بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Suharsono
Pengantar
Ada dua hal yang menarik dan sekaligus tragis, berkenaan dengan fenomena umat Islam di Indonesia. Pertama, keberadaannya dalam sejarah Indonesia sebagai pelaku yang aktif dan sangat banyak berkorban demi kemerdekaan dan masa depan Indonesia. Kedua, di tengah keberadaannya sebagai mayoritas mutlak, umat Islam nyaris tidak memiliki konsep dan pemikiran representatif --yang didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran Islam--bagaimana mestinya mengantarkan dan mendesain Indonesia masa depan.
Marilah kita mengkaji sejarah, terutama dekade-dekade awal abad XX, terutama melihat peranan pergerakan Islam di Indonesia. Di belahan mana pun di bumi Indonesia ini, sejauh ada gerakan perlawanan terhadap kehadiran penjajah dan kolonialisme, maka hamper bisa dipastikan bahwa di situ yang ambil peranan aktif dan banyak berkorban, dalam rangka melakukan perlawanan adalah para tokoh Islam atau organisasi Islam. Tetapi setelah kebebasan dan kemenangan diperoleh, maka kita pun bisa bertanya kembali, apakah bentuk kontribusi pemikiran yang diberikan umat Islam di Indonesia dan bagaimana cara mereka mengawal konsep-konsep pemikiran itu agar bisa diterima oleh rakyat?
Kasus paling kontroversial dari bentuk ‘kerendah-hatian’ itu adalah dicabutnya 7 kata dalam Piagam Jakarta; “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya.” Banyak sejarawan dan para tokoh Islam menyebutkan bahwa 7 kata yang dicabut itu adalah wujud dari pengorbanan umat Islam demi persatuan Indonesia. Tetapi benarkah demikian? Apakah hilangnya 7 kata itu benar merupakan pengorbanan dan kerendah-hatian umat Islam. Apakah juga benar jika 7 kata dalam Piagam Jakarta itu tetap dicantumkan, kelompok-kelompok non Islam akan memisahkan diri dari Indonesia. Lalu, jika mereka benar-benar memisahkan diri dari Indonesia, kerugian seperti apakah yang akan diderita umat Islam?
Marilah kita renungkan secara komparatif tentang Indonesia hari ini. Seperti yang kita simak dan kita alami, keterpurukan Indonesia hari ini adalah akibat dari degradasi akhlaq yang terus berlanjut dan membuat negeri ini praktis kehilangan seluruh harga dirinya. Apakah yang akan terjadi jika 7 kata dalam Piagam Jakarta itu diterapkan? Dapatkah kita merumuskan secara konsepsional, Indonesia seperti apakah yang kita harapkan? Jika kita diminta untuk memimpin Indonesia kebijakan apa sajakah yang penting untuk dijalankan dalam satu tahun pertama, sehingga dampaknya bisa dirasakan langsung oleh mayoritas umat?
Itu adalah berbagai persoalan dalam pergumulan sejarah umat Islam di Indonesia, yang terjadi di masa lalu dan mungkin saja bisa terjadi kembali di masa-masa yang akan datang, bahkan bisa lebih buruk lagi. Kenyataannya, Realitas-realitas keumatan di Indonesia yang terjadi dalam dekade-dekake terakhir ini justru menunjukkan suatu trend yang memburuk, baik itu bersifat jama’i (organisasional) maupun individual. Organisasi-organisasi Islam di Indonesia berkembang pesat, dalam aspek perangkat keras, infrastruktur dan keanggotaannya. Tetapi dalam ketika sama, spirit untuk mengubah atau mentransformasikan kehidupan sosial ke arah yang lebih Islami, ternyata tidak menunjukkan suatu prestasi yang memadai. Banyak kasus terjadi, para tokoh dari organisasi Islam itu justru menjadi agen dalam menghambat perkembangan Islam itu sendiri, dengan gencarnya mereka membawa pesan dan wacana yang menyulut kontraversi di tengah-tengah umat.
Begitu juga halnya dalam kehidupan individual umat Islam. Kenyataan dapat dilihat, bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak orang Islam yang justru memiliki kehidupan menyimpang; antara pilihan Islamnya dengan tema-tema pemikiran, gaya hidup dan tradisi yang dikembangkannya. Ada anak-anak muda bergerombol di pinggir jalan, rambutnya dicat warna-warni, telinga dan hidungnya ditindik atau dilobangi. Ada pula generasi akademis Muslim, yang fasih dalam mengurai berbagai aspek kehidupan, baik sosiologi, ekonomi, politik maupun lainnya dalam kerangka interpretasi keilmuan sekuler, sementara terhadap ajaran agamanya sendiri cenderung melecehkan.
Bahkan, hal yang sama juga bisa terjadi bahwa keganjilan-keganjilan itu juga telah memasuki bilik rumah tangga dan menginjeksi sistem kesadaran keluarga Muslim. Meskipun tidak menyadarinya secara persis, mungkin saja kita adalah Sya’labah baru yang hidup di zaman modern ini; semua tindakan yang kita lakukan berorientasikan pada materi. Untuk apa berjihad jika kita tetap miskin. Untuk apa berdakwah jauh ke seberang pulau, jika di sana kita tidak mendapatkan penghormatan yang layak. Untuk apa berkorban dengan waktu, tenaga dan pikiran jika tidak ada imbalannya yang layak. Semua dimensi tindakan yang kita bangun selalu bertumpu pada materi. Ketika ada seseorang mengarahkan telunjuknya ke arah kita dengan tudingan seperti itu, kita pun menjawab; “Apakah kita salah dengan pernyataan tersebut?” Di sinilah masalahnya! Ukuran tentang salah dan benar, logis dan tidak logis, layak dan tidak layak adalah berkenaan dengan standar atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Dan bagaimanakah nilai-nilai kehidupan itu, sangat tergantung pada orientasi dan keyakinan hidup yang manifest dalam peradaban manusia. Artinya, ketika kita menyatakan apakah sesuatu itu layak atau tidak, benar atau salah, logis atau tidak, sangat tergantung pada nilai-nilai peradaban apa yang kita miliki dan dijadikan standar untuk menilai sebuah tindakan atau prilaku.
Prilaku kemanusiaan adalah fenomena peradaban. Dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia adalah wahana pertarungan peradaban, dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, manusialah yang senyatanya dan satu-satunya makhluk yang bisa membangun peradaban. Ketika para ibu meninggalkan bayinya atau menitipkannya pada pihak lainnya, sementara ia memilih pekerjaan profesional yang secara langsung mendatangkan uang adalah fenomena peradaban. Menyusui dan mengasuh bayi dianggap sebagai pekerjaan domestik perempuan yang tidak berarti dan tidak mendatangkan uang, menjadikan para perempuan memilih untuk mencari pekerjaan sebagai buruh maupun pekerjaan profesional, yang menurut pandangan nilai-nilai kehidupan peradaban tertentu lebih terhormat. Sebuah keluarga muda yang berpikiran efisien, mengambil kebijakan untuk menitipkan orang tuanya yang sudah renta di panti jompo, adalah suatu tindakan yang dibenarkan karena merawat orang tua sendiri yang sudah lanjut hanya pemborosan waktu dan tidak produktif. Lalu apakah peradaban itu?
Generasi Muslim yang begitu fasih mengurai berbagai aspek kehidupan dalam frame sekuler tetapi sekaligus melecehkan superioritas ajaran Islam adalah fenomena peradaban. Atau lebih tepatnya fenomena pertarungan peradaban, di mana ajaran Islam yang “disubyektifikasi” sebagai sesuatu yang inferior akhirnya lenyap dalam kepribadiannya digantikan oleh sesuatu yang disubyektifikasi secara superior. Al-Qur’an menyebutkan fenomena kemanusiaan seperti ini dengan pernyataan yang sangat tegas;
"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." (Q.S. 43: 36)