RSS

simbolisasi agama

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Salah satu tema menarik dari “pemanasan” perang tema kampanye pilpres adalah masalah jilbab. Ada beberapa pihak yang tiba-tiba melempar wacana tersebut dengan membandingan pemakaian pakaian muslimah tersebut dari isteri para pasangan capres-cawapres. Termasuk juga salah seorang capres yang memang seorang wanita.

Mirip sebuah kentongan di kampung yang dipukul dengan hitungan tertentu karena peristiwa tertentu, langsung saja beragam komentar segera bermunculan. Pro kontra terjadi, polemik berkembang; seru dan menarik untuk di simak. Tentu saja yang paling vokal dan kencang suaranya adalah orang-orang yang terlibat langsung "perang" pilpres kali ini.

Sebagian kaum muslimin, tokoh umat, tokoh ormas Islam dan aktifis dakwah pun berkomentar. Sayangnya, sebagian orang yang dikategorikan “taat” beragama justru berusaha menetralisir wacana yang sedang berkembang tersebut. Termasuk dalam kelompok ini adalah partai-partai yang mengusung simbol Islam dan dakwah.

Mereka sependapat dengan para jurkam capres tertentu yang menganggap isu tersebut sebagai black campaign. Menurut kelompok tersebut isu agama tidak layak masuk dalam wacana publik karena agama adalah urusan pribadi (privat). Mereka juga meminta pihak-pihak tertentu tidak membawa simbol-simbol agama tertentu ke ranah politik (publik).

Tulisan singkat ini tidak bermaksud ikut memberikan komentar atas polemik masalah itu, terlebih sudah sepakatnya para ulama atas kewajiban jilbab bagi kaum muslimah. Hanya sedikit sengol sana senggol sini tentang hal-hal yang berbau sekulerisme.

Begitulah konsep sekulerisme. Sebuah faham yang memisahkan agama dengan dunia. Penganut ideologi ini akan sangat menentang apabila seseorang berusaha mengarahkan setiap masalah dengan cara pandang agama. Tentu saja sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah munculnya paham tersebut.

Sekulerisme muncul sebagai buah ketidakpuasan masyarakat, khususnya para kaisar di Eropa abad pertengahan terhadap dominasi gereja di tengah kehidupan sosial, masyarakat dan pemerintahan. Saking berkuasanya gereja (paus), tidak jarang para kaisar harus tunduk pada kemauan mereka. Termasuk yang tidak puas adalah para filosof, cendekiawan dan para pemikir Eropa masa itu. Terlebih sikap gereja semakin lama semakin tidak benar dan bertentangan dengan ideologi kristen sendiri.

Satu diantara yang kemudian menyulut kontroversi adalah terbitnya surat pengampunan dosa. Gereja sebagai wakil Tuhan akan mengampuni seseorang yang berbuat dosa apabila si pendosa membayar uang kepada gereja dengan standard yang telah ditentukan.

Pemberontakan terhadap gerejapun muncul. Dukungan masyarakat banyak dan tentu saja para raja eropa membuat gerakan anti-gereja memperoleh kemenangan. Itulah awal lahirnya – istilah orang barat – renaisance (pencerahan) yang kemudian melahirkan revolusi perancis dan gerakan-gerakan kebangsaan lainnya.

Waktu itu terdapat dua arus pemikiran yang berkembang di kalangan pemikir barat; sebagian bermaksud menolak sama sekali keberadaan agama beserta segala hal yang berkaitan dengannya, sebagian lainnya masih mengakui peran agama tetapi ingin memisahkannya dari masalah-masalah dunia. Hingga akhirnya pendapat yang kedua yaitu memisahkan peran agama dengan negara lebih dominan dan disepakati para cendekiaran serta tokoh-tokoh masyarakat barat waktu itu.

Ketika kemudian pemisahan itu terjadi, barat memang mengalami kemajuan yang sangat luar biasa pesatnya dalam bidang keduniawiaan. Sementara dalam bidang spiritual mereka justru semakin kosong. Kemajuan ilmu pengetahuan yang tanpa plafon agama membuatnya tanpa rem. Akibatnya semakin maju peradaban duniawi mereka, semakin rusak moralitas dan akhlaq masyarakatnya. Ironisnya kebobrokan yang kemudian di ekspor ke negara-negara berpenduduk muslim itupun di terima dengan senang hati dan penuh kebanggaan.

Ide sekulerisme hanya ada di negara-negara barat yang kafir, dan lebih tepat untuk satu agama atau keyakinan yang hanya mengatur ritual peribadatan pemeluknya. Islam adalah sebuah ajaran yang megatur seluruh aspek kehidupan bagi para pemeluknya. Tidak hanya ibadah ritual saja yang menjadi perhatian, tetapi juga ekonomi, sosial, politik, pendidikan, militer, perdagangan dan lain-lainnya.

Karena dalam Islam itu iman (keyaknian) harus diucapkan dengan lisan, dibenarkan dengan hati dan dikerjakan dengan amalan-amalan. Bukan sekedar hanya diyakini saja karena akan melahirkan aliran kebatinan. Ataupun sekedar diucapkan dengan lisan saja. Ketiga aspek itu harus ada dalam diri setiap orang yang mengaku sebagai muslim dan sudah mengikrarkan kesaksian atas keEsaan Allah swt dan Rasulullah saw sebagai utusan Allah dan penutup para rasul sebelumnya.

Oleh karena itu, jika konsep sekulerisme diterapkan di negara-negara yang mayoritas beragama Islam tentu terjadi kepincangan-kepincangan. Hal itu terjadi karena ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan tidak mungkin bisa diterapkan. Akibatnya ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist Rasulullah saw hanya akan menjadi bacaan tanpa ruh dan semangat jihad. Kedua pusaka kaum muslimin itu tidak lagi terlihat ampuh kekuatannya di tengah umat Islam sendiri.

Sayang memang di negara yang mayoritas warganya adalah umat Islam, konsep bernegaranya menganut ideologi sekuler. Mengharapkan hukum Islam landing dengan sempurna di negara ini tentunya relatif sulit. Perlu kerja keras dan perjuangan kaum muslimin yang merindukan tegaknya kembali peradaban Islam di muka bumi Indonesia untuk mewujudkannya bersama-sama.

Kegagalan kaum muslimin dalam peristiwa hilangnya tujuh kata dalam piagam Jakarta merupakan awal dari kekalahan idologi Islam atas sekulerisme di bumi nusantara ini. Kekalahan yang mengakibatkan darah dan nyawa para syuhada seakan belum lengkap perjuangannya karena cita-cita menegakkan syariat Allah swt belum berhasil. Begitu pula upaya-upaya generasi-generasi selanjutnya melalui jalur politik, ormas dan dakwah belum menunjukkan secara jelas kapan kemenangan ideologi Islam akan tiba.

Meskipun demikian tidak ada dalam kamus para penggiat dakwah untuk kemudian surut mundur dan merasa kalah dalam perjuangannya. Terlebih tantangan kian hari kian besar. Muncul istilah-istilah baru yang semakin mengerogoti keimanan dan keIslaman umat hari-hari sekarang ini.

Gerakan orang-orang Yahudi dan Nasrani semakin gencar memberondong aqidah umat melalui ideologi pluralisme, liberalisme dan yang terbaru multikulturalisme. Itu semua harus di hadapi, dicounter dan dikalahkan karena sudah banyak cendekiawan dan pemikir Islam ikut larut dalam aliran sesat tersebut, bahkan memperjuangkannya.

Diantara upaya untuk membendung dan mengalahkan sekulerisme tentu saja dengan pemenangan wacana, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Karena tidak bisa dipungkiri sudah terlalu banyak umat Islam yang justru telah menikmati hidup dalam ideologi ini dan merasa berat kalau harus berganti kepada ideologi Islam. Memberi tahu mereka tentu saja bukan pekerjaan ringan, terlebih bagi orang-orang yang berada dalam tataran pemegang jabatan publik. Itulah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan bersama-sama.

| edit post

4 Responses to "simbolisasi agama"

  1. ahmad Says:
  2. manuver kelompok tersebut sudah terlampau jauh dari yang namanya dakwah .
    jadi antipati ama kelompok tersebut selama tidak ada perubahan .

    *afwan baru comment . :D
  3. abinehanafi Says:
  4. salah satu godaan dakwah memang kekuasaan. mungkin krn merasa kemenangan sudah datang, capek berjuangan ataupun bergesernya nilai-nilai yang diperjuangan.
  5. ahmad Says:
  6. setuju .
    pergeseran tujuan dalam suatu perjuangan ternyata berdampak sangat besar terhadap kebijakan suatu kelompok .
    saya jadi ingat diskusi beberapa saat lalu dengan beberapa teman tentang masalah ini .
    jika di analogikan dalam dua premis dimana premis satu adalah :

    Jika Kekuasaan di dapat Maka Dakwah Berhasil

    dibandingkan dengan

    Jika Dakwah Berhasil maka Insya Allah kekuasaan di dapat

    ternyata memberi efek yang sangat besar .
    premis satu akan menjadikan kekuasaan sebagai syarat bagi keberhasilan dakwah .
    sedangkan premis dua menjadikan dakwah sebagai syarat (walo tidak mutlak) bagi tercapainya kekuasaan .

    lalu solusi dari ustadz apa ?
  7. abinehanafi Says:
  8. kembali kepada metode Rasulullah saw dalam membangun peradaban Islam. itu adalah sunnah nabawiyyah

Posting Komentar