Bismillahirrahmanirrahim
Seringkali saya berfikir kurang baik ketika sedang berkendara malam hari di jalan raya melewati beberapa warung, penjual makanan ataupun gerai-gerai kecil lesehan di pinggir jalan dekat kampus ataupun kos/kontrakan mahasiswa. Bisa dipastikan tempat tersebut akan penuh dengan para anak-anak muda – kalau tidak dikatakan mayoritas mahasiswa - yang cangkrukan sambil minum kopi, ngobrol ngalor ngidul ataupun memetik gitar, juga main kartu. Kegiatan tersebut mereka lakukan mulai sore hari ketika tempat mangkal itu di buka sampai larut malam.
Belum lagi kalau melewati tempat-tempat persewaan PS ataupun warung-warung internet. Sebagian besar penuh oleh anak-anak muda pelajar dan mahasiswa dengan segala macam kesibukan yang dimainkannya. Meskipun ada juga sebagian yang membuka website tertentu yang cukup positif bagi perkembangan otak dan psikologinya.
Selalu muncul pertanyaan dalam diri saya; apakah mereka tidak belajar, mengerjakan tugas, membaca buku kuliahnya ataupun membaca buku-buku umum. Kalaupun tidak belajar, mengapa mereka tidak mengerjakan sesuatu yang menunjukkan identitasnya sebagai calon intelektual dan teknokrat yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi waktu seperti diskusi ataupun aktif dalam kegiatan-kegiatan ekstra kampus ataupun non kampus.
Tentu saja keprihatinan itu berdasar kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa mahasiswa merupakan salah satu bagian terpenting dari elemen generasi muda. Kualitas mereka akan menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana sebuah sunnatullah transfer ataupun alih generasi akan terjadi dari generasi yang lebih tua kepada angkatan lebih muda. Siap tidaknya para penerima estafeta merupakan cerminan awal dari maju mundurnya masyarakat sebuah bangsa ataupun sebuah peradaban.
Pada masa-masa di bangku kuliah sesungguhnya seorang mahasiswa harus mengasah semua potensi diri yang ia miliki. Pemikiran, skill, kepemimpinan, manajemen diri dan beragam kegiatan yang mengarahkan seorang mahasiswa lebih siap menapaki perjalanan hidupnya setelah lulus nanti. Kesiapan dalam arti kepribadiannya relatif matang, dewasa, amanah dan siap menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat, bukan sebaliknya menjadi bagian dari persoalan.
Namun kalau perilaku sebagian mahasiswa seperti di atas, tentu harapan besar tersebut jauh panggang dari api. Wajar pula jika kemudian ungkapan kuliah hanya menunda pengangguran muncul dan menjadi semacam hipotesa. Apa yang bisa diharapkan dari mahasiswa yang menghabiskan waktunya hanya sekedar “just for fun”? Mereka bergantung dengan kiriman fulus dari orang tua yang mengalir lancar melalui rekeningnya.
Apa yang akan mereka bawa ketika lulus nantinya? Selembar ijazah yang akan difoto copi sekian banyak sebagai tambahan lampiran untuk melamar pekerjaan. Pekerjaan apa yang akan mereka cari, geluti dan tekuni? Apa saja yang penting dapat kerjaan. Syukur-syukur pekerjaannya keren, tidak terlalu berat dan gajinya banyak. Wah…. enak donk!
Kalau tidak dapat yang seperti itu bagaimana? Ya.. cari terus sampe dapat. Kalau tidak dapat juga? Mending jadi pengangguran tapi keren daripada mendapat pekerjaan yang tidak prestige.
Seorang teman yang bekerja di sebuah lembaga pendidikan dan dia berada pada posisi SDM (kepegawaian) memiliki cerita yang menarik. Ia termasuk salah seorang yang menentukan diterima tidaknya calon pegawai atau karyawan baru di lembaga tersebut. Beberapa kali ia menemukan seseorang yang melamar sebuah pekerjaan tapi berbeda jauh dengan latar belakang jurusan ketika kuliah. Belum lagi sebagian dari para pelamar yang nota bene lulusan jenjang strata satu tersebut kualifikasinya pas-pasan, menghadapi wawancara nervous, dan tidak bisa memberikan solusi ketika disodorkan beberapa permasalahan.
Tentu saja tidak semua mahasiswa kita seperti itu. Masih sangat banyak dari mereka yang berkualitas, aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan memiliki karakter yang cukup baik. Semoga saja jumlah mahasiswa berkategori seperti itu terus bertambah dan dominan persentasenya di tengah derasnya godaan sekitar yang lebih mengajak anak-anak muda untuk easy going, easy life, dan istilah-istilah kebebasan serta kesenangan semata.
Dengan demikian istilah istilah kuliah menunda pengangguran merupakan sebuah tesis yang keliru dan perlu direvisi. Lebih jauh tentunya indeks kualitas manusia bangsa ini terangkat dan mereka bisa memberikan sumbangsih yang terbaik bagi agama, bangsa dan tentu masyarakat luas. Semoga.
Seringkali saya berfikir kurang baik ketika sedang berkendara malam hari di jalan raya melewati beberapa warung, penjual makanan ataupun gerai-gerai kecil lesehan di pinggir jalan dekat kampus ataupun kos/kontrakan mahasiswa. Bisa dipastikan tempat tersebut akan penuh dengan para anak-anak muda – kalau tidak dikatakan mayoritas mahasiswa - yang cangkrukan sambil minum kopi, ngobrol ngalor ngidul ataupun memetik gitar, juga main kartu. Kegiatan tersebut mereka lakukan mulai sore hari ketika tempat mangkal itu di buka sampai larut malam.
Belum lagi kalau melewati tempat-tempat persewaan PS ataupun warung-warung internet. Sebagian besar penuh oleh anak-anak muda pelajar dan mahasiswa dengan segala macam kesibukan yang dimainkannya. Meskipun ada juga sebagian yang membuka website tertentu yang cukup positif bagi perkembangan otak dan psikologinya.
Selalu muncul pertanyaan dalam diri saya; apakah mereka tidak belajar, mengerjakan tugas, membaca buku kuliahnya ataupun membaca buku-buku umum. Kalaupun tidak belajar, mengapa mereka tidak mengerjakan sesuatu yang menunjukkan identitasnya sebagai calon intelektual dan teknokrat yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi waktu seperti diskusi ataupun aktif dalam kegiatan-kegiatan ekstra kampus ataupun non kampus.
Tentu saja keprihatinan itu berdasar kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa mahasiswa merupakan salah satu bagian terpenting dari elemen generasi muda. Kualitas mereka akan menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana sebuah sunnatullah transfer ataupun alih generasi akan terjadi dari generasi yang lebih tua kepada angkatan lebih muda. Siap tidaknya para penerima estafeta merupakan cerminan awal dari maju mundurnya masyarakat sebuah bangsa ataupun sebuah peradaban.
Pada masa-masa di bangku kuliah sesungguhnya seorang mahasiswa harus mengasah semua potensi diri yang ia miliki. Pemikiran, skill, kepemimpinan, manajemen diri dan beragam kegiatan yang mengarahkan seorang mahasiswa lebih siap menapaki perjalanan hidupnya setelah lulus nanti. Kesiapan dalam arti kepribadiannya relatif matang, dewasa, amanah dan siap menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat, bukan sebaliknya menjadi bagian dari persoalan.
Namun kalau perilaku sebagian mahasiswa seperti di atas, tentu harapan besar tersebut jauh panggang dari api. Wajar pula jika kemudian ungkapan kuliah hanya menunda pengangguran muncul dan menjadi semacam hipotesa. Apa yang bisa diharapkan dari mahasiswa yang menghabiskan waktunya hanya sekedar “just for fun”? Mereka bergantung dengan kiriman fulus dari orang tua yang mengalir lancar melalui rekeningnya.
Apa yang akan mereka bawa ketika lulus nantinya? Selembar ijazah yang akan difoto copi sekian banyak sebagai tambahan lampiran untuk melamar pekerjaan. Pekerjaan apa yang akan mereka cari, geluti dan tekuni? Apa saja yang penting dapat kerjaan. Syukur-syukur pekerjaannya keren, tidak terlalu berat dan gajinya banyak. Wah…. enak donk!
Kalau tidak dapat yang seperti itu bagaimana? Ya.. cari terus sampe dapat. Kalau tidak dapat juga? Mending jadi pengangguran tapi keren daripada mendapat pekerjaan yang tidak prestige.
Seorang teman yang bekerja di sebuah lembaga pendidikan dan dia berada pada posisi SDM (kepegawaian) memiliki cerita yang menarik. Ia termasuk salah seorang yang menentukan diterima tidaknya calon pegawai atau karyawan baru di lembaga tersebut. Beberapa kali ia menemukan seseorang yang melamar sebuah pekerjaan tapi berbeda jauh dengan latar belakang jurusan ketika kuliah. Belum lagi sebagian dari para pelamar yang nota bene lulusan jenjang strata satu tersebut kualifikasinya pas-pasan, menghadapi wawancara nervous, dan tidak bisa memberikan solusi ketika disodorkan beberapa permasalahan.
Tentu saja tidak semua mahasiswa kita seperti itu. Masih sangat banyak dari mereka yang berkualitas, aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan memiliki karakter yang cukup baik. Semoga saja jumlah mahasiswa berkategori seperti itu terus bertambah dan dominan persentasenya di tengah derasnya godaan sekitar yang lebih mengajak anak-anak muda untuk easy going, easy life, dan istilah-istilah kebebasan serta kesenangan semata.
Dengan demikian istilah istilah kuliah menunda pengangguran merupakan sebuah tesis yang keliru dan perlu direvisi. Lebih jauh tentunya indeks kualitas manusia bangsa ini terangkat dan mereka bisa memberikan sumbangsih yang terbaik bagi agama, bangsa dan tentu masyarakat luas. Semoga.