumlah peradaban yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain.
Lalu apakah yang akan terjadi jika peradaban-peradaban itu bertemu dalam sejumlah aspeknya? Jawaban sederhana dari fenomena pertemuan dua peradaban atau lebih ada beberapa kemungkinan. Pertama, yakni dialogis atau suplementatif, jika peradaban-peradaban yang bertemu tersebut tidak sempurna atau tidak bertolak belakang secara prinsipal. Kedua, adalah konflik atau benturan, karena titik tolaknya dari orientasi yang bertentangan.
Kapitalisme yang merepresentasikan peradaban yang didasarkan pada materialisme pernah dikritik keras oleh Karl Marx, yang dalam karyanya Das Capital, meramalkan runtuhnya Kapitalisme. Tetapi, sebenarnya orientasi Kapitalisme maupun Marxisme adalah sama, yakni materialisme. Perbedaan keduanya, dalam perspektif ekonomi, hanya terletak pada hubungan kerja antara modal dengan buruh; dalam Kapitalisme penekanannya pada supremasi capital (modal) sementara dalam Marxisme pada supremasi buruh (pekerja, proletarian).
Materi sebagai suprastruktur, memberikan pengaruh dalam tata negara dan pemerintahan, estetika, hukum, sains dan semua aspek kehidupan manusia lainnya. Karena itu, tidak ada benturan yang berarti antara kapitalisme dengan sosialisme, Barat dengan Komunis. Tetapi dalam realitas sejarah yang ada, kedua peradaban dan ideologi materialisme ini adalah saling “bermain mata” untuk memecah belah negara-negara dan masyarakat lain untuk masuk ke dalam orbitnya, dan itu berarti pasar yang terbuka bagi propaganda ideologi maupun penjualan senjata. Betapa banyaknya negara-negara kecil, termasuk Indonesia menjadi ‘barang mainan’ Kapitalisme atau Komunisme (keduanya adalah materialisme), mereka membelanjakan anggaran belanja, mengagitasi dan memprovokasi rakyat dan saling membunuh sesama anak bangsa.
Dalam pola hubungan yang agak berbeda terjadi antara peradaban materislisme Barat dengan sejumlah peradaban Timur, seperti Hindu di India, Konfusianisme di China dan Shintoisme di Jepang. Peradaban-peradaban ini pada dasarnya memiliki doktrin spiritualisme yang kaya, seperti tercermin dalam ajaran Upanishad dan Baghawad Gita, tetapi segera kita sadari bahwa ajaran-ajaran spiritualisme Timur ini tidak memiliki refleksi spiritualitas atas kehidupan sosial dan material. Artinya, meskipun ajaran mereka memiliki kandungan spiritualitas yang kaya, tetapi sifatnya adalah anti dunia, dan karena itu tidak ada nilai-nilai kehidupan sosial, ekonomi, politik dan hukum serta etika yang tercermin darinya. Spiritualisme Timur sangat mirip dengan doktrin gereja yang juga anti dunia.
Sifat doktrin spiritual yang anti dunia ini, yang berarti kekosongan atas nilai-nilai kehidupan duniawi ini, pada gilirannya akan terjadi proses pencakokan dengan doktrin materialisme yang hampa dari spiritualisme, dengan suatu cara yang sangat mengejutkan. Sejarah menunjukkan bahwa kekaisaran Romawi adalah rejim yang secara ambisius memburu Yesus dan para pengikutnya, menyiksanya dengan cara menyalibnya, lepas dari apakah yang disalib itu Isa al-Masih atau bukan. Tetapi setelah waktu berlalu, ternyata raja-raja Romawi berikutnya memeluk agama Nasrani dengan tetap mempertahankan nilai-nilai politik, kekuasaan, etika dan aspek-aspek manusiawi yang dimilikinya sendiri. Sebaliknya, gereja yang mewarisi ajaran Yesus, juga merespons positif atas pencakokan ini, dan penyebaran Injil atau seruan untuk masuk ajaran Nasrani ke seluruh dunia dilakukan gereja dengan menggunakan kaki tangan raja-raja dan pemerintahan materialisme.
Dalam pola yang sama dapat disaksikan, bahwa interaksi antara Hinduisme, Konfusianisme dan Shintoisme dengan peradaban Barat juga terjadi pencakokan dan nuansa dialogis komplementer. Hal ini terjadi karena Barat yang menyebar ke Timur juga mengalami kekeringan spiritual, dan betapa terpesonanya orang-orang Barat terhadap kehidupan spiritualisme Timur, karena mereka memang miskin tentang hal itu. Karena itu proses modernisme dan sekulerasi etik di Timur, seperti Jepang, India dan China begitu cepat; sebuah peradaban yang campur aduk.
Sebagaimana kini disinyalir sejumlah pihak, bahwa dalam era ini telah terjadi potensi benturan sejumlah peradaban, yang bersumber dari ajaran Islam, Konfusianisme, Hindu-Budha, Shinto, Komunis dan Barat. Bagaimanakah benturan peradaban itu terjadi. Untuk memahami persoalan ini ada baiknya kita mengangkat kasus-kasus kemanusiaan, terutama berkenaan dengan moralitas, misalnya perzinaan, hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan. Dilihat dalam perspektif peradaban Barat, selama perbuatan itu dilakukan suka sama suka, jelas bukan tindakan yang amoral, artinya diperbolehkan. Dilihat dalam perspektif peradaban Timur, seperti Hindu, Budha atau Shintoisme mungkin dipandang sebagai tindakan amoral, tetapi tidak perlu ada pidana fisik. Sebaliknya, kasus yang sama jika dilihat dalam perspektif Islam, jelas merupakan pelanggaran berat dengan konsekuensi hukum rajam dan bila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah menikah hukumannya adalah “mati.” Sebaliknya, qisas (salah satu model pidana Islam) yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai penjamin kehidupan, dianggap sebagai suatu yang keji oleh peradaban lain, terutama Barat.
Perbedaan bahkan pertentangan pandangan serta konsekuensi hukum dari masing-masing peradaban itulah yang seringkali melahirkan benturan-benturan.
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Q.S. 2: 177)
Sebagai sebuah peradaban, Islam telah sempurna. Artinya, keyakinan yang dimiliki, visi ideologis maupun nilai-nilai kehidupan yang diturunkan dari ajarannya, Al-Qur’an dan Sunnah, telah mencukupi bagi kehidupan umat manusia, di mana pun dan kapun pun. Kesempurnaan itu tak hanya terlihat, bagaimana Islam mengatur secara tertib bagaimana beretika dan menjaga kebersihan diri, seperti gosok gigi, sampai pada bagaimana caranya mengatur sebuah negara besar, dan bagaimana pentingnya etika dan keadilan ditegakkan dalam berperang, seperti larangan menyakiti anak-anak dan perempuan maupun musuh yang sudah menyerah. Kesempurnaan itu juga tercermin dalam suatu cara, di mana ajaran Islam mendorong setiap manusia untuk mengembangkan intelektualitas dan kemampuannya. Karena kesempurnaan inilah, Allah menyatakan keridhaan-Nya atas Islam ini untukmu;
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. 5: 3)
Islam adalah ajaran yang sempurna dan sekaligus kebenaran yang sempurna. Ajaran yang sempurna ini dapat diibaratkan seperti matahari, yang memiliki sifat intrinsik, memancarkan cahaya, memberikan kehangatan, energi dan kehidupan. Karena itu siapapun yang bisa menangkap dan merasakan cahaya kebenaran ini, maka dari “jati dirinya yang terdalam” juga akan berkembang sifat ekspansif, yakni berusaha mewartakan kebenaran ini kepada setiap orang yang ditemuinya dan diajaknya bersama-sama untuk memasuki cahaya kebenaran yang sama. Sebaliknya, orang-orang yang tercerahkan ini akan segera menolak nilai-nilai kehidupan yang bertentangan dengan ajaran yang dimilikinya.
Dengan demikian dapat dibayangkan, apakah yanga akan terjadi jika peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain, khususnya materialisme.
Dalam suatu pengertian tertentu, benturan peradaban akan terjadi jika dua buah peradaban saling bertemu pada sejumlah aspeknya yang tidak terkompromikan. Islam sebagai peradaban yang tumpuan utama adalah tawhid, sudah barang tentu akan bersifat saling menegasikan dengan peradaban yang orientasi dasarnya justru menolak tawhid itu sendiri. Dalam Marxisme, seperti diekspresikan oleh para tokohnya memberikan komentar yang sangat negatif berkenaan dengan agama maupun Tuhan. Bagi mereka agama adalah candu dan mereka menyatakan alergi ketika nama Tuhan disebutkan. Begitu dalam filsafat eksistensialis materialisme Barat, seperti dikemukakan oleh Neitche; “Tuhan telah mati.”
Karena orientasi dan keyakinan yang bertentangan ini, maka derivat nilai-nilai hidup yang ada antara kedua peradaban itu pun pasti bertentangan dan saling bernegasi. Artinya sebuah kata yang memuat makna “perbuatan baik,” dinilai dari perspektif Islam seperti beramal dengan ikhlas akan “menjadi perbuatan buruk” misalnya dengan menyebutnya sebagai pemborosan, jika dinilai dengan perspektif materialisme. Istilah “gila” yang diangkat dalam ayat-ayat awal surah Al-Qalam, menandakan suatu interaksi dua peradaban yang nilai-nilai kehidupan dari keduanya saling bertentangan. Marilah kita elaborasi secara komperatif nilai-nilai antara dua peradaban ini, Islam dengan materialisme –yang sejatinya adalah ateisme, dalam beberapa aspek kehidupan manusia yang penting, seperti politik, hukum, ekonomi, sains, estetika dan agama itu sendiri.
Nilai-nilai politik, yang merupakan standar kehidupan sesorang untuk mengatur dan mengontrol massa, jelas memerlukan doktrin atau falsafah kekuasaan. Dalam Islam sangat tegas dinyatakan bahwa kekuasaan bersumber pada Tuhan, artinya otoritas perintah dan larangan tertinggi berasal dari-Nya. Tetapi bagaimanakah falsafah kekuasaan seperti ini diaplikasikan dalam kehidupan politik? Jawabannya adalah dengan pola pendelegasian, di mana Nabi adalah hakim tertinggi sekaligus memiliki otoritas penuh untuk menjalankan “kekuasaan Ilahiyah” atas manusia. Sepeninggal Nabi, yang menggantikan otoritas itu secara relatif adalah pewarisnnya, yakni ulama. Artinya, keulamaan yang mengendalikan kekuasaan, dan itu berarti superioritas ilmu dan spiritualitas serta integritas moral. Karena kebenaran adalah ukuran tertinggi, yang tentunya berdasarkan kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sebaliknya dalam doktrin materialisme; falsafah kekuasaannya seperti kita ketahui bersama adalah berasal dari rakyat (demokrasi), dan mereka beranggapan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebuah anggapan yang tampak ragu dan sama sekali tidak pernah terbukti secara historis. Karena kekuasaan dari rakyat, maka sah tidaknya kekuasaan sangat tergantung pada mayoritas yang merupakan representasi suara rakyat. Sejarah menunjukkan bahwa Tuhan berbicara dengan dan memberikan petunjuk kepada Nabi yang diutus-Nya dan Nabi yang bersangkutan itulah yang memberikan bimbingan dan pimpinan kepada rakyatnya. Nabi tidak tunduk kepada rakyat, tetapi rakyatlah, yang tunduk kepada Nabi. Al-Qur’an juga memberikan pernyataan yang lugas, jika kebenaran itu tunduk poada nafsu manusia, maka hancurlah dunia ini.
Dua tatangan politik yang bertolak dari falsafah dan nilai-nilai yang berbeda ini sama-sama telah diaplikasikan dalam sejarah umat manusia. Bagaimana wujud sosialnya masyarakat yang berada dalam kekuasaan Islam dan kekuasaan ateisme jahiliyah, kita sama-sama tahu. Dalam kehidupan dewasa ini kita saksikan betapa materi atau uang dengan mudah menyandra suara rakyat, melalui wakil-wakilnya. Para ‘stick holder’ materi ini cukup hanya dengan mengerdipkan mata, dan para wakil rakyat itu pun akan membebeknya, dengan koor suara seperti iring-iringan bebek yang digembalakan, tanpa argumentasi dan tanpa basa-basi.
Begitu juga halnya ketika kita menyimak nilai-nilai sains yang dipresentasikan dari dua peradaban yang berbeda ini. Barangkali kita sendiri adalah pelaku korban dari suatu sistem pendidikan, di mana sains yang diajarkan pada kita seperti biologi, kimia fisika dan sebagainya, tanpa satu kata pun asma Tuhan disinggungnya. Artinya, ketika kita mempelajari sains yang demikian ini, mungkin kita bisa menjadi seorang saintis, tetapi tetap saja kita tidak mampu membaca bahwa alam semesta yang tergelar ini dan begitu juga dengan diri kita, adalah ayat-ayat Allah. Mengapa demikian?
Sains yang dikembangkan di Barat adalah sains yang diadopsi dari pikiran-pikiran metodologis Francis Bacon, Rene Descartes dan juga Charles Darwin. Bagi Bacon sendiri, ia berinteraksi dengan alam semesta tak ubahnya mengamati sebuah arloji yang sudah jadi. Jelas bahwa arloji itu ada yang membuatnya, tapi baginya pembuat arloji itu tidak penting, karena arloji pun tetap berjalan dengan sistemnya sendiri sekalipun pembuatnya meninggal dunia. Begitu juga para pemikir materialis ini dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan alam. Mereka “menemukan” alam ini seperti benda yang tanpa tuan, karena itu mereka tidak perlu berterima kasih pada penciptanya.
Sebaliknya mereka memanfaatkan alam ini, melalui teknologi yang dihasilkan, semata-mata untuk memenuhi ambisi dan dirinya sendiri. Itulah mengapa sains dalam peradaban materialisme Barat disebut netralitas etik, dan kenyataan menunjukkan bahwa yang paling cepat perkembangannya adalah sains militer yang fungsi utamanya sebagai mesin pembunuh, seperti nuclear.
Perbedaan prinsipnya antara sains Barat dengan sains Islam terletak pada dimensi ontologisnya, asal sesuatu itu “mengada.” Sains Islam memberikan penekanan penting tentang siapakah pencipta alam semesta ini dan asal segala sesuatu, sebagaimana tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan kontempelatif Rasulullah di gua Hira’; dari manakah asalnya segala sesuatu ini? Siapakah gerangan yang mengatur kehidupan ini, sehingga bintang-gemintang berada dalam keteraturan yang sempurna dan sebagainya.
Pertanyaan ini begitu penting karena jawaban atas hal tersebut akan menjadi landasan etik dan nilai-nilai sains itu sendiri. Sebagaimana kita simak dalam sejarah, pertanyaan-pertanyaan beliau itu mendapatkan jawaban langsung dari Allah seperti tertera dalam surat Al-‘Alaq, dan iqra bismirrabbik itu adalah menjadi landasan bagi saintis Muslim. Dalam perspektif Islam, mempelajari sains adalah mempelajari ayat-ayat Allah yang lebih dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah. Karena itu semakin dalam seseorang mempelajari sains maka akan semakin mengerti pula dirinya tentang keagungan Allah dan pemanfaatan sains selanjutnya adalah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Dalam perspektif Al-Qur’an, ilmu adalah subordinasi ketaqwaan dan semakin dalam orang memiliki ilmu berarti semakin bertaqwalah dia. Orang-orang berilmulah yang menurut Al-Qur’an yang banyak mensyukuri nikmat. Secara manusiawi mereka berkomentar tentang alam semesta dan dunia ini kepada Tuhan-nya, seperti dikutip secara tepat oleh Al-Qur’an;
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. 3: 191)
Begitu juga halnya jika kita berbicara tentang agama itu sendiri. Materialisme bukanlah suatu mazahab ideologi atau peradaban yang sama sekali nihil dari persoalan spiritualitas. Perbedaan antara Islam dengan materialisme terletak pada “kerangka” di mana agama dalam Islam menempati posisi sebagai supra struktur kehidupan, artinya seluruh aspek dalam kehidupan ini ada dalam kerangka kehidupan keagamaan. Sebuah perbuatan sekecil apapun, tak dapat dilepaskan perhitungan dan implikasinya dengan akherat, suatu kehidupan pasca kehidupan dunia ini yang merupakan pokok keimanan Islam. Sementara dalam materialisme, agama ditempatkan sebagai subordinasi kehidupan. Artinya, kehidupan keagamaan seseorang adalah dalam kehidupan di dunia ini; pemenuhan kebutuhan spiritual seseorang, sebenarnya adalah untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas.
Aspek-aspek kehidupan yang lain, seperti hukum, seni atau lainnya, secara prinsip juga berbeda antara Islam dengan nasionalisme. Dalam Islam, aspek-aspek kehidupan ini merupakan derivat dari prinsip keyakinan yang sama. Itulah mengapa seni Islam yang berkembang, seperti seni lukis dan ornamen-ornamen, terlihat dua dimensi dan obyek yang dilukis pun merupakan motif garis, lengkung dan bukan peniruan makhluk hidup secara natural. Seni Islam juga melukis manusia, tetapi secara ketat digambar dalam dua dimensi. Sementara dalam materialisme, seperti tercermin dalam perjalanan sejarahnya pasca renaisans, yang menjadi obyek lukisan adalah diri dengan tiga dimensi (berbeda dengan era gereja ortodoks), cabul dan memperturutkan nafsu.
Hegemoni Peradaban Barat
Peradaban Barat modern yang kita kenal sekarang ini, jika dikaji secara cermat adalah suatu peradaban yang menempatkan materi, suatu simplifikasi atas pandangan Aristotelian tentang materia prima, sebagai titik tolak keyakinannya. Keyakinan material inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti sumber motivasi (n-ach), verifikasi keilmuan, gaya dan standardisasi hidup bahkan secara vulgar menuding bahwa kemiskinan (ketiadaan materi) adalah sumber kejahatan.
Dalam verifikasi keilmuan peradaban material ini memberikan otoritas tertinggi pada model-model pengujian tentang benar tidaknya sesuatu atau ada tidaknya sesuatu, secara indrawi dan laboratoris. Jika obyek-obyek yang dikaji itu berkenaan dengan fisika, sudah barang tentu merupakan kontribusi yang cukup besar, sekalipun model verifikasi ini tidak mungkin menjangkau asal mula sesuatu (prima causa) dan juga fungsi proporsional tentang obyek yang diuji tersebut, selain dari memperturutkan ambisi manusia. Tetapi jika model verifikasi yang sama digunakan untuk menguji hal-hal yang bersifat metafisis, seperti adanya fitrah manusia yang berdasarkan tawhid, hati nurani, adanya kebangkitan kembali pasca kehidupan ini dan hal sejenisnya, maka jelas model verifikasi material ini sama sekali tidak membantu.
Tetapi masalahnya adalah bahwa bagi peradaban Barat yang materialis ini ketika hendak menguji atau memverifikasi segala sesuatu, apapun itu, jika tidak berhasil, mereka menyingkirkan obyek tersebut dari ruang publik dan melarang siapapun untuk membawa persoalan tersebut sebagai persoalan publik. Kegagalan dalam menguji sesuatu, menjadikan sesuatu itu justru disingkarkan, sekalipun itu adalah kebenaran yang hakekatnya sangat dibutuhkan manusia. Doktrin sekuler, yakni pemisahan urusan agama dengan dunia, sedikit banyak dipengaruhi oleh model verifikasi keilmuan yang dikembangkan peradaban Barat modern ini.
Begitu juga halnya dalam aspek gaya hidup dan penghargaan manusia yang satu atas manusia yang lain jelas ditunjukkan seberapa besar asset yang dimilikinya. Siapakah kamu? Pertanyaan ini, dalam “bawah sadar” orang-orang Barat modern, berarti berapa uang yang anda miliki, luas tanah, perhiasan, kendaraan dan hal-hal material lainnya. Semakin banyak anda memiliki itu, maka penghormatan besar akan diberikan.
Begitu juga sebaliknya, jika anda tidak memiliki hal-hal material tersebut, maka itu berarti anda bukanlah siapa-siapa; eksistensi diri anda dinafikan. Ketika orang-orang miskin meratap dan berusaha mempertahankan hak-haknya untuk hidup, misalnya dengan cara berjualan, maka dapat kita saksikan betapa beringas dan kejamnya “kaki tangan” pemilik modal ini dalam menghardik dan mengusir mereka. Tentu semua itu mereka lakukan berdasarkan dari aturan yang sudah dibuat, tetapi mengapa aturan dibuat seperti itu, itu juga merupakan kepanjangan dari pemodal sendiri.
Dalam kapitalisme tidak ada nilai-nilai kemanusiaan atau kasih sayang, tetapi menguntungkan atau tidak, karena materi adalah ukuran yang utama.
Di atas keyakinan dan orientasi hidup dengan nilai-nilai turunannya itulah, secara global dapat kita lihat Amerika Serikat menempatkan diri sebagai raja atau patron peradaban Barat ini, seperti Fir’aun di era Mesir kuno. Fenomena peradaban material ini juga sama dengan masa jahiliyah dulu, yakni tersutrukturisasi dalam pola hubungan patron-klien. Amerika adalah patronnya, maka dapat kita lihat bahwa World Bank, IMF, G-7 dan sejenisnya ibaratnya seperti Qarun. Sementara NATO memainkan peran sebagai tentara-tentara yang siap melayani keputusan Amerika, maka perguruan tinggi di Barat, para ilmuwan dan peneliti berperan sebagai tukang sihir yang menjungkirbalikkan nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan dalam kehidupan. Dalam hubungan patron-klien ini, kedua belah pihak saling memperoleh keuntungan dan, sebaliknya, yang dirugikan adalah mereka-mereka yang tidak memiliki koneksi dengannya, yang mayoritasnya adalah masyarakat Muslim.
Materialisme adalah inti peradaban barat madern ini, tetapi bagaimana inti ini dapat terlindung dari gempuran, maka dibuatlah orbit yang berupa wacana-wacana, isu dan tema-tema yang terasa manusiawi, tetapi sebenarnya menjebak. Misalnya, isu tentang hak azasi manusia, demokrasi, gender, lingkungan hidup dan sebagainya. Isu-isu ini seperti sarana untuk menjebak dan memburu, masyarakat mana yang tidak mengikuti jejaknya atau mencoba mengganggu status quo yang dinilikinya. Apa itu hak azasi, jelas antara satu peradaban dengan peradaban lainnya berbeda. Islam misalnynya, menekankan bahwa hak azasi adalah ketika seseorang bisa secara bebas memanifestasikan fitrahnya, terbebas dari belenggu paganisme. Sebaliknya, dalam Barat materialisme, hak azasi bisa juga berarti ekspresi bebas untuk porno aksi, bahkan kini perkawinan sejenis pun, yang merupakan tiruan dari kaum Nabi Luth yang diazab itu, juga disebut sebagai hak azasi.
Negara-negera Muslim seringkali dihujat karena tidak menerapkan demokrasi, karena siapapun yang mempelajari Islam akan paham bahwa kebenaran dan kekuasaan Tuhan tidak identik dengan suara mayoritas. Tetapi dalam sebuah kasus yang terjadi di Aljazair, ketika rejim militer menyelenggarakan Pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FIS (Front Perlawanan Islam), toh Pemilu dibatalkan dan rejim militer dipulihkan dengan campur tangan Perancis.
Konflik dan Benturan
Sifat dari suatu peradaban besar adalah ekspansif; menyebarkan dan mentransmisikan ajaran-ajaran, nilai-nilai, gaya hidup dan wacana ke berbagai aspek kehidupan dan ke seluruh umat manusia. Sifat dasar inilah yang membuat ideologi itu berkembang pesat dan selanjutnya berkarakhter hegemonik terhadap seluruh umat manusia yang mampu dijangkaunya. Sementara di bumi ini, ada sejumlah peradaban yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain.
Lalu apakah yang akan terjadi jika peradaban-peradaban itu bertemu dalam sejumlah aspeknya? Jawaban sederhana dari fenomena pertemuan dua peradaban atau lebih ada beberapa kemungkinan. Pertama, yakni dialogis atau suplementatif, jika peradaban-peradaban yang bertemu tersebut tidak sempurna atau tidak bertolak belakang secara prinsipal. Kedua, adalah konflik atau benturan, karena titik tolaknya dari orientasi yang bertentangan.
Kapitalisme yang merepresentasikan peradaban yang didasarkan pada materialisme pernah dikritik keras oleh Karl Marx, yang dalam karyanya Das Capital, meramalkan runtuhnya Kapitalisme. Tetapi, sebenarnya orientasi Kapitalisme maupun Marxisme adalah sama, yakni materialisme. Perbedaan keduanya, dalam perspektif ekonomi, hanya terletak pada hubungan kerja antara modal dengan buruh; dalam Kapitalisme penekanannya pada supremasi capital (modal) sementara dalam Marxisme pada supremasi buruh (pekerja, proletarian).
Materi sebagai suprastruktur, memberikan pengaruh dalam tata negara dan pemerintahan, estetika, hukum, sains dan semua aspek kehidupan manusia lainnya. Karena itu, tidak ada benturan yang berarti antara kapitalisme dengan sosialisme, Barat dengan Komunis. Tetapi dalam realitas sejarah yang ada, kedua peradaban dan ideologi materialisme ini adalah saling “bermain mata” untuk memecah belah negara-negara dan masyarakat lain untuk masuk ke dalam orbitnya, dan itu berarti pasar yang terbuka bagi propaganda ideologi maupun penjualan senjata. Betapa banyaknya negara-negara kecil, termasuk Indonesia menjadi ‘barang mainan’ Kapitalisme atau Komunisme (keduanya adalah materialisme), mereka membelanjakan anggaran belanja, mengagitasi dan memprovokasi rakyat dan saling membunuh sesama anak bangsa.
Dalam pola hubungan yang agak berbeda terjadi antara peradaban materislisme Barat dengan sejumlah peradaban Timur, seperti Hindu di India, Konfusianisme di China dan Shintoisme di Jepang. Peradaban-peradaban ini pada dasarnya memiliki doktrin spiritualisme yang kaya, seperti tercermin dalam ajaran Upanishad dan Baghawad Gita, tetapi segera kita sadari bahwa ajaran-ajaran spiritualisme Timur ini tidak memiliki refleksi spiritualitas atas kehidupan sosial dan material. Artinya, meskipun ajaran mereka memiliki kandungan spiritualitas yang kaya, tetapi sifatnya adalah anti dunia, dan karena itu tidak ada nilai-nilai kehidupan sosial, ekonomi, politik dan hukum serta etika yang tercermin darinya. Spiritualisme Timur sangat mirip dengan doktrin gereja yang juga anti dunia.
Sifat doktrin spiritual yang anti dunia ini, yang berarti kekosongan atas nilai-nilai kehidupan duniawi ini, pada gilirannya akan terjadi proses pencakokan dengan doktrin materialisme yang hampa dari spiritualisme, dengan suatu cara yang sangat mengejutkan. Sejarah menunjukkan bahwa kekaisaran Romawi adalah rejim yang secara ambisius memburu Yesus dan para pengikutnya, menyiksanya dengan cara menyalibnya, lepas dari apakah yang disalib itu Isa al-Masih atau bukan. Tetapi setelah waktu berlalu, ternyata raja-raja Romawi berikutnya memeluk agama Nasrani dengan tetap mempertahankan nilai-nilai politik, kekuasaan, etika dan aspek-aspek manusiawi yang dimilikinya sendiri. Sebaliknya, gereja yang mewarisi ajaran Yesus, juga merespons positif atas pencakokan ini, dan penyebaran Injil atau seruan untuk masuk ajaran Nasrani ke seluruh dunia dilakukan gereja dengan menggunakan kaki tangan raja-raja dan pemerintahan materialisme.
Dalam pola yang sama dapat disaksikan, bahwa interaksi antara Hinduisme, Konfusianisme dan Shintoisme dengan peradaban Barat juga terjadi pencakokan dan nuansa dialogis komplementer. Hal ini terjadi karena Barat yang menyebar ke Timur juga mengalami kekeringan spiritual, dan betapa terpesonanya orang-orang Barat terhadap kehidupan spiritualisme Timur, karena mereka memang miskin tentang hal itu. Karena itu proses modernisme dan sekulerasi etik di Timur, seperti Jepang, India dan China begitu cepat; sebuah peradaban yang campur aduk.
Sebagaimana kini disinyalir sejumlah pihak, bahwa dalam era ini telah terjadi potensi benturan sejumlah peradaban, yang bersumber dari ajaran Islam, Konfusianisme, Hindu-Budha, Shinto, Komunis dan Barat. Bagaimanakah benturan peradaban itu terjadi. Untuk memahami persoalan ini ada baiknya kita mengangkat kasus-kasus kemanusiaan, terutama berkenaan dengan moralitas, misalnya perzinaan, hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan. Dilihat dalam perspektif peradaban Barat, selama perbuatan itu dilakukan suka sama suka, jelas bukan tindakan yang amoral, artinya diperbolehkan. Dilihat dalam perspektif peradaban Timur, seperti Hindu, Budha atau Shintoisme mungkin dipandang sebagai tindakan amoral, tetapi tidak perlu ada pidana fisik. Sebaliknya, kasus yang sama jika dilihat dalam perspektif Islam, jelas merupakan pelanggaran berat dengan konsekuensi hukum rajam dan bila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah menikah hukumannya adalah “mati.” Sebaliknya, qisas (salah satu model pidana Islam) yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai penjamin kehidupan, dianggap sebagai suatu yang keji oleh peradaban lain, terutama Barat.
Perbedaan bahkan pertentangan pandangan serta konsekuensi hukum dari masing-masing peradaban itulah yang seringkali melahirkan benturan-benturan.
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Q.S. 2: 177)
Sebagai sebuah peradaban, Islam telah sempurna. Artinya, keyakinan yang dimiliki, visi ideologis maupun nilai-nilai kehidupan yang diturunkan dari ajarannya, Al-Qur’an dan Sunnah, telah mencukupi bagi kehidupan umat manusia, di mana pun dan kapun pun. Kesempurnaan itu tak hanya terlihat, bagaimana Islam mengatur secara tertib bagaimana beretika dan menjaga kebersihan diri, seperti gosok gigi, sampai pada bagaimana caranya mengatur sebuah negara besar, dan bagaimana pentingnya etika dan keadilan ditegakkan dalam berperang, seperti larangan menyakiti anak-anak dan perempuan maupun musuh yang sudah menyerah. Kesempurnaan itu juga tercermin dalam suatu cara, di mana ajaran Islam mendorong setiap manusia untuk mengembangkan intelektualitas dan kemampuannya. Karena kesempurnaan inilah, Allah menyatakan keridhaan-Nya atas Islam ini untukmu;
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. 5: 3)
Islam adalah ajaran yang sempurna dan sekaligus kebenaran yang sempurna. Ajaran yang sempurna ini dapat diibaratkan seperti matahari, yang memiliki sifat intrinsik, memancarkan cahaya, memberikan kehangatan, energi dan kehidupan. Karena itu siapapun yang bisa menangkap dan merasakan cahaya kebenaran ini, maka dari “jati dirinya yang terdalam” juga akan berkembang sifat ekspansif, yakni berusaha mewartakan kebenaran ini kepada setiap orang yang ditemuinya dan diajaknya bersama-sama untuk memasuki cahaya kebenaran yang sama. Sebaliknya, orang-orang yang tercerahkan ini akan segera menolak nilai-nilai kehidupan yang bertentangan dengan ajaran yang dimilikinya.
Dengan demikian dapat dibayangkan, apakah yanga akan terjadi jika peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lain, khususnya materialisme.
Dalam suatu pengertian tertentu, benturan peradaban akan terjadi jika dua buah peradaban saling bertemu pada sejumlah aspeknya yang tidak terkompromikan. Islam sebagai peradaban yang tumpuan utama adalah tawhid, sudah barang tentu akan bersifat saling menegasikan dengan peradaban yang orientasi dasarnya justru menolak tawhid itu sendiri. Dalam Marxisme, seperti diekspresikan oleh para tokohnya memberikan komentar yang sangat negatif berkenaan dengan agama maupun Tuhan. Bagi mereka agama adalah candu dan mereka menyatakan alergi ketika nama Tuhan disebutkan. Begitu dalam filsafat eksistensialis materialisme Barat, seperti dikemukakan oleh Neitche; “Tuhan telah mati.”
Karena orientasi dan keyakinan yang bertentangan ini, maka derivat nilai-nilai hidup yang ada antara kedua peradaban itu pun pasti bertentangan dan saling bernegasi. Artinya sebuah kata yang memuat makna “perbuatan baik,” dinilai dari perspektif Islam seperti beramal dengan ikhlas akan “menjadi perbuatan buruk” misalnya dengan menyebutnya sebagai pemborosan, jika dinilai dengan perspektif materialisme. Istilah “gila” yang diangkat dalam ayat-ayat awal surah Al-Qalam, menandakan suatu interaksi dua peradaban yang nilai-nilai kehidupan dari keduanya saling bertentangan. Marilah kita elaborasi secara komperatif nilai-nilai antara dua peradaban ini, Islam dengan materialisme –yang sejatinya adalah ateisme, dalam beberapa aspek kehidupan manusia yang penting, seperti politik, hukum, ekonomi, sains, estetika dan agama itu sendiri.
Nilai-nilai politik, yang merupakan standar kehidupan sesorang untuk mengatur dan mengontrol massa, jelas memerlukan doktrin atau falsafah kekuasaan. Dalam Islam sangat tegas dinyatakan bahwa kekuasaan bersumber pada Tuhan, artinya otoritas perintah dan larangan tertinggi berasal dari-Nya. Tetapi bagaimanakah falsafah kekuasaan seperti ini diaplikasikan dalam kehidupan politik? Jawabannya adalah dengan pola pendelegasian, di mana Nabi adalah hakim tertinggi sekaligus memiliki otoritas penuh untuk menjalankan “kekuasaan Ilahiyah” atas manusia. Sepeninggal Nabi, yang menggantikan otoritas itu secara relatif adalah pewarisnnya, yakni ulama. Artinya, keulamaan yang mengendalikan kekuasaan, dan itu berarti superioritas ilmu dan spiritualitas serta integritas moral. Karena kebenaran adalah ukuran tertinggi, yang tentunya berdasarkan kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sebaliknya dalam doktrin materialisme; falsafah kekuasaannya seperti kita ketahui bersama adalah berasal dari rakyat (demokrasi), dan mereka beranggapan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebuah anggapan yang tampak ragu dan sama sekali tidak pernah terbukti secara historis. Karena kekuasaan dari rakyat, maka sah tidaknya kekuasaan sangat tergantung pada mayoritas yang merupakan representasi suara rakyat. Sejarah menunjukkan bahwa Tuhan berbicara dengan dan memberikan petunjuk kepada Nabi yang diutus-Nya dan Nabi yang bersangkutan itulah yang memberikan bimbingan dan pimpinan kepada rakyatnya. Nabi tidak tunduk kepada rakyat, tetapi rakyatlah, yang tunduk kepada Nabi. Al-Qur’an juga memberikan pernyataan yang lugas, jika kebenaran itu tunduk poada nafsu manusia, maka hancurlah dunia ini.
Dua tatangan politik yang bertolak dari falsafah dan nilai-nilai yang berbeda ini sama-sama telah diaplikasikan dalam sejarah umat manusia. Bagaimana wujud sosialnya masyarakat yang berada dalam kekuasaan Islam dan kekuasaan ateisme jahiliyah, kita sama-sama tahu. Dalam kehidupan dewasa ini kita saksikan betapa materi atau uang dengan mudah menyandra suara rakyat, melalui wakil-wakilnya. Para ‘stick holder’ materi ini cukup hanya dengan mengerdipkan mata, dan para wakil rakyat itu pun akan membebeknya, dengan koor suara seperti iring-iringan bebek yang digembalakan, tanpa argumentasi dan tanpa basa-basi.
Begitu juga halnya ketika kita menyimak nilai-nilai sains yang dipresentasikan dari dua peradaban yang berbeda ini. Barangkali kita sendiri adalah pelaku korban dari suatu sistem pendidikan, di mana sains yang diajarkan pada kita seperti biologi, kimia fisika dan sebagainya, tanpa satu kata pun asma Tuhan disinggungnya. Artinya, ketika kita mempelajari sains yang demikian ini, mungkin kita bisa menjadi seorang saintis, tetapi tetap saja kita tidak mampu membaca bahwa alam semesta yang tergelar ini dan begitu juga dengan diri kita, adalah ayat-ayat Allah. Mengapa demikian?
Sains yang dikembangkan di Barat adalah sains yang diadopsi dari pikiran-pikiran metodologis Francis Bacon, Rene Descartes dan juga Charles Darwin. Bagi Bacon sendiri, ia berinteraksi dengan alam semesta tak ubahnya mengamati sebuah arloji yang sudah jadi. Jelas bahwa arloji itu ada yang membuatnya, tapi baginya pembuat arloji itu tidak penting, karena arloji pun tetap berjalan dengan sistemnya sendiri sekalipun pembuatnya meninggal dunia. Begitu juga para pemikir materialis ini dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan alam. Mereka “menemukan” alam ini seperti benda yang tanpa tuan, karena itu mereka tidak perlu berterima kasih pada penciptanya.
Sebaliknya mereka memanfaatkan alam ini, melalui teknologi yang dihasilkan, semata-mata untuk memenuhi ambisi dan dirinya sendiri. Itulah mengapa sains dalam peradaban materialisme Barat disebut netralitas etik, dan kenyataan menunjukkan bahwa yang paling cepat perkembangannya adalah sains militer yang fungsi utamanya sebagai mesin pembunuh, seperti nuclear.
Perbedaan prinsipnya antara sains Barat dengan sains Islam terletak pada dimensi ontologisnya, asal sesuatu itu “mengada.” Sains Islam memberikan penekanan penting tentang siapakah pencipta alam semesta ini dan asal segala sesuatu, sebagaimana tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan kontempelatif Rasulullah di gua Hira’; dari manakah asalnya segala sesuatu ini? Siapakah gerangan yang mengatur kehidupan ini, sehingga bintang-gemintang berada dalam keteraturan yang sempurna dan sebagainya.
Pertanyaan ini begitu penting karena jawaban atas hal tersebut akan menjadi landasan etik dan nilai-nilai sains itu sendiri. Sebagaimana kita simak dalam sejarah, pertanyaan-pertanyaan beliau itu mendapatkan jawaban langsung dari Allah seperti tertera dalam surat Al-‘Alaq, dan iqra bismirrabbik itu adalah menjadi landasan bagi saintis Muslim. Dalam perspektif Islam, mempelajari sains adalah mempelajari ayat-ayat Allah yang lebih dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah. Karena itu semakin dalam seseorang mempelajari sains maka akan semakin mengerti pula dirinya tentang keagungan Allah dan pemanfaatan sains selanjutnya adalah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Dalam perspektif Al-Qur’an, ilmu adalah subordinasi ketaqwaan dan semakin dalam orang memiliki ilmu berarti semakin bertaqwalah dia. Orang-orang berilmulah yang menurut Al-Qur’an yang banyak mensyukuri nikmat. Secara manusiawi mereka berkomentar tentang alam semesta dan dunia ini kepada Tuhan-nya, seperti dikutip secara tepat oleh Al-Qur’an;
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. 3: 191)
Begitu juga halnya jika kita berbicara tentang agama itu sendiri. Materialisme bukanlah suatu mazahab ideologi atau peradaban yang sama sekali nihil dari persoalan spiritualitas. Perbedaan antara Islam dengan materialisme terletak pada “kerangka” di mana agama dalam Islam menempati posisi sebagai supra struktur kehidupan, artinya seluruh aspek dalam kehidupan ini ada dalam kerangka kehidupan keagamaan. Sebuah perbuatan sekecil apapun, tak dapat dilepaskan perhitungan dan implikasinya dengan akherat, suatu kehidupan pasca kehidupan dunia ini yang merupakan pokok keimanan Islam. Sementara dalam materialisme, agama ditempatkan sebagai subordinasi kehidupan. Artinya, kehidupan keagamaan seseorang adalah dalam kehidupan di dunia ini; pemenuhan kebutuhan spiritual seseorang, sebenarnya adalah untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas.
Aspek-aspek kehidupan yang lain, seperti hukum, seni atau lainnya, secara prinsip juga berbeda antara Islam dengan nasionalisme. Dalam Islam, aspek-aspek kehidupan ini merupakan derivat dari prinsip keyakinan yang sama. Itulah mengapa seni Islam yang berkembang, seperti seni lukis dan ornamen-ornamen, terlihat dua dimensi dan obyek yang dilukis pun merupakan motif garis, lengkung dan bukan peniruan makhluk hidup secara natural. Seni Islam juga melukis manusia, tetapi secara ketat digambar dalam dua dimensi. Sementara dalam materialisme, seperti tercermin dalam perjalanan sejarahnya pasca renaisans, yang menjadi obyek lukisan adalah diri dengan tiga dimensi (berbeda dengan era gereja ortodoks), cabul dan memperturutkan nafsu.