Bismillahirrahmanirrahim
oleh : Suharsono
Makna Peradaban
Istilah peradaban telah banyak kita gunakan, tetapi apakah arti peradaban itu? Jika makna peradaban ini kita tanyakan kepada para akademisi di Indonesia, mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan, kecuali sekadar rabaan dengan kata-kata bahwa peradaban itu lebih luas ketimbang kebudayaan. Sebuah jawaban, yang secara epistemik, tidak menjawab apapun. Begitu juga sekiranya hal ini kita tanyakan pada para ilmuwan asing, yang memiliki background epistemologi sekuler, tentu jawabannya juga tidak signifikan karena nilai-nilai kehidupan sekulerisme atau materialisme justru bertentangan dengan Islam. Apa yang dipandang substansial dalam Islam justru disikapi sebagai sesuatu yang tidak berarti, begitu juga sebaliknya.
Cara yang cukup memadai untuk mendapatkan makna peradaban ialah dengan melacak secara leksikal. Pertama: Peradaban dirujuk dari kata addaba, yang berarti memperbaiki dan meluruskan (ashlahahu wa qawwamahu). Secara terminologis, menurut Muhammad Qutb memiliki makna seni membentuk orang secara konstan menuju kesempurnaan (fannu tasykilil insan tadrijiyyan ilal kamal). Sebagaimana sabda Nabi saw: Addabani Rabbi fa ahsana taadiibi (Tuhanku telah mendidikku dan Ia telah mendidikku dengan sebaik-baiknya).
Kedua, secara semantic peradaban Islam berasal dari akar kata Al-hadharah al-islamiyah.” Hadhara bermakna hadir dengan membawa pesan spiritual yang diekspresikan dalam format ideologi, politik, sosial, budaya dan dimensi kehidupan yang lain. Jadi tidak sekedar ada. Kebalikannya adalah badawah (nomaden), belum bisa mengungkap, mengklasifikasikan dan mengkomunikasikan isi hatinya dalam konsep yang baik. Dalam kamus Lisanul Arab, kata hadhara memiliki arti syahida (menyaksikan). Dari akar kata ini kemudian berkembang menjadi syahadat (menyaksikan Allah), syahid mati sebagai syahid), dan syuhada ‘alaa an nasi (sebagai saksi atas manusia).
Cara lain, yang tidak kurang menariknya untuk mencari tahu makna peradaban ialah dengan jalan mengelaborasi sejarah kehidupan Rasulullah saw dan pengalaman hidup kita sendiri yang berusaha merujuk dan meneladani beliau. Dapat dikatakan di sini bahwa kita, yang hidup di Hidayatullah, pada skala tertentu sesungguhnya hidup dalam sebuah peradaban, yakni peradaban Islam. Tetapi ada sedikit dilemma di sini, yakni apa yang kita alami dan rasakan ternyata tak terkatakan. Hal ini seperti ‘ikan-ikan kecil’ yang tentunya hidup di air tetapi tidak pernah tahu secara definitif, apakah “air” itu. Oleh karena itu langkah penting untuk mendapatkan makna definitif, ialah dengan mengambil jarak (distansi), sehingga kita dapat berbicara “tentang” dan memberikan makna secara definitif terhadap sesuatu.
Dengan metode yang sama kita pun akhirnya bisa mendefinisikan secara lebih baik tentang apa itu peradaban dan apa yang dimaksudkan dengan peradaban Islam. Peradaban, secara definitif, adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Definisi ini bisa diperluas lagi, bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian peradaban Islam juga dapat didefinisikan, yakni manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek kehidupan Muslim.
Jika seluruh aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, hukum, seni, teknologi, sosial dan lain-lain dapat dianalogikan sebagai titik-titik dengan membentuk lingkaran, maka keyakinan adalah titik pusatnya. Bagaimana lingkaran itu akan terbentuk dan meluas, sangat tergantung pada intensitas pancaran titik pusatnya. Keyakinan membentuk lingkar spiritual, intelektual, prilaku, sikap, interaksi sosial bahkan sampai model-model bangunan dan artefak serta infrastruktur lainnya. Bangunan-bangunan megah yang berasal dari peradaban Islam, tercermin pada masjid-masjid yang merupakan tempat peribadatan umat Islam dalam mengembangkan spiritualitasnya. Sebaliknya, peradaban-peradaban berbasis materialisme dan atau sekulerisme dicerminkan oleh bangunan-bangunan besar, yang seluruhnya didekasikan untuk aktivitas bisnis atau materi, seperti pabrik, pasar dan rumah-rumah mewah. Begitu juga ketika pusat keyakinan bertumpu ‘kehidupan dan kematian’ raja-raja, seperti terjadi di Mesir masa para Fir’aun, maka bangunan-bangunan megahnya adalah kuburan raksasa atau piramid.
Dengan perspektif inilah kita dapat menyaksikan, bagaimana kelahiran peradaban Islam yang berawal dari “satu titik,” kemudian berkembang pesat, mempengaruhi gaya berpikir, wacana, prilaku dan akhlaq masyakarat dan mencapai puncaknya dengan Madinah sebagai pusatnya. Awalnya adalah kehadiran Rasulullah saw, setelah menerima wahyu pertama kali (al-‘Alaq: 1-5), kemudian dari seorang diri itu menyebar ke rumah tangga beliau, dengan titik tekan keyakinan yang sama, tawhid. Ada transmisi keyakinan yang kuat, disertai dengan peningkatan spiritualitas dan aktivitas intelektual dalam pembelajaran di rumah Arqam bin Arqam.
Selama 13 tahun periode Mekkah, para sahabat itu telah mengalami pencerahan (englightenment), menjadi pribadi-pribadi dengan integritas spiritual, intelektual dan akhlaq yang tinggi. Ciri-cirinya terletak pada visi hidupnya yang jauh ke depan, seperti tercermin dalam al-Qalam, integritas personalnya seperti al-Muzammil dan tanggung jawab kemanusiaan seperti al-Muddatstsir. Karena itu ketika terjadi interaksi peradaban antara Islam dengan Kristen yang pertama, yakni saat sejumlah sahabat hijrah ke Abbesyinia, terasa sekali superioritas Islam dalam suatu “dialog peradaban” yang direpresentasikan oleh Ja’far ibn Abi Thalib dengan para pembesar kerajaan itu.
Peradaban Islam lebih menekankan pada manusia; bagaimana cara membangunnya terutama dimensi esoteriknya, spiritual dan intelektual, dan bukan menekankan pada hal-hal yang bersifat fisik atau material. Karena itu, ketika syahadah telah dideklarasikan maka upaya-upaya selanjutnya, sebagaimana tercermin dalam surat-surat awal turunnya Al-Qur’an, sepenuhnya diupayakan untuk membangun integritas manusia, dari asfala safilin menjadi ahsanu taqwim. Tentu saja untuk mencapai kondisi demikian, juga menggunakan prasyarat utama dalam diri manusia itu sendiri, sejauhmanakah ia bersedia dan tidak membatasi diri terhadap doktrin-doktrin tauhid dengan segala konsekwensinya dalam hidup.
Dalam hal ini interiorisasi ajaran Islam pada masing-masing pribadi, apabila harus dirinci lebih lanjut, maka akan ditunjukkan citra yang lebih kurang merupakan “transformasi” atas diri manusia itu sediri dari asfala safilin ke jenjang ahsanu taqwim. Tahap awal bagi seseorang untuk melaju ke jenjang muttaqien, didahului oleh keberanian untuk memutuskan (decider). “Memutuskan “ ini meliputi keberanian melakukan perencanaan, pemilihan dan motivasi secara tuntas, dari kekacauan dan disintegritas hidup serta pecahnya tujuan, menuju tujuan dan integritas, serta secara teleologis mengacu kepada Tuhan. Apa yang dalam Islam disebut syahadah,1 adalah sebuah “proklamasi” yang ternyatakan dari diri manusia dari keadaan semula yang tiada menuju keadaan yang ada.
Tahap berukutnya adalah melakukan (act). “Melakukan” dalam artinya yang fundamental adalah mengerakkan (to act) setiap aspek insaniahnya sehingga menghasilkan pragma (amal). Islam mempunyai doktrin tentang amal yang menjadi kewajiban umum (fardhu’ain) bagi muslim yang digelar dalam; amr bin ma’ruf wa ‘I nahy ‘an-il-munkar). Dalam konteks “melakukan“ sudah barang tentu setiap konsepsi “dualisme” dalam diri manusia harus ditolak.
Tahap terakhir meliputi (consentir) yang dapat dimengerti sebagai “manerima,” membuat “setuatu” menjadi miliknya sendiri. “Menyetujui” itu meliputi keniscayaan universalitas Islam (doktrin dan aturan) yang bukan dalan kerangka “penerimaan obtektif” belaka tatapi terhayati; Keniscayaan universal yang melekat dalam subjetivitasnya. Al-Qur’an menggambarkan keadaan manusia yang demikian itu dalam suatu pernyataan;
Mereka apabila diseru Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul mengadili diantara mereka, mereka datang dengan ucapan, sami’na wa atho’na, “kami dengar dan kami taat”(Q.S. 24: 51). Mereka inilah yang menerima Islam dengan sepenuh hati (Q.S. 2: 208; 4: 125) dan mereka orang-orang yang menerima Al-Qur’an secara keseluruhan, tanpa ragu-ragu dan mengambil sebagiannya dengan meninggalkan sebagian yang lain (Q.S. 13: 36). Mereka cukupkan perilakunya dengan Al-Qur’an dan bukan memanipulir Al-Qur’an untuk mengumbar hawa nafsunya sendiri.
Seluruh proses penahapan ini pada akhirnya akan bermuara pada “kebebasan,” bukan dalam arti yang absolut, tetapi berpijak pada dataran manusiawi. Manusia yang bebas secara sadar dapat menyalurkan inisiatif dan kreasinya serta mampu mengkonstantir pada setiap transformasi natural, dan terutama transformasi sosÙ‡al. Dengan demikian mereka adalah manusia-manusia yang secara representatif mampu memerankan diri sebagai pemegang amanah khalifah fil ard. Dari dataran inilah umat Islam mampu menggelar tata kehidupan dan peradaban baru yang dinamis dan ekspansif.
Keadaan-keadaan yang demikian itu telah ada pada pribadi-pribadi sahabat, tabi’in atau katakanlah umat Islam yang awal. Sehingga ketika mereka melakukan ekspansi (atau lebih tepatnya dakwah) terlihat suatu mobilitas dan semangat juang yang tinggi. Kenyataan umat Islam yang demikian itulah yang mendatangkan sanjungan dari Al-Qur’an:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Itulah mengapa, jika ditelusuri secara seksama bagaimana wujud peninggalan peradaban Islam yang paling agung itu, dengan perspektif materialis, tetap tidak diketemukan apa-apa kecuali Masjid Nabawi di Madinah. Warisan peradaban Islam pada zaman itu tidak terdiri atas bangunan-bangunan mati, tetapi keberadaan manusia-manusia shaleh, seperti kehidupan para sahabat, yang melalui buah pikiran, akhlaq dan sejarahnya orang-orang yang hidup di zaman ini tetap mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya.
oleh : Suharsono
Makna Peradaban
Istilah peradaban telah banyak kita gunakan, tetapi apakah arti peradaban itu? Jika makna peradaban ini kita tanyakan kepada para akademisi di Indonesia, mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan, kecuali sekadar rabaan dengan kata-kata bahwa peradaban itu lebih luas ketimbang kebudayaan. Sebuah jawaban, yang secara epistemik, tidak menjawab apapun. Begitu juga sekiranya hal ini kita tanyakan pada para ilmuwan asing, yang memiliki background epistemologi sekuler, tentu jawabannya juga tidak signifikan karena nilai-nilai kehidupan sekulerisme atau materialisme justru bertentangan dengan Islam. Apa yang dipandang substansial dalam Islam justru disikapi sebagai sesuatu yang tidak berarti, begitu juga sebaliknya.
Cara yang cukup memadai untuk mendapatkan makna peradaban ialah dengan melacak secara leksikal. Pertama: Peradaban dirujuk dari kata addaba, yang berarti memperbaiki dan meluruskan (ashlahahu wa qawwamahu). Secara terminologis, menurut Muhammad Qutb memiliki makna seni membentuk orang secara konstan menuju kesempurnaan (fannu tasykilil insan tadrijiyyan ilal kamal). Sebagaimana sabda Nabi saw: Addabani Rabbi fa ahsana taadiibi (Tuhanku telah mendidikku dan Ia telah mendidikku dengan sebaik-baiknya).
Kedua, secara semantic peradaban Islam berasal dari akar kata Al-hadharah al-islamiyah.” Hadhara bermakna hadir dengan membawa pesan spiritual yang diekspresikan dalam format ideologi, politik, sosial, budaya dan dimensi kehidupan yang lain. Jadi tidak sekedar ada. Kebalikannya adalah badawah (nomaden), belum bisa mengungkap, mengklasifikasikan dan mengkomunikasikan isi hatinya dalam konsep yang baik. Dalam kamus Lisanul Arab, kata hadhara memiliki arti syahida (menyaksikan). Dari akar kata ini kemudian berkembang menjadi syahadat (menyaksikan Allah), syahid mati sebagai syahid), dan syuhada ‘alaa an nasi (sebagai saksi atas manusia).
Cara lain, yang tidak kurang menariknya untuk mencari tahu makna peradaban ialah dengan jalan mengelaborasi sejarah kehidupan Rasulullah saw dan pengalaman hidup kita sendiri yang berusaha merujuk dan meneladani beliau. Dapat dikatakan di sini bahwa kita, yang hidup di Hidayatullah, pada skala tertentu sesungguhnya hidup dalam sebuah peradaban, yakni peradaban Islam. Tetapi ada sedikit dilemma di sini, yakni apa yang kita alami dan rasakan ternyata tak terkatakan. Hal ini seperti ‘ikan-ikan kecil’ yang tentunya hidup di air tetapi tidak pernah tahu secara definitif, apakah “air” itu. Oleh karena itu langkah penting untuk mendapatkan makna definitif, ialah dengan mengambil jarak (distansi), sehingga kita dapat berbicara “tentang” dan memberikan makna secara definitif terhadap sesuatu.
Dengan metode yang sama kita pun akhirnya bisa mendefinisikan secara lebih baik tentang apa itu peradaban dan apa yang dimaksudkan dengan peradaban Islam. Peradaban, secara definitif, adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Definisi ini bisa diperluas lagi, bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian peradaban Islam juga dapat didefinisikan, yakni manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek kehidupan Muslim.
Jika seluruh aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, hukum, seni, teknologi, sosial dan lain-lain dapat dianalogikan sebagai titik-titik dengan membentuk lingkaran, maka keyakinan adalah titik pusatnya. Bagaimana lingkaran itu akan terbentuk dan meluas, sangat tergantung pada intensitas pancaran titik pusatnya. Keyakinan membentuk lingkar spiritual, intelektual, prilaku, sikap, interaksi sosial bahkan sampai model-model bangunan dan artefak serta infrastruktur lainnya. Bangunan-bangunan megah yang berasal dari peradaban Islam, tercermin pada masjid-masjid yang merupakan tempat peribadatan umat Islam dalam mengembangkan spiritualitasnya. Sebaliknya, peradaban-peradaban berbasis materialisme dan atau sekulerisme dicerminkan oleh bangunan-bangunan besar, yang seluruhnya didekasikan untuk aktivitas bisnis atau materi, seperti pabrik, pasar dan rumah-rumah mewah. Begitu juga ketika pusat keyakinan bertumpu ‘kehidupan dan kematian’ raja-raja, seperti terjadi di Mesir masa para Fir’aun, maka bangunan-bangunan megahnya adalah kuburan raksasa atau piramid.
Dengan perspektif inilah kita dapat menyaksikan, bagaimana kelahiran peradaban Islam yang berawal dari “satu titik,” kemudian berkembang pesat, mempengaruhi gaya berpikir, wacana, prilaku dan akhlaq masyakarat dan mencapai puncaknya dengan Madinah sebagai pusatnya. Awalnya adalah kehadiran Rasulullah saw, setelah menerima wahyu pertama kali (al-‘Alaq: 1-5), kemudian dari seorang diri itu menyebar ke rumah tangga beliau, dengan titik tekan keyakinan yang sama, tawhid. Ada transmisi keyakinan yang kuat, disertai dengan peningkatan spiritualitas dan aktivitas intelektual dalam pembelajaran di rumah Arqam bin Arqam.
Selama 13 tahun periode Mekkah, para sahabat itu telah mengalami pencerahan (englightenment), menjadi pribadi-pribadi dengan integritas spiritual, intelektual dan akhlaq yang tinggi. Ciri-cirinya terletak pada visi hidupnya yang jauh ke depan, seperti tercermin dalam al-Qalam, integritas personalnya seperti al-Muzammil dan tanggung jawab kemanusiaan seperti al-Muddatstsir. Karena itu ketika terjadi interaksi peradaban antara Islam dengan Kristen yang pertama, yakni saat sejumlah sahabat hijrah ke Abbesyinia, terasa sekali superioritas Islam dalam suatu “dialog peradaban” yang direpresentasikan oleh Ja’far ibn Abi Thalib dengan para pembesar kerajaan itu.
Peradaban Islam lebih menekankan pada manusia; bagaimana cara membangunnya terutama dimensi esoteriknya, spiritual dan intelektual, dan bukan menekankan pada hal-hal yang bersifat fisik atau material. Karena itu, ketika syahadah telah dideklarasikan maka upaya-upaya selanjutnya, sebagaimana tercermin dalam surat-surat awal turunnya Al-Qur’an, sepenuhnya diupayakan untuk membangun integritas manusia, dari asfala safilin menjadi ahsanu taqwim. Tentu saja untuk mencapai kondisi demikian, juga menggunakan prasyarat utama dalam diri manusia itu sendiri, sejauhmanakah ia bersedia dan tidak membatasi diri terhadap doktrin-doktrin tauhid dengan segala konsekwensinya dalam hidup.
Dalam hal ini interiorisasi ajaran Islam pada masing-masing pribadi, apabila harus dirinci lebih lanjut, maka akan ditunjukkan citra yang lebih kurang merupakan “transformasi” atas diri manusia itu sediri dari asfala safilin ke jenjang ahsanu taqwim. Tahap awal bagi seseorang untuk melaju ke jenjang muttaqien, didahului oleh keberanian untuk memutuskan (decider). “Memutuskan “ ini meliputi keberanian melakukan perencanaan, pemilihan dan motivasi secara tuntas, dari kekacauan dan disintegritas hidup serta pecahnya tujuan, menuju tujuan dan integritas, serta secara teleologis mengacu kepada Tuhan. Apa yang dalam Islam disebut syahadah,1 adalah sebuah “proklamasi” yang ternyatakan dari diri manusia dari keadaan semula yang tiada menuju keadaan yang ada.
Tahap berukutnya adalah melakukan (act). “Melakukan” dalam artinya yang fundamental adalah mengerakkan (to act) setiap aspek insaniahnya sehingga menghasilkan pragma (amal). Islam mempunyai doktrin tentang amal yang menjadi kewajiban umum (fardhu’ain) bagi muslim yang digelar dalam; amr bin ma’ruf wa ‘I nahy ‘an-il-munkar). Dalam konteks “melakukan“ sudah barang tentu setiap konsepsi “dualisme” dalam diri manusia harus ditolak.
Tahap terakhir meliputi (consentir) yang dapat dimengerti sebagai “manerima,” membuat “setuatu” menjadi miliknya sendiri. “Menyetujui” itu meliputi keniscayaan universalitas Islam (doktrin dan aturan) yang bukan dalan kerangka “penerimaan obtektif” belaka tatapi terhayati; Keniscayaan universal yang melekat dalam subjetivitasnya. Al-Qur’an menggambarkan keadaan manusia yang demikian itu dalam suatu pernyataan;
Mereka apabila diseru Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul mengadili diantara mereka, mereka datang dengan ucapan, sami’na wa atho’na, “kami dengar dan kami taat”(Q.S. 24: 51). Mereka inilah yang menerima Islam dengan sepenuh hati (Q.S. 2: 208; 4: 125) dan mereka orang-orang yang menerima Al-Qur’an secara keseluruhan, tanpa ragu-ragu dan mengambil sebagiannya dengan meninggalkan sebagian yang lain (Q.S. 13: 36). Mereka cukupkan perilakunya dengan Al-Qur’an dan bukan memanipulir Al-Qur’an untuk mengumbar hawa nafsunya sendiri.
Seluruh proses penahapan ini pada akhirnya akan bermuara pada “kebebasan,” bukan dalam arti yang absolut, tetapi berpijak pada dataran manusiawi. Manusia yang bebas secara sadar dapat menyalurkan inisiatif dan kreasinya serta mampu mengkonstantir pada setiap transformasi natural, dan terutama transformasi sosÙ‡al. Dengan demikian mereka adalah manusia-manusia yang secara representatif mampu memerankan diri sebagai pemegang amanah khalifah fil ard. Dari dataran inilah umat Islam mampu menggelar tata kehidupan dan peradaban baru yang dinamis dan ekspansif.
Keadaan-keadaan yang demikian itu telah ada pada pribadi-pribadi sahabat, tabi’in atau katakanlah umat Islam yang awal. Sehingga ketika mereka melakukan ekspansi (atau lebih tepatnya dakwah) terlihat suatu mobilitas dan semangat juang yang tinggi. Kenyataan umat Islam yang demikian itulah yang mendatangkan sanjungan dari Al-Qur’an:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Ali Imran [3]: 110)
Itulah mengapa, jika ditelusuri secara seksama bagaimana wujud peninggalan peradaban Islam yang paling agung itu, dengan perspektif materialis, tetap tidak diketemukan apa-apa kecuali Masjid Nabawi di Madinah. Warisan peradaban Islam pada zaman itu tidak terdiri atas bangunan-bangunan mati, tetapi keberadaan manusia-manusia shaleh, seperti kehidupan para sahabat, yang melalui buah pikiran, akhlaq dan sejarahnya orang-orang yang hidup di zaman ini tetap mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya.