RSS

tanggung jawab terhadap masa lalu

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Masa lalu berarti waktu atau saat yang telah lewat dalam hidup seseorang, lingkungan, bangsa, kaum, umat dan juga peradaban. Karena masa lalu maka tidak bisa diulang, paling-paling yang bisa diperbuat adalah mengenangnya sambil tersenyum, tertawa, sedih ataupun menyesal. Kalau mau sedikit lebih serius barangkali melihat kembali sebagai bahan renungan sekaligus evaluasi untuk perbaikan ataupun juga bahan pembelajaran (ibrah).

Dalam Islam ada anjuran bagi kaum muslimin untuk melihat ke belakang sebagai bekal membuat prestasi masa-masa berikutnya sehingga selamat dunia akhirat. Allah swt menekankan perintah tersebut di dalam surat al-Hasyr ayat 18; “wahai orang-orang Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Dengan melihat masa lalu kita juga bisa mengukur diri sampai dimana perjalanan yang telah terlewati. Apa yang telah kita lakukan dengan umur kita berapapun sekarang yang telah Allah swt berikan kepada kita. Layakkah kemudian kita mengaku sebagai hamba yang taat karena kepatuhan kita untuk menekuni jalan yang Ia perintahkan kita lewati dan menghindari arah yang Ia larang untuk ditapaki.

Masa lalu juga bisa menjadi salah satu sarana mengendapkan bibit-bibit kesombongan dan keangkuhan nafsu sendiri. Ketika kita sedang merasa lebih dari orang lain karena kekuatan fisik, melimpahnya kekayaan, banyaknya pasukan ataupun empuknya jabatan, ingatlah mereka-mereka yang nama-namanya dan jejak-jejak ucapannya tertulis dalam buku sejarah manusia.

Kita bisa membayangkan kebesaran kaum Tsamud, ‘Aad, Fir’aun ataupun Namrud. Dimana mereka sekarang? Tidak ada yang tersisa kecuali tempat yang pernah mereka singgahi atau tinggali semasa hidupnya. Begitulah Allah swt memusnahkan orang-orang yang enggan dan menyombongkan dirinya.

"Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An Nahl:36).

Ataupun juga mengingat kebesaran para sahabat Rasulullah saw, para khalifah dan pemimpin Islam seperti Sholahuddin al-Ayubi, Thariq bin Ziyad, Abdurrahman al-Ghafiqi dan sederet nama besar lainnya. Bandingkan dengan diri kita? Layakkah masih berbesar hati mengagungkan diri sendiri? Jauh rasanya mengukur prestasi kita untuk umat dengan jerih payah mereka menyebarkan dakwah Islam ke delapan penjuru mata angin.

Tapi apakah hanya sebatas itukah hubungan kita dengan masa lalu?

Dua hari yang lalu ada kesempatan ngobrol dengan orang-orang dari masa lalu saya. Kami pernah bersama-sama belajar tentang kehidupan dalam kurun waktu tertentu. Usia yang lebih tua ketika itu membuat sebagian mereka juga belajar kehidupan dari saya.

Seiring perjalanan waktu, merekapun menyebar ke semua arah kehidupan. Segala warna dunia bercampur menjadi satu. Bagi yang kuat memegang prinsip kehidupan, pergiliran zaman tidak membuat mereka lupa diri dengan identitas sebagai seorang yang memegang panji kebenaran Islam. Perpindahan tempat, teman dan aktifitas tidak mengubah keyakinan yang telah tertancap dalam di sanubari.

Kenyataan berbeda dialami sebagain lain dari mereka. Gemerlap dunia yang hadir mengelilingi masa muda mereka teramat berat untuk dilawan. Prinsip dan keyakinan mungkin masih kuat bersemayan di dada, tapi rasa keberpihakan nampaknya mulai susut. Paling tidak ada tiga indikasi keberpihakan seseorang terhadap sesuatu; ucapan, penampilan (atribut) dan keaktifan dalam kegiatan. Ironisnya, ketiga parameter tersebut bernilai negatif semua.

Ketika ngobrol itulah kemudian salah seorang sambil nguyonan mengatakan bahwa anak-anak yang tidak konsisten dengan jalan yang dulu mereka tempuh itu masih tanggung jawah saya. Atau paling tidak ada peran yang saya lakukan sehingga mereka begitu. Dengan guyonan pula saya menjawab tuduhan tersebut sembari membela diri. Diskusipun melebar ke kanan dan ke kiri, menyentuh semua sudut masa lalu dan nasib sebagian mereka di masa kini.

Meski bercanda dan kami masih berjam-jam bercengkerama di bawah pohon trembesi sambil menyaksikan anak-anak kecil bermain futsal, celetukkan di atas terekam dengan baik dalam memori saya. Lebih jauh hal itu patut menjadi bahan renungan untuk perbaikan tentu saja.

Saya teringat sebuah sabda junjungan umat Rasulullah saw tentang keberlangsungan pahala ataupun dosa akibat perbuatan kita yang diikuti orang lain. Beliau saw bersabda : “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).

Petuah itulah yang menjadi penginggat kita untuk berhati-hati ketika mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Kebaikan yang kita sarankan berbuah kebaikan, begitu pula kemaksiatan yang kita setujui melahirkan dosa dan kesalahan.

Karenanya kalau kita membaca literatur Islam masa lalu tentang pendidikan khususnya para pendidik, pastilah tercitra kehebatan dan kemuliaan seorang guru. Begitu banyak prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajar. Baik terkait dengan kualifikasi keilmuan, akhlaq-karakter sekaligus metodologi pengajaran.

Begitu pula murid atau peserta didik. Mereka adalah manusia-manusia yang disiapkan untuk meniti jalan ketuhanan (salik rabbaniyyah). Adab adalah sesuatu yang mutlak harus melekat dalam diri mereka karena bersama dengan tawadu’ kedua aspek tersebut merupakan hiasan ilmu. Keberkahan ilmu berjalan seiring dengan keridho’an para guru dan jauhnya dari melakukan maksiat kepada Allah swt.

Membandingkan aplikasi konsep tersebut pada masa sekarang dengan masa keemasan peradaban Islam memang teramat jauh. Pondasi tauhid yang kokoh menjadi semakin perkasa dengan keagungan akhlaq dan ketinggian ilmu kaum muslimin ketika itu. Namun paling tidak ada semangat kita untuk meniru hal-hal yang bisa kita kerjakan saat sekarang. Ada sebuah pepatah Arab yang layak menjadi tambahan motivasi kita: "Serupailah orang-orang terhormat, jika kalian tidak bisa sama persis seperti mereka. Karena menyerupai orang-orang terhormat itu adalah kemenangan."

Akhirnya saya hanya mampu berdoa kepada Allah swt untuk mengampuni semua kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat, khususnya ucapan, contoh ataupun nasehat yang saya sampaikan kepada orang lain jika itu salah. Termasuk juga bagi orang-orang yang pernah mendapatkan ucapan, contoh ataupun nasehat yang saya sampaikan salah semoga mereka memaafkannya. Meski terkesan apologi namun bukankah manusia memang tempatnya salah dan lupa?

Tentunya saya akan merasa bahagia dan bersyukur apabila ada sebagian kecil dari apa yang telah diperbuat pada masa lalu menjadi amal sholeh di hadapan Allah swt. Rasulullah saw bersabda bahwa jika mati anak Adam mata terputuslah semua hubungan kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan. Betapa beruntungnya kalau ketiga-tiganya kelak dapat saya raih. Amiiiiin.

| edit post

0 Responses to "tanggung jawab terhadap masa lalu"

Posting Komentar