oleh : Suharsono
Peradaban-peradaban Manusia
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Dengan definisi ini maka, dapat disaksikan bahwa dalam kehidupan dunia ini, secara historis kita dapati peradaban-peradaban manusia yang pernah ada dan bahkan, banyak di antaranya masih tetap bertahan hingga sekarang ini dan masa-masa yang akan datang. Bagaimanakah peradaban-peradaban itu berkembang dan mencapai puncak keagungannya, dapat kita telusuri dalam fenomena sejarah yang dilaluinya.
Mesir purba yang terkenal dengan piramida-piramida raksasa yang tetap menarik sebagai obyek wisata sampai hari ini, adalah warisan dari suatu peradaban yang keyakinan dasarnya menyembah dewa-dewa. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah posisi raja-raja (Fir’aun) yang diperankan sebagai anak dewa atau mewarisi otoritas dewa dalam mengatur rakyat dan menguasainya. Dari keyakinan ini kemudian muncul pendukung, yang terdiri atas orang-orang yang dianggap pintar, untuk menyebarkan keyakinan tersebut ke tengah-tengah masyarakat, membangun kesadaran publik sekaligus “menyandranya,” sehingga seluruh rakyat terbelenggu olehnya. Pendukung berikutnya adalah teknolog dan para militer yang siap mengantisipasi, jika ada sebagian rakyat melakukan perlawanan terhadap keyakinan itu, yang pada kenyataannya dimanifestasikan dalam kehendak raja-raja.
Kita tahu bahwa tindakan manusia pada dasarnya adalah buah dari kesadaran yang dimilikinya sendiri. Karena itu ketika kesadarannya telah tersandra oleh keyakinan seperti ini, maka tindakan-tindakan rakyat yang dimungkinkan adalah ketundukan total atas kehendak raja. Jika ada satu bentuk perlawanan yang paling sederhana sekalipun, mungkin akan diredam oleh sebagian rakyat yang lain, karena takutnya mereka kepada raja. Dari sini segera kita tahu nilai-nilai kemanusiaan apa yang dapat berkembang dari keyakinan seperti ini, selain dari perbudakan itu sendiri. Raja adalah sumber kehendak, dan seluruh rakyat yang harus bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Karena itulah dapat disaksikan bahwa dalam kebesaran pyramida yang dibangun para Fir’aun tersebut, selalu berarti pengorbanan ribuan manusia dan para budak. Jasad dan tulang-belulang manusia diaduk bersama pasir dan material lainnya untuk dijadikan perekat batu-batu, sehingga jadilah pyramid itu. Dan ketika Fir’aun menghendaki setiap anak-anak laki yang lahir untuk dibunuh, maka tak ada seorang pun yang bisa menolaknya.
Apa yang terjadi di Mesir, dalam skala yang berbeda juga terjadi di Arab, di mana peradaban Arab jahiliyah lahir dan perkembang. Di Daerah ini, meskipun terdapat maqam Ibrahim dan ajaran tawhid yang dibawanya dan Ka’bah yang berdiri tegak, namun realitas sosial selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang Arab lebih suka terhadap berhala-berhala yang dibuatnya sendiri. Fenomena keyakinan dan penyembahan berhala yang ada di Arab, justru berawal dari suatu kasus yang sederhana dan terkesan ikut-ikutan. Tetapi begitulah yang terjadi, ketika berhala telah di buat dan sejumlah tokoh mengakui otoritasnya, katakanlah sebagai pelindung rakyat, pemberi kemakmuran dan hujan serta penolak segala bentuk bencana, maka dengan cepat keyakinan seperti ini akan menyebar, baik secara aktif maupun pasif ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Berbagai bukti pendukung, baik berupa keajaiban (sihir) maupun keberuntungan dalam proses penyembahan berhala ini akan terus diproduksi untuk membangun sistem kesadaran publik terikat kepadanya. Ketika keyakinan seperti itu sudah tegar, maka sejumlah elite sosial yang ada akan mengawalnya dengana sepenuh hati, karena mereka dalam berbagai hal diuntungkan dengan paganisme ini. Nilai-nilai hubungan sosial yang terbangun pada gilirannya juga melahirkan perbudakan. Nilai etika, kehormatan, seni dan semua mengarah pada muara yang sama yakni materialisme. Seseorang membunuh anak perempuannya, karena itu merasa aib bagi keluarga yang didasarkan pada nilai-nilai materialisme di mana anak perempuan tidak menghasilkan materi apapun.
Dalam satu situasi kehidupan, di mana elite penguasa dibantu oleh kelompok ilmuwan (tukang sihir, penyair atau akademisi), kelompok militer dan orang-orang kaya (seperti Qorun) dalam menghadapi mayoritas rakyat yang tak berdaya dan sendirian, maka seberapa lama pun sejarah yang dibuatnya, tak lebih dan tak kurang adalah sejarah perbudakan manusia atas manusia.
Nilai-nilai kehidupan yang tumbuh subur adalah kemungkaran, penindasan, ketidakadilan, kebohongan, hilangnya prikemanusiaan dan tak ada lagi harga kehidupan manusia. Mungkin saja dalam situasi ini ada beberapa orang yang kesadarannya masih sehat dan tidak terlibat kenistaan tersebut, tetapi mengharapkan rakyat untuk memberikan perlawanan, jelas tidak mungkin, karena sistem kesadarannya telah berubah menjadi mental-mental budak. Dalam hal ini, Al-Qur’an memberikan catatan sejarahnya, bahwa akhir dan untuk mengakhiri kehidupan seperti itu ialah dengan diutusnya para rasul atau bangsa (kaum) tersebut menerima azab mematikan.
Pola kejahiliyahan dan peradaban yang dibangun di atas keyakinan ini tidak hanya berlaku pada zaman dahulu, tetapi juga bisa terjadi pada zaman modern ini. Bagaimanakah peradaban modern dibangun, apa yang menjadi keyakinan dasar dari peradaban modern ini, elite mana saja yang memberikan dominasi atas kehidupan manusia. Nilai-nilai apa saja yang diperkenalkan kepada masyarakat internasional dan sekaligus berfungsi untuk membelenggu kesadarannya. Siapa-siapakah yang menjadi korban dan siapa-siapa pula yang akan mampu menjadi pembebas.
Jauh sebelum Barat menampakkan diri sebagai peradaban modern seperti yang kita saksikan sekarang ini, manusia di belahan bumi bagian Timur dan Selatan sebenarnya telah meninggalkan bekas –bekas peradaban yang cukup penting. Pada sekitar lima abad SM, Tiongkok menpunyai Kong Fu Tse (551-478), Lao Tse (604 SM), yang dianggap orang sebagai penulis Tao Te ching, sebuah canon yang menjadi dasar filsafat dan keyakinan hidup bagi masyarakat di China dan Asia Timur lainnya. Dalam era yang hampir sama, di India melalui tangan-tangan emas para brahmana muncul kitab Upanishad yang bersifat filosofis religius. Begitu juga dengan Iran yang kokoh dengan Zaratrustra (Zoroaster); sebuah ajaran Dualisme awal yang menganggap dunia ini sebagai medan pertempuran terus-menerus antara kebajikan (Dewa Ormuzi) melawan dengan kejahatan (Dewa Ahriman), yang berakhir dengan kemengan Ormuzi. Tetapi perkembangan yang bersifat keagamaan, yang justru lahir lebih awal terjadi di Palestina, ketika Irmia melalui risalah kenabiannya menyerukan dokrin-dokrin tawhid yang tidak saja merupakan hasil renungan, melainkan berkenaan dengan otorisasi mutlak Allah.
Fenomena yang terjadi di Palestina ini, meskipun dikategorikan sebagai dualisme antara Irmia (yang cenderung berpaham pesimis) dengan oposisi klasik Hanania (yang cenderung berpaham optimis), tetapi jelas mempunyai kebedaan esensisal.
Fenomena keagamaan yang tumbuh di berbagai belahan dunia, diangkat melalui renungan-renungan subjektif. Sementara di Palestina didasarkan pada dan bersumber langsung kebenaran mutlak. Akan tetapi sebuah perkembangan baru yang terjadi di Yunani abad V SM, memang harus diakui sebagai keajaiban terhadap pola umum perkembangan peradaban yang berlangsung pada era itu. Keajaiban itu terletak pada kemampuan Yunani mengabstrasikan segala sesuatu ke dalam kesatuan pengertian, yang belum pernah dilakukan oleh peradaban klasik lain. Perkembangan peradaban di Yunani yang merupakan keajaiban itulah yang selalu menjadi sandaran dasar bagi paradaban Barat di Eropa dan peradaban modern pada umumnya.
Yunani mulai debutnya sebagai peradaban ajaib dimulai oleh penolakan masyarakat Athena yang “berani menggugat segala bentuk keajaiban.” Kemengan prinsipil yang merupakan peletak dasar peradaban Barat, dibangun oleh masyarakat Yunani dengan tiang pancang intelektual. Mereka mulai bertanya-tanya tentang “sesuatu” di balik rahasia dan keajaiban, mereka tidak mau menelan begitu saja keajaiban sebagai “keajaiban.” Didukung oleh situasi alam yang bersahabat, memungkinkan masyarakat Yunani tidak harus merasa takut dan tunduk terhadap alam, sebagaimana pada masyarakat lain dengan alamnya yang keras. Tetapi sebaliknya, mereka mengantisipasi alam dengan sikap bebas dan tanpa wasangka terlebih dahulu. Perubahan-perubahan pada alam yang menghasilkan panorama yang indah, dalam alam pikiran Yunani diterima sebagai media observasi yang mengasyikkan. Nafsu ilmiahnya yang menggelora, menyebabkan dalam waktu yang relatif singkat terjadi perkembangan-perkembangan penting, terutama di lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Hasrat insani untuk menaklukan alam, lambat laun mempengaruhi perubahan persepsional manusia tentang “dirinya” dan posisinya terhadap alam. Karena itulah maka, ketika Timur berkembang menjadi “peradaban pesimis” dan menolak dunia, sementara Barat tumbuh sebagai “peradaban optimis” dan menolak selain dunia. Penghormatan akan diri sebagai eksistensi yang mulia, dikemukakan oleh Protogoras, seorang sofis dengan statemennya yang terkenal; ”Manusia menjadi ukuran segala yang ada.”
Kelahiran manusia “ajaib” dalam suatu peradaban yang ajaib, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, adalah musibah awal bagi tradisi animistik Yunani yang masih tersisa. Ketiga orang itu, yang merupakan Trinitas di bidang filsafat telah menancapkan tiang pancang pranata-pranata kehidupan. Socrates dalam gaya yang intrinsik adalah seorang pembangun di bidang etika, moral dan norma sosial bagi masyarakat beradab. Plato, mistikus klasik ini memiliki semangat yang kokoh sebagai bapak idealis. Begitu juga dengan Aristoteles, dalam kapasitas intelektual yang cemerlang, mampu membangun tonggak-tonggak materialisme, juga melangkapi pemikiran-pemikirannya dengan produksi ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin. Karya-karya monumental dari ketiga orang ini saja, sebenarnya telah cukup bagi Barat-Yunani untuk membangun mercu peradabannya, apalagi jika harus ditambah dengan sederet filosof lain dan saintis. Oleh sebab itu menjadi tidak mengherankan ketika para sejarawan membongkar sampai ke akar-akarnya dari peradaban klasik ini sebagi studi komparasi yang mengasyikkan.
Pergeseran-pergeseran kekuasaan, dari Yunani kepada Romawi walaupun banyak ditandai dengan pertempuran-pertempuran konvensional, tetapi justru merupakan era perkawinan yang suplementatif. Eropa di bawah Romawi bertambah dewasa, karena dalam masa kekaisaran Romawi, hukum telah diterapkan meskipun dalam batas-batas yang masih sulit dari kanibalisme. Tetapi perkembangan ini lebih menarik, karena adanya suatu pemerintahan yang teratur. Bahkan boleh dikatakan, bahwa dunia pada saat itu sudah mempunyai suatu pemerintahan yang berpusat di Roma.
Kandungan psikologis peradaban klasik Barat yang sedikit banyak tertanam benih-benih sekulerisme dan materialisme ini, untuk pertama kalinya disentakkan oleh umat Islam yang datang secara mencengangkan. Meskipun Barat telah terpermak oleh Nasrani (yang pesimis terhadap dunia), tetapi watak sekulerisme dan materialisme telah terlanjur dewasa, sehingga ketika umat Islam datang dengan prilaku religiusnya masyarakat Barat terheran-heran. Luas dan kecepatan ekspansi Islam itu sendiri, sesungguhnya suatu rangkaian pristiwa paling menakjubkan dalam sejarah peradaban manusia.
Setelah kekalahan Bizantium dalam perang Yarmuk tahun 636, Islam membedah Palestina dan Syiria. Berlanjut dengan pertempuran Qodisyiyah, tahun 537, Iran (Persia) ditaklukkan Islam. Perluasan wilayah berkembang ke arah selatan, antara 639 smpai 642 pasukan Islam menduduki Mesir, sedangkan Babylon jatuh pada tahun 642. Sementara itu penaklukan merembes terus kepesisir Afrika utara, Cyrenaica, Tripoli dan Tunisia bobol tahun 647. Bangsa Barbar Maroko, yang meskipun pada awalnya sangat menyulitkan ekspansi, tetapi akhir tahun 709 umat Islam juga sampai ke selat Giblatar, karena jendral Tarikh berhasil membujuk hati bangsa Barbar tersebut sebagai pasukan. Tujuan utama memasuki Eropa pertama adalah mengusai Spanyol, tak seberapa setelah Spanyol dapat ditundukan dengan melalui perang yang menentukan dekat Jabl al-Tarikh, razia dilanjutkan keToledo. Kemudian tahun 713 orang Islam dapat mengalahkan raja Got-Barat (Rodrogo), maka berakhirlah pemerintaha Jerman Got yang menguasai Spanyol selama tiga abad.
Sementara itu dari Syria umat Islam menaklukan Asia kecil dan Armenia. Konstanitopel diblokade tahun 673 namun Byzantium dengan “api Yunaninya” dapat bertahan dan mempertahankan kotanya. Tetapi pada tahun 717, melalui selat Bosporus umat Islam mengepung kembali secara ketat, meskipun dmikian Konstatinopel baru benar-benar dapat dikalahkan pada tahun 1453, ketika umat Islam dipimpin oleh bangsa Turki. Sedangkan di Eropa Barat umat Islam menyerbu ke Perancis, dengan melalui pegunungan Pyrenia. Tahun 752 mengadakan razia ke Bordeux, Soveye dan Swiss. Dalam batas itu komposisi pertempuran kemudian berbalik ketika Karl Martel, mangkubumi Perancis dapat mempecundangi Abburahman dalam pertempuran 732 antara Tours dan Poiters. Sejak itu timbul perayahan kembali (reconquista) dan mencapai puncaknya ketika pertahanan umat Islam di Grenada, jatuh ke tangan orang-orang Katholik.
Ekspansi besar ini bagi dunia Barat, bukanlah peristiwa tragis yang harus diratapi, melainkan akibat peperangaan itu sendiri yang perlu disimak. Umat Islam melakukan ekspansi ke Barat tidak berniat untuk menjarah tetapi menyebarkan Islam dalam membawa peradaban baru yang lebih manusiawi. Di samping itu Barat selayaknya berterima kasih kepada umat Islam lantaran pendidikan yang diprolehnya selama ekspansi itu. Dan tidak kalah pentingnya adalah kesanggupan cendekiawan-cendekiawan Muslim mengupas peradaban Yunani klasik, yang akhirnya dapat dikunyah Barat pada abad ke XV. Tanpa melalui tangan-tangan emas seperti al-Kindi (w. 783), al-Farabi (w. 961), Ibn Sina dan Ibn Rusyd (1198), barangkali Barat tetap sebagai “peradaban bisu.”
Sebagai suatu pengertian yang benar, hal demikian adalah penting. Karena karya Yunani klasik yang merupakan dan hampir seluruhnya adalah docmatica dicta, tak pernah disentuh oleh maysarakat Barat sendiri sampai abad ke VII. Tetapi ketika al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi dan terutama Ibn Rusyd mampu menghargai karya Aristoteles dan Plato yang kemudian ditransfer ke dalam bahasa Arab, Barat baru belajar menulis “namanya” sendiri, dan berhasil menikmati karya-karya tersebut jauh setelah abad XV, ketika beberapa sarjana berhasil meloloskan diri ke kota Florence dengan membawa naskah-naskah klasik nenek moyangnya, peradabn Yunani. Artinya, Barat membaca karya Yunani klasik melalui “mata” para ilmuwan Muslim. Di samping itu instrumen pengetahuan lainnya terutama matematika yang tersusun secara agak terinci dalam peradabn umat Islam, adalah pendorong yang efektif bagi lahirnya peradaban Barat baru yang spektakuler.
Tentu saja kita dapat mengatakan bahwa umat Islamlah, yang memberikan kontribusi terbesar dalam membangkitkan Eropa. Sebab-sebab lainnya masih banyak, misalnya kesatuan etnis yang melahirkan “ghirah” dalam wujud balas dendam, berbagai tekanan dan penindasan yang pada akhirnya melahirkan kesadaran baru. Yang jelas kebangkitan Barat pada abad XVI itu, yang dilukiskan sebagai Renaisance (kelahiran kembali), bukan suatu peristiwa besar yang datang secara tiba-tiba. Kelahirannya ditandai dengan pergumulan psikologis dan berubahnya pandangan hidup manusia tentang dunia.
Pandangan hidup Barat era pertengahan, pada umumnya terpusat pada pencapaian kesejahteraan akhirat semata-mata, serta menunjukkan sikap permusuhannya pada dunia. Kutukannya terhadap dunia terutama sekali berkat suntikan ajaran Nasrani ortodoks, yang memang sarat dengan cinta kasih dan pengobanan. Bangunan mitos kemanusiaan yang disusun oleh imam Gereja, St. Augustinus, berdasarkan Injil yang mereka susun; awalnya sejarah manusia di surga sebagai simponi kesejahteraan; manusia jatuh ke bumi ke dalam lembah penuh dosa, yang pada dasarnya baru dapat ditolong karena “Tuhan mengorbankan anak satu-satunya, Kristus (Isa Al-Masih), sebagai penebus dosa dan juru selamat,” adalah sebuah ajaran “penantian” yang juga merasuk ke dalam kesemua ajaran agama dan doktrin hidup. Karena itu masyarakat Barat abad pertengahan dengan sabar menanti kedatangan kembali Yesus Kristus, untuk mengusir iblis makhluk terkutuk dari dunia.
Tetapi kapan sebuah penantian akan berakhir, sehingga Yesus dapat mendirikan kerajaan tuhan (civitas dei) di muka bumi? Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali tidak akan muncul pada otak-otak beku seperti Bishop dan Hirarki kegerejaan. Tetapi bagi Francis Bacon atau Erasmus atau bahkan pada diri seorang seniman Leonardo da Vinci, pertanyaan itu adalah wajar dikemukakan. Karena manusia berhadapan dengan realitas secara langsung yang tak sepi dari berbagai ancaman dan bencana, sementara “menanti” bukanlah tindakan yang tepat dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup.
Masa menanti datangnya sang Juru Selamat yang turun ke dunia, katakanlah mulai jatuhnya Konstantinopel ketangan umat Islam tahun 1453 sampai dengan usia kematangan Bacon (w. 1626), bukan lagi dapat disebut sebagai penantian. Oleh sebab itu menjadi wajar apabila Bacon mulai melancarkan kecaman-kecamannya terhadap pandangan hidup abad pertengahan. Bacon membongkar konsepsi pengetahuan yang berlangsung abad pertengahan dengan selubung mitos, digantikannya dengan tiang pancang eksperimen dan akal budi sebagai dasar baru bagi ilmu pengetahuan.
Begitu pula dengan Erasmus, ketajaman pena yang menukik jantung peradaban gelap abad pertengahan, tidak saja dirasakan oleh kalangan sosial tertentu, tetapi juga menjebol dinding gereja. Erasmus dalam kecaman-kacamannya menyerang secara langsung kepada pendeta-pendeta Nasrani; “Di antara pendeta-pendeta itu banyak yang sangat berpegang pada upacara-upacara yang mereka lakukan dan berpegang kepada kebiasaan yang bersifat kekanak-kanakan, yang dibuat manusia sendiri. Satu surga saja belum cukup sebagai atas perbuatan mereka yang sangat hebat itu. Mereka lupa, bahwa pada hari perhitungan Yesus Kristus akan menanyakan kepada mereka, apakah menjalankan perintahnya yang terpenting, yakni mencintai sesama manusia. Kristus tidak akan menanyakan upacara-upacara, yang hanya bersifat lahir saja.” Kritik-kritik tajam ini bukan saja sekedar membongkar bangunan lama, tatapi Erasmus juga menawarkan bangunan baru yang lebih tegar, dengan jalan merekontruksi peradaban Yunani klasik, dalam bentuk karya tulis yang mudah dinikmati. Di samping itu jasa yang cukup besar di bidang keagamaan adalah, intrepretasinya yang orisinil terhadap Injil.
Jiwa-jiwa yang memberontak terhadap era pertengahan ini, semula hanyalah letupan-letupan kecil yang tidak mempunyai gaung. Tetapi kondisi era pertengahan yang sedang sekarat, mengharuskan masyarakat Eropa berlomba memperoleh ide-ide spektakuler tersebut, sebagai sebuah komoditi baru dalam ‘pasaran bebas’ untuk menginjeksi tata gelar kehidupan yang diseubungi mitos-mitos penantian. Barat sebagai sebuah gunung yang akan meletus, telah menunjukkan semburan-semburan api dipuncaknya, suhu yang semakin panas dan adanya pergeseran-pergeseran batuan dalam perut gunung yang bekerja semakin hebat. Masyarakat di kota Florence yang kaya raya itu di tangan kaum Borjuis berkomentar; hidup bukanlah pengabdian kepada tuhan, tetapi untuk dinikmati. Lukisan tentang surga, pederitaan Kristus berubah watak, menjadi lukisan diri sendiri, yang gila terhadap pengakuan dan penghormatan. Leonardo da Vinci dalam protesnya kepada Tuhan mengatakan; “Engkau wahai Tuhanku, hargailah kami sesuai dengan jerih lelah kami.” Sikap dan pandangan hidup yang sama sekali berubah terhadap dunia ini, pada intinya adalah sikap protes terhadap penyelesaian abad pertengahan yang fatalis. Seorang penulis berkabangsaan Italia, Guarcciardini melalui keyakinannya yang realistik, ia menulis dalam tema-tema yang sekuleristik.
Perubahan pandangan hidup dan sikap, pada akhirnya membawa pula perubahan-perubahan tingkah laku manusia. Dan pandangan Barat sekitar abad XVI yang memusat pada orientasi-orientasi materialis dan egoisme, telah membuktikan diri sebagai manusia-manusia yang mengembangkan wawasan ilmu dan pengetahuan yang lebih Progresive. Instrumen-instrumen teknologi sebagai penunjang kehidupan sehari-hari, yang mula-mula diimpikan oleh Bacon menjadi realitas yang menandai era renaisans.
Mula-mula penemuan itu adalah suatu kebetulan, tetapi dari kebetulan itu dikembangkan serta didaya gunakan untuk keperluan industri. Maka dalam waktu yang ralatif singkat Barat melakukan ekspansi besar-besaran kearah Selatan dan Timur, yang hampir seluruhnya berpenduk muslim, mistisime atau campuran antara keduanya.
Kekuatan ekspanisonisme Barat yang laksana muntahan lahar dari gunung meletus ini, didahului oleh ekspedisi-ekspedisi kecil dalam jumlah yang tidak berarti. Misalnya petualangan Colombus menemukan benua Amerika tahun 1492, Vasco da Gama dengan mengelilingi Afrika, menemukan India tahun 1494. Kemudian petualangan ini semakin besar dalam gelombang-gelombang manuisa Portugis dan Spanyol, akhirnya bangsa-bangsa Eropa utara yang bergerak lebih cepat. Selama empat abad proses ini tidak pernah berhenti, tetapi semakin berkembang dan meluas ke daerah-daerah lain. Orang-orang kulit putih begitu yakin dengan kemenangan-kemenangan yang telah diperolehnya, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka akan “menelan” dunia. Pandangan hidup demikian didukung oleh rasa superioritas ras Nordik, pengalaman-pengalaman pahit ketika dijajah oleh umat Islam, dan faktor yang tak kalah pentingnya dalam ekspansi itu adalah kesempurnaan instrumen-instrumen teknologis, terutama persenjataan. Hanya pertempuran Rusia-Jepang pada tahun 1904 yang dimenangkan Jepang, anggapan demikian mulai bergeser dan tidak seberingas sebelumnya.
Peradaban-peradaban Manusia
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Dengan definisi ini maka, dapat disaksikan bahwa dalam kehidupan dunia ini, secara historis kita dapati peradaban-peradaban manusia yang pernah ada dan bahkan, banyak di antaranya masih tetap bertahan hingga sekarang ini dan masa-masa yang akan datang. Bagaimanakah peradaban-peradaban itu berkembang dan mencapai puncak keagungannya, dapat kita telusuri dalam fenomena sejarah yang dilaluinya.
Mesir purba yang terkenal dengan piramida-piramida raksasa yang tetap menarik sebagai obyek wisata sampai hari ini, adalah warisan dari suatu peradaban yang keyakinan dasarnya menyembah dewa-dewa. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah posisi raja-raja (Fir’aun) yang diperankan sebagai anak dewa atau mewarisi otoritas dewa dalam mengatur rakyat dan menguasainya. Dari keyakinan ini kemudian muncul pendukung, yang terdiri atas orang-orang yang dianggap pintar, untuk menyebarkan keyakinan tersebut ke tengah-tengah masyarakat, membangun kesadaran publik sekaligus “menyandranya,” sehingga seluruh rakyat terbelenggu olehnya. Pendukung berikutnya adalah teknolog dan para militer yang siap mengantisipasi, jika ada sebagian rakyat melakukan perlawanan terhadap keyakinan itu, yang pada kenyataannya dimanifestasikan dalam kehendak raja-raja.
Kita tahu bahwa tindakan manusia pada dasarnya adalah buah dari kesadaran yang dimilikinya sendiri. Karena itu ketika kesadarannya telah tersandra oleh keyakinan seperti ini, maka tindakan-tindakan rakyat yang dimungkinkan adalah ketundukan total atas kehendak raja. Jika ada satu bentuk perlawanan yang paling sederhana sekalipun, mungkin akan diredam oleh sebagian rakyat yang lain, karena takutnya mereka kepada raja. Dari sini segera kita tahu nilai-nilai kemanusiaan apa yang dapat berkembang dari keyakinan seperti ini, selain dari perbudakan itu sendiri. Raja adalah sumber kehendak, dan seluruh rakyat yang harus bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Karena itulah dapat disaksikan bahwa dalam kebesaran pyramida yang dibangun para Fir’aun tersebut, selalu berarti pengorbanan ribuan manusia dan para budak. Jasad dan tulang-belulang manusia diaduk bersama pasir dan material lainnya untuk dijadikan perekat batu-batu, sehingga jadilah pyramid itu. Dan ketika Fir’aun menghendaki setiap anak-anak laki yang lahir untuk dibunuh, maka tak ada seorang pun yang bisa menolaknya.
Apa yang terjadi di Mesir, dalam skala yang berbeda juga terjadi di Arab, di mana peradaban Arab jahiliyah lahir dan perkembang. Di Daerah ini, meskipun terdapat maqam Ibrahim dan ajaran tawhid yang dibawanya dan Ka’bah yang berdiri tegak, namun realitas sosial selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang Arab lebih suka terhadap berhala-berhala yang dibuatnya sendiri. Fenomena keyakinan dan penyembahan berhala yang ada di Arab, justru berawal dari suatu kasus yang sederhana dan terkesan ikut-ikutan. Tetapi begitulah yang terjadi, ketika berhala telah di buat dan sejumlah tokoh mengakui otoritasnya, katakanlah sebagai pelindung rakyat, pemberi kemakmuran dan hujan serta penolak segala bentuk bencana, maka dengan cepat keyakinan seperti ini akan menyebar, baik secara aktif maupun pasif ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Berbagai bukti pendukung, baik berupa keajaiban (sihir) maupun keberuntungan dalam proses penyembahan berhala ini akan terus diproduksi untuk membangun sistem kesadaran publik terikat kepadanya. Ketika keyakinan seperti itu sudah tegar, maka sejumlah elite sosial yang ada akan mengawalnya dengana sepenuh hati, karena mereka dalam berbagai hal diuntungkan dengan paganisme ini. Nilai-nilai hubungan sosial yang terbangun pada gilirannya juga melahirkan perbudakan. Nilai etika, kehormatan, seni dan semua mengarah pada muara yang sama yakni materialisme. Seseorang membunuh anak perempuannya, karena itu merasa aib bagi keluarga yang didasarkan pada nilai-nilai materialisme di mana anak perempuan tidak menghasilkan materi apapun.
Dalam satu situasi kehidupan, di mana elite penguasa dibantu oleh kelompok ilmuwan (tukang sihir, penyair atau akademisi), kelompok militer dan orang-orang kaya (seperti Qorun) dalam menghadapi mayoritas rakyat yang tak berdaya dan sendirian, maka seberapa lama pun sejarah yang dibuatnya, tak lebih dan tak kurang adalah sejarah perbudakan manusia atas manusia.
Nilai-nilai kehidupan yang tumbuh subur adalah kemungkaran, penindasan, ketidakadilan, kebohongan, hilangnya prikemanusiaan dan tak ada lagi harga kehidupan manusia. Mungkin saja dalam situasi ini ada beberapa orang yang kesadarannya masih sehat dan tidak terlibat kenistaan tersebut, tetapi mengharapkan rakyat untuk memberikan perlawanan, jelas tidak mungkin, karena sistem kesadarannya telah berubah menjadi mental-mental budak. Dalam hal ini, Al-Qur’an memberikan catatan sejarahnya, bahwa akhir dan untuk mengakhiri kehidupan seperti itu ialah dengan diutusnya para rasul atau bangsa (kaum) tersebut menerima azab mematikan.
Pola kejahiliyahan dan peradaban yang dibangun di atas keyakinan ini tidak hanya berlaku pada zaman dahulu, tetapi juga bisa terjadi pada zaman modern ini. Bagaimanakah peradaban modern dibangun, apa yang menjadi keyakinan dasar dari peradaban modern ini, elite mana saja yang memberikan dominasi atas kehidupan manusia. Nilai-nilai apa saja yang diperkenalkan kepada masyarakat internasional dan sekaligus berfungsi untuk membelenggu kesadarannya. Siapa-siapakah yang menjadi korban dan siapa-siapa pula yang akan mampu menjadi pembebas.
Jauh sebelum Barat menampakkan diri sebagai peradaban modern seperti yang kita saksikan sekarang ini, manusia di belahan bumi bagian Timur dan Selatan sebenarnya telah meninggalkan bekas –bekas peradaban yang cukup penting. Pada sekitar lima abad SM, Tiongkok menpunyai Kong Fu Tse (551-478), Lao Tse (604 SM), yang dianggap orang sebagai penulis Tao Te ching, sebuah canon yang menjadi dasar filsafat dan keyakinan hidup bagi masyarakat di China dan Asia Timur lainnya. Dalam era yang hampir sama, di India melalui tangan-tangan emas para brahmana muncul kitab Upanishad yang bersifat filosofis religius. Begitu juga dengan Iran yang kokoh dengan Zaratrustra (Zoroaster); sebuah ajaran Dualisme awal yang menganggap dunia ini sebagai medan pertempuran terus-menerus antara kebajikan (Dewa Ormuzi) melawan dengan kejahatan (Dewa Ahriman), yang berakhir dengan kemengan Ormuzi. Tetapi perkembangan yang bersifat keagamaan, yang justru lahir lebih awal terjadi di Palestina, ketika Irmia melalui risalah kenabiannya menyerukan dokrin-dokrin tawhid yang tidak saja merupakan hasil renungan, melainkan berkenaan dengan otorisasi mutlak Allah.
Fenomena yang terjadi di Palestina ini, meskipun dikategorikan sebagai dualisme antara Irmia (yang cenderung berpaham pesimis) dengan oposisi klasik Hanania (yang cenderung berpaham optimis), tetapi jelas mempunyai kebedaan esensisal.
Fenomena keagamaan yang tumbuh di berbagai belahan dunia, diangkat melalui renungan-renungan subjektif. Sementara di Palestina didasarkan pada dan bersumber langsung kebenaran mutlak. Akan tetapi sebuah perkembangan baru yang terjadi di Yunani abad V SM, memang harus diakui sebagai keajaiban terhadap pola umum perkembangan peradaban yang berlangsung pada era itu. Keajaiban itu terletak pada kemampuan Yunani mengabstrasikan segala sesuatu ke dalam kesatuan pengertian, yang belum pernah dilakukan oleh peradaban klasik lain. Perkembangan peradaban di Yunani yang merupakan keajaiban itulah yang selalu menjadi sandaran dasar bagi paradaban Barat di Eropa dan peradaban modern pada umumnya.
Yunani mulai debutnya sebagai peradaban ajaib dimulai oleh penolakan masyarakat Athena yang “berani menggugat segala bentuk keajaiban.” Kemengan prinsipil yang merupakan peletak dasar peradaban Barat, dibangun oleh masyarakat Yunani dengan tiang pancang intelektual. Mereka mulai bertanya-tanya tentang “sesuatu” di balik rahasia dan keajaiban, mereka tidak mau menelan begitu saja keajaiban sebagai “keajaiban.” Didukung oleh situasi alam yang bersahabat, memungkinkan masyarakat Yunani tidak harus merasa takut dan tunduk terhadap alam, sebagaimana pada masyarakat lain dengan alamnya yang keras. Tetapi sebaliknya, mereka mengantisipasi alam dengan sikap bebas dan tanpa wasangka terlebih dahulu. Perubahan-perubahan pada alam yang menghasilkan panorama yang indah, dalam alam pikiran Yunani diterima sebagai media observasi yang mengasyikkan. Nafsu ilmiahnya yang menggelora, menyebabkan dalam waktu yang relatif singkat terjadi perkembangan-perkembangan penting, terutama di lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Hasrat insani untuk menaklukan alam, lambat laun mempengaruhi perubahan persepsional manusia tentang “dirinya” dan posisinya terhadap alam. Karena itulah maka, ketika Timur berkembang menjadi “peradaban pesimis” dan menolak dunia, sementara Barat tumbuh sebagai “peradaban optimis” dan menolak selain dunia. Penghormatan akan diri sebagai eksistensi yang mulia, dikemukakan oleh Protogoras, seorang sofis dengan statemennya yang terkenal; ”Manusia menjadi ukuran segala yang ada.”
Kelahiran manusia “ajaib” dalam suatu peradaban yang ajaib, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, adalah musibah awal bagi tradisi animistik Yunani yang masih tersisa. Ketiga orang itu, yang merupakan Trinitas di bidang filsafat telah menancapkan tiang pancang pranata-pranata kehidupan. Socrates dalam gaya yang intrinsik adalah seorang pembangun di bidang etika, moral dan norma sosial bagi masyarakat beradab. Plato, mistikus klasik ini memiliki semangat yang kokoh sebagai bapak idealis. Begitu juga dengan Aristoteles, dalam kapasitas intelektual yang cemerlang, mampu membangun tonggak-tonggak materialisme, juga melangkapi pemikiran-pemikirannya dengan produksi ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin. Karya-karya monumental dari ketiga orang ini saja, sebenarnya telah cukup bagi Barat-Yunani untuk membangun mercu peradabannya, apalagi jika harus ditambah dengan sederet filosof lain dan saintis. Oleh sebab itu menjadi tidak mengherankan ketika para sejarawan membongkar sampai ke akar-akarnya dari peradaban klasik ini sebagi studi komparasi yang mengasyikkan.
Pergeseran-pergeseran kekuasaan, dari Yunani kepada Romawi walaupun banyak ditandai dengan pertempuran-pertempuran konvensional, tetapi justru merupakan era perkawinan yang suplementatif. Eropa di bawah Romawi bertambah dewasa, karena dalam masa kekaisaran Romawi, hukum telah diterapkan meskipun dalam batas-batas yang masih sulit dari kanibalisme. Tetapi perkembangan ini lebih menarik, karena adanya suatu pemerintahan yang teratur. Bahkan boleh dikatakan, bahwa dunia pada saat itu sudah mempunyai suatu pemerintahan yang berpusat di Roma.
Kandungan psikologis peradaban klasik Barat yang sedikit banyak tertanam benih-benih sekulerisme dan materialisme ini, untuk pertama kalinya disentakkan oleh umat Islam yang datang secara mencengangkan. Meskipun Barat telah terpermak oleh Nasrani (yang pesimis terhadap dunia), tetapi watak sekulerisme dan materialisme telah terlanjur dewasa, sehingga ketika umat Islam datang dengan prilaku religiusnya masyarakat Barat terheran-heran. Luas dan kecepatan ekspansi Islam itu sendiri, sesungguhnya suatu rangkaian pristiwa paling menakjubkan dalam sejarah peradaban manusia.
Setelah kekalahan Bizantium dalam perang Yarmuk tahun 636, Islam membedah Palestina dan Syiria. Berlanjut dengan pertempuran Qodisyiyah, tahun 537, Iran (Persia) ditaklukkan Islam. Perluasan wilayah berkembang ke arah selatan, antara 639 smpai 642 pasukan Islam menduduki Mesir, sedangkan Babylon jatuh pada tahun 642. Sementara itu penaklukan merembes terus kepesisir Afrika utara, Cyrenaica, Tripoli dan Tunisia bobol tahun 647. Bangsa Barbar Maroko, yang meskipun pada awalnya sangat menyulitkan ekspansi, tetapi akhir tahun 709 umat Islam juga sampai ke selat Giblatar, karena jendral Tarikh berhasil membujuk hati bangsa Barbar tersebut sebagai pasukan. Tujuan utama memasuki Eropa pertama adalah mengusai Spanyol, tak seberapa setelah Spanyol dapat ditundukan dengan melalui perang yang menentukan dekat Jabl al-Tarikh, razia dilanjutkan keToledo. Kemudian tahun 713 orang Islam dapat mengalahkan raja Got-Barat (Rodrogo), maka berakhirlah pemerintaha Jerman Got yang menguasai Spanyol selama tiga abad.
Sementara itu dari Syria umat Islam menaklukan Asia kecil dan Armenia. Konstanitopel diblokade tahun 673 namun Byzantium dengan “api Yunaninya” dapat bertahan dan mempertahankan kotanya. Tetapi pada tahun 717, melalui selat Bosporus umat Islam mengepung kembali secara ketat, meskipun dmikian Konstatinopel baru benar-benar dapat dikalahkan pada tahun 1453, ketika umat Islam dipimpin oleh bangsa Turki. Sedangkan di Eropa Barat umat Islam menyerbu ke Perancis, dengan melalui pegunungan Pyrenia. Tahun 752 mengadakan razia ke Bordeux, Soveye dan Swiss. Dalam batas itu komposisi pertempuran kemudian berbalik ketika Karl Martel, mangkubumi Perancis dapat mempecundangi Abburahman dalam pertempuran 732 antara Tours dan Poiters. Sejak itu timbul perayahan kembali (reconquista) dan mencapai puncaknya ketika pertahanan umat Islam di Grenada, jatuh ke tangan orang-orang Katholik.
Ekspansi besar ini bagi dunia Barat, bukanlah peristiwa tragis yang harus diratapi, melainkan akibat peperangaan itu sendiri yang perlu disimak. Umat Islam melakukan ekspansi ke Barat tidak berniat untuk menjarah tetapi menyebarkan Islam dalam membawa peradaban baru yang lebih manusiawi. Di samping itu Barat selayaknya berterima kasih kepada umat Islam lantaran pendidikan yang diprolehnya selama ekspansi itu. Dan tidak kalah pentingnya adalah kesanggupan cendekiawan-cendekiawan Muslim mengupas peradaban Yunani klasik, yang akhirnya dapat dikunyah Barat pada abad ke XV. Tanpa melalui tangan-tangan emas seperti al-Kindi (w. 783), al-Farabi (w. 961), Ibn Sina dan Ibn Rusyd (1198), barangkali Barat tetap sebagai “peradaban bisu.”
Sebagai suatu pengertian yang benar, hal demikian adalah penting. Karena karya Yunani klasik yang merupakan dan hampir seluruhnya adalah docmatica dicta, tak pernah disentuh oleh maysarakat Barat sendiri sampai abad ke VII. Tetapi ketika al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi dan terutama Ibn Rusyd mampu menghargai karya Aristoteles dan Plato yang kemudian ditransfer ke dalam bahasa Arab, Barat baru belajar menulis “namanya” sendiri, dan berhasil menikmati karya-karya tersebut jauh setelah abad XV, ketika beberapa sarjana berhasil meloloskan diri ke kota Florence dengan membawa naskah-naskah klasik nenek moyangnya, peradabn Yunani. Artinya, Barat membaca karya Yunani klasik melalui “mata” para ilmuwan Muslim. Di samping itu instrumen pengetahuan lainnya terutama matematika yang tersusun secara agak terinci dalam peradabn umat Islam, adalah pendorong yang efektif bagi lahirnya peradaban Barat baru yang spektakuler.
Tentu saja kita dapat mengatakan bahwa umat Islamlah, yang memberikan kontribusi terbesar dalam membangkitkan Eropa. Sebab-sebab lainnya masih banyak, misalnya kesatuan etnis yang melahirkan “ghirah” dalam wujud balas dendam, berbagai tekanan dan penindasan yang pada akhirnya melahirkan kesadaran baru. Yang jelas kebangkitan Barat pada abad XVI itu, yang dilukiskan sebagai Renaisance (kelahiran kembali), bukan suatu peristiwa besar yang datang secara tiba-tiba. Kelahirannya ditandai dengan pergumulan psikologis dan berubahnya pandangan hidup manusia tentang dunia.
Pandangan hidup Barat era pertengahan, pada umumnya terpusat pada pencapaian kesejahteraan akhirat semata-mata, serta menunjukkan sikap permusuhannya pada dunia. Kutukannya terhadap dunia terutama sekali berkat suntikan ajaran Nasrani ortodoks, yang memang sarat dengan cinta kasih dan pengobanan. Bangunan mitos kemanusiaan yang disusun oleh imam Gereja, St. Augustinus, berdasarkan Injil yang mereka susun; awalnya sejarah manusia di surga sebagai simponi kesejahteraan; manusia jatuh ke bumi ke dalam lembah penuh dosa, yang pada dasarnya baru dapat ditolong karena “Tuhan mengorbankan anak satu-satunya, Kristus (Isa Al-Masih), sebagai penebus dosa dan juru selamat,” adalah sebuah ajaran “penantian” yang juga merasuk ke dalam kesemua ajaran agama dan doktrin hidup. Karena itu masyarakat Barat abad pertengahan dengan sabar menanti kedatangan kembali Yesus Kristus, untuk mengusir iblis makhluk terkutuk dari dunia.
Tetapi kapan sebuah penantian akan berakhir, sehingga Yesus dapat mendirikan kerajaan tuhan (civitas dei) di muka bumi? Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali tidak akan muncul pada otak-otak beku seperti Bishop dan Hirarki kegerejaan. Tetapi bagi Francis Bacon atau Erasmus atau bahkan pada diri seorang seniman Leonardo da Vinci, pertanyaan itu adalah wajar dikemukakan. Karena manusia berhadapan dengan realitas secara langsung yang tak sepi dari berbagai ancaman dan bencana, sementara “menanti” bukanlah tindakan yang tepat dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup.
Masa menanti datangnya sang Juru Selamat yang turun ke dunia, katakanlah mulai jatuhnya Konstantinopel ketangan umat Islam tahun 1453 sampai dengan usia kematangan Bacon (w. 1626), bukan lagi dapat disebut sebagai penantian. Oleh sebab itu menjadi wajar apabila Bacon mulai melancarkan kecaman-kecamannya terhadap pandangan hidup abad pertengahan. Bacon membongkar konsepsi pengetahuan yang berlangsung abad pertengahan dengan selubung mitos, digantikannya dengan tiang pancang eksperimen dan akal budi sebagai dasar baru bagi ilmu pengetahuan.
Begitu pula dengan Erasmus, ketajaman pena yang menukik jantung peradaban gelap abad pertengahan, tidak saja dirasakan oleh kalangan sosial tertentu, tetapi juga menjebol dinding gereja. Erasmus dalam kecaman-kacamannya menyerang secara langsung kepada pendeta-pendeta Nasrani; “Di antara pendeta-pendeta itu banyak yang sangat berpegang pada upacara-upacara yang mereka lakukan dan berpegang kepada kebiasaan yang bersifat kekanak-kanakan, yang dibuat manusia sendiri. Satu surga saja belum cukup sebagai atas perbuatan mereka yang sangat hebat itu. Mereka lupa, bahwa pada hari perhitungan Yesus Kristus akan menanyakan kepada mereka, apakah menjalankan perintahnya yang terpenting, yakni mencintai sesama manusia. Kristus tidak akan menanyakan upacara-upacara, yang hanya bersifat lahir saja.” Kritik-kritik tajam ini bukan saja sekedar membongkar bangunan lama, tatapi Erasmus juga menawarkan bangunan baru yang lebih tegar, dengan jalan merekontruksi peradaban Yunani klasik, dalam bentuk karya tulis yang mudah dinikmati. Di samping itu jasa yang cukup besar di bidang keagamaan adalah, intrepretasinya yang orisinil terhadap Injil.
Jiwa-jiwa yang memberontak terhadap era pertengahan ini, semula hanyalah letupan-letupan kecil yang tidak mempunyai gaung. Tetapi kondisi era pertengahan yang sedang sekarat, mengharuskan masyarakat Eropa berlomba memperoleh ide-ide spektakuler tersebut, sebagai sebuah komoditi baru dalam ‘pasaran bebas’ untuk menginjeksi tata gelar kehidupan yang diseubungi mitos-mitos penantian. Barat sebagai sebuah gunung yang akan meletus, telah menunjukkan semburan-semburan api dipuncaknya, suhu yang semakin panas dan adanya pergeseran-pergeseran batuan dalam perut gunung yang bekerja semakin hebat. Masyarakat di kota Florence yang kaya raya itu di tangan kaum Borjuis berkomentar; hidup bukanlah pengabdian kepada tuhan, tetapi untuk dinikmati. Lukisan tentang surga, pederitaan Kristus berubah watak, menjadi lukisan diri sendiri, yang gila terhadap pengakuan dan penghormatan. Leonardo da Vinci dalam protesnya kepada Tuhan mengatakan; “Engkau wahai Tuhanku, hargailah kami sesuai dengan jerih lelah kami.” Sikap dan pandangan hidup yang sama sekali berubah terhadap dunia ini, pada intinya adalah sikap protes terhadap penyelesaian abad pertengahan yang fatalis. Seorang penulis berkabangsaan Italia, Guarcciardini melalui keyakinannya yang realistik, ia menulis dalam tema-tema yang sekuleristik.
Perubahan pandangan hidup dan sikap, pada akhirnya membawa pula perubahan-perubahan tingkah laku manusia. Dan pandangan Barat sekitar abad XVI yang memusat pada orientasi-orientasi materialis dan egoisme, telah membuktikan diri sebagai manusia-manusia yang mengembangkan wawasan ilmu dan pengetahuan yang lebih Progresive. Instrumen-instrumen teknologi sebagai penunjang kehidupan sehari-hari, yang mula-mula diimpikan oleh Bacon menjadi realitas yang menandai era renaisans.
Mula-mula penemuan itu adalah suatu kebetulan, tetapi dari kebetulan itu dikembangkan serta didaya gunakan untuk keperluan industri. Maka dalam waktu yang ralatif singkat Barat melakukan ekspansi besar-besaran kearah Selatan dan Timur, yang hampir seluruhnya berpenduk muslim, mistisime atau campuran antara keduanya.
Kekuatan ekspanisonisme Barat yang laksana muntahan lahar dari gunung meletus ini, didahului oleh ekspedisi-ekspedisi kecil dalam jumlah yang tidak berarti. Misalnya petualangan Colombus menemukan benua Amerika tahun 1492, Vasco da Gama dengan mengelilingi Afrika, menemukan India tahun 1494. Kemudian petualangan ini semakin besar dalam gelombang-gelombang manuisa Portugis dan Spanyol, akhirnya bangsa-bangsa Eropa utara yang bergerak lebih cepat. Selama empat abad proses ini tidak pernah berhenti, tetapi semakin berkembang dan meluas ke daerah-daerah lain. Orang-orang kulit putih begitu yakin dengan kemenangan-kemenangan yang telah diperolehnya, bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka akan “menelan” dunia. Pandangan hidup demikian didukung oleh rasa superioritas ras Nordik, pengalaman-pengalaman pahit ketika dijajah oleh umat Islam, dan faktor yang tak kalah pentingnya dalam ekspansi itu adalah kesempurnaan instrumen-instrumen teknologis, terutama persenjataan. Hanya pertempuran Rusia-Jepang pada tahun 1904 yang dimenangkan Jepang, anggapan demikian mulai bergeser dan tidak seberingas sebelumnya.