Bismillahirrahmanirrahim
Setiap menjelang pemilu (pileg/pilpres), suara umat Islam selalu menjadi primadona. Jumlah kaum muslimin merupakan mayoritas di negeri ini sehingga wajar hal tersebut menjadi fenomena. Sayangnya, sejarah selalu berulang, umat Islam senantiasa menjadi pendorong mogok mobil. Ketika mobil yang didorong sudah berjalan, umat Islam selalu ditinggal di belakang.
Ketika mereka sedang butuh, beribu ucapan menghibur, menyanjung dan mendukung program keumatan terlontar. Pakaian dan atribut keseharian merekapun didesain sedemikian rupa seolah-oleh mereka adalah orang-orang yang baik aplikasi nilai-nilai agamanya. Tokoh-tokoh umat mereka kunjungi untuk mendapatkan restu sembari menjanjikan hal-hal yang seakan-akan menguntungkan perjalanan umat untuk masa-masa berikutnya.
Namun biasanya janji tinggal janji. Setelah dukungan mereka dapatkan dan jabatan diperoleh, sebagian besar lupa apa yang telah diucapkan sebelumnya. Boro-boro memperjuangkan nasib umat, tidak jarang mereka justru menjadi penghalang aksi-aksi umat Islam pada beberapa isu yang bersingungan dengan kepentingan mereka.
Mengapa hal itu selalu terjadi dan terkesan kita malas belajar dari sejarah yang sudah menyajikan cerita dengan lakon yang sama? Satu diantara yang pasti adalah beragamnya kepentingan di kalangan umat Islam sendiri, khususnya para pemuka umat ini. Agenda masing-masing kelompok telah mengalahkan kewajiban umat untuk bersatu dan mengolkan pembumian syariah di nusantara tercinta ini.
Kalau kita melihat warna pelangi politik Indonesia saat ini, kesimpulan di atas masih layak dipercaya. Meski beberapa partai mengusung simbol dan warna Islam, namun susah sekali rasanya melihat mereka duduk percaya membahas apa yang terbaik bagi umat. Sehingga umat akan tenang dan yakin siapa yang harus dipiih dan diperjuangkan.
Justru sebaliknya yang terjadi, masing-masing kelompok mendukung jagonya masing-masing untuk menjadi pemenang. Beragam dalil dan alasan maslahat berhamburan dari tokoh-tokoh umat untuk membenarkan siapa yang mereka dukung. Bahkan terkadang alasan tersebut mengada-ada dan kelihatan tidak lucu. Ironisnya, tidak ada indikasi nyata salah seorang dari jagoan mereka tersebut yang benar-benar akan memberikan kontribusi bagi perjalanan dakwah ke depan.
Ibarat sebuah paduan suara, jika menggunakan nada dasar sama akan melahirkan bunyi yang indah dan serasi. Sebaiknya kalau masing-masing orang daam kelompok paduan suara tersebut mengeluarkan suara sesuai selera mereka sendiri, maka suara yang muncul tidak jauh dengan beda dengan kebisingan di pasar atau terminal bis kota. Ironisnya, demikianlah kondisi umat umat kita sampai dengan saat ini.
Ternyata untuk bersatu saja kita masih cukup susah. Tidak semua isu-isu keumatan bisa melahirkan sebuah suara yang sama. Kasus fatma MUI tentang rokok, kasus Ahmadiyyah dan beberapa kejadian lainnya menunjukkan rentannya terjadi perpecahan di kalangan umat dalam menyikapi satu persoalan tertentu. Lebih-lebih ketika bau jabatan, kekuasaan dan kucuran dana sudah ikut bermain. Perbedaan kepentingan dan keinginan membuat terjadinya perbedaan cara menyikapi sebuah peristiwa. Ujung-ujungnya sudah jelas, pemenangnya adalah orang lain.
Efek lainnya yang nampak adalah citra kurang bagus umat ini. Muncul kesan bahwa tidak sedikit pemimpin umat ini mempunyai syahwat kekuasaan yang besar. Kalau sudah begitu maka pertanyaan dari masyarakat umum adalah apa bedanya tokoh agama dengan orang awam jika sama-sama berebut kekuasaan?
Bisa saja kita beralasan bahwa pemimpin umat berebut kekuasaan tentu saja untuk kemajuan dan kebaikan umat, kalau orang awam tentu saja demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Namun apakah apologi tersebut memang begitu kenyataannya?
Kita baru berbicara dalam lingkup lokal; Indonesia. Padahal di seluruh dunia jumlah umat Islam milyaran dan tidak terhitung berapa banyak mereka bergabung dalam persatuan-persatuan umat Islam baik anggotanya sedikit, banyak maupun sangat banyak. Tentunya butuh energi lebih besar lagi untuk mempersatukan mereka semua dalam satu kesepakatan dan langkah perjuangan yang sama.
Terkadang saya berfikir, apa memang harus menunggu kedatangan Imam Mahdi sehingga umat ini bersatu? Karena menunggu kesadaran dari setiap kelompok untuk mengorbankan ego dan ashobiyyah masing-masing nampaknya masih cukup sulit terwujud. Perlu seseorang dengan segala kelebihan manusiawinya untuk mengabungkan seluruh potensi umat sehingga menjadi kekuatan yang tangguh dan mengetarkan musuh-musuh Allah swt.
Kalau memang demikian maka kita harus memperbanyak berdoa supaya figur yang dijanjikan Rasulullah saw tersebut segera muncul. Dengan demikian persatuan umat untuk memperjuangan dien ini dalam satu barisan utuh dapat terlaksana.
Setiap menjelang pemilu (pileg/pilpres), suara umat Islam selalu menjadi primadona. Jumlah kaum muslimin merupakan mayoritas di negeri ini sehingga wajar hal tersebut menjadi fenomena. Sayangnya, sejarah selalu berulang, umat Islam senantiasa menjadi pendorong mogok mobil. Ketika mobil yang didorong sudah berjalan, umat Islam selalu ditinggal di belakang.
Ketika mereka sedang butuh, beribu ucapan menghibur, menyanjung dan mendukung program keumatan terlontar. Pakaian dan atribut keseharian merekapun didesain sedemikian rupa seolah-oleh mereka adalah orang-orang yang baik aplikasi nilai-nilai agamanya. Tokoh-tokoh umat mereka kunjungi untuk mendapatkan restu sembari menjanjikan hal-hal yang seakan-akan menguntungkan perjalanan umat untuk masa-masa berikutnya.
Namun biasanya janji tinggal janji. Setelah dukungan mereka dapatkan dan jabatan diperoleh, sebagian besar lupa apa yang telah diucapkan sebelumnya. Boro-boro memperjuangkan nasib umat, tidak jarang mereka justru menjadi penghalang aksi-aksi umat Islam pada beberapa isu yang bersingungan dengan kepentingan mereka.
Mengapa hal itu selalu terjadi dan terkesan kita malas belajar dari sejarah yang sudah menyajikan cerita dengan lakon yang sama? Satu diantara yang pasti adalah beragamnya kepentingan di kalangan umat Islam sendiri, khususnya para pemuka umat ini. Agenda masing-masing kelompok telah mengalahkan kewajiban umat untuk bersatu dan mengolkan pembumian syariah di nusantara tercinta ini.
Kalau kita melihat warna pelangi politik Indonesia saat ini, kesimpulan di atas masih layak dipercaya. Meski beberapa partai mengusung simbol dan warna Islam, namun susah sekali rasanya melihat mereka duduk percaya membahas apa yang terbaik bagi umat. Sehingga umat akan tenang dan yakin siapa yang harus dipiih dan diperjuangkan.
Justru sebaliknya yang terjadi, masing-masing kelompok mendukung jagonya masing-masing untuk menjadi pemenang. Beragam dalil dan alasan maslahat berhamburan dari tokoh-tokoh umat untuk membenarkan siapa yang mereka dukung. Bahkan terkadang alasan tersebut mengada-ada dan kelihatan tidak lucu. Ironisnya, tidak ada indikasi nyata salah seorang dari jagoan mereka tersebut yang benar-benar akan memberikan kontribusi bagi perjalanan dakwah ke depan.
Ibarat sebuah paduan suara, jika menggunakan nada dasar sama akan melahirkan bunyi yang indah dan serasi. Sebaiknya kalau masing-masing orang daam kelompok paduan suara tersebut mengeluarkan suara sesuai selera mereka sendiri, maka suara yang muncul tidak jauh dengan beda dengan kebisingan di pasar atau terminal bis kota. Ironisnya, demikianlah kondisi umat umat kita sampai dengan saat ini.
Ternyata untuk bersatu saja kita masih cukup susah. Tidak semua isu-isu keumatan bisa melahirkan sebuah suara yang sama. Kasus fatma MUI tentang rokok, kasus Ahmadiyyah dan beberapa kejadian lainnya menunjukkan rentannya terjadi perpecahan di kalangan umat dalam menyikapi satu persoalan tertentu. Lebih-lebih ketika bau jabatan, kekuasaan dan kucuran dana sudah ikut bermain. Perbedaan kepentingan dan keinginan membuat terjadinya perbedaan cara menyikapi sebuah peristiwa. Ujung-ujungnya sudah jelas, pemenangnya adalah orang lain.
Efek lainnya yang nampak adalah citra kurang bagus umat ini. Muncul kesan bahwa tidak sedikit pemimpin umat ini mempunyai syahwat kekuasaan yang besar. Kalau sudah begitu maka pertanyaan dari masyarakat umum adalah apa bedanya tokoh agama dengan orang awam jika sama-sama berebut kekuasaan?
Bisa saja kita beralasan bahwa pemimpin umat berebut kekuasaan tentu saja untuk kemajuan dan kebaikan umat, kalau orang awam tentu saja demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Namun apakah apologi tersebut memang begitu kenyataannya?
Kita baru berbicara dalam lingkup lokal; Indonesia. Padahal di seluruh dunia jumlah umat Islam milyaran dan tidak terhitung berapa banyak mereka bergabung dalam persatuan-persatuan umat Islam baik anggotanya sedikit, banyak maupun sangat banyak. Tentunya butuh energi lebih besar lagi untuk mempersatukan mereka semua dalam satu kesepakatan dan langkah perjuangan yang sama.
Terkadang saya berfikir, apa memang harus menunggu kedatangan Imam Mahdi sehingga umat ini bersatu? Karena menunggu kesadaran dari setiap kelompok untuk mengorbankan ego dan ashobiyyah masing-masing nampaknya masih cukup sulit terwujud. Perlu seseorang dengan segala kelebihan manusiawinya untuk mengabungkan seluruh potensi umat sehingga menjadi kekuatan yang tangguh dan mengetarkan musuh-musuh Allah swt.
Kalau memang demikian maka kita harus memperbanyak berdoa supaya figur yang dijanjikan Rasulullah saw tersebut segera muncul. Dengan demikian persatuan umat untuk memperjuangan dien ini dalam satu barisan utuh dapat terlaksana.
saya sering sakit hati ketika ada perdebatan yang berujung pada kekerasan antara kelompok yang mendukung khilafah dengan kelompok yang lebih moderat .
saya tidak sedang menyalahkan salah satu kelompok , karena saya tahu kapasitas saya sangat jauh dari memutuskan benar dan salah dalam masalah khilafiyah .
saya hanya berpikir , jika ini adalah masalah khilafiyah , mengapa tidak muncul toleransi antar kelompok terhadap keputusan yang di ambil dari kelompok yang berbeda ?
toh ini bukan masalah yang mengeluarkan seseorang dari Islam .
jika kita sibuk berdebat masalah sistem demokrasi , lalu kapan umat akan bersatu?