RSS

Keinginan, doa dan maslahat

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Kemarin malam saya menemani teman saya silaturahim ke rumah calon rekan usahanya. Ia mengajak saya karena ada beberapa hal yang mungkin saya bisa memberikan bantuan pemikiran. Meski sempat molor 30 menit dari waktu yang telah kami sepakati berdua yakni persis setelah sholat ‘Asar, acara silaturahim itupun terlaksana. Kurang lebih dua jam kami ngobrol ngalor ngidul dengan tuan rumah. Menjelang Isya’ kami baru kembali ke rumah.

Tuan rumah orangnya sangat ramah alias grapyak tenan. Selama kami di rumahnya ia menjamu kami dengan keramahannya tersebut. Hebatnya lagi, ia tidak pernah kehabisan cerita yang menarik. Menurutnya, pengalaman hidup yang ia telah alami membuat kalau sudah bercerita akan susah berhenti. Hal itu membuatnya setiap bertamu ke rumah orang pasti akan lama, begitu pula ketika ada tamu berkunjung ke rumahnya akan lama pula.

Satu dari sekian banyak kisah yang ia sampaikan pada kami malam itu adalah proses bagaimana ia menempati rumahnya sekarang. Ternyata ia dan keluarganya baru satu bulan tinggal di rumahnya saat ini. Rumah itu adalah rumah orang yang dipasrahkan kepadanya dengan jangka waktu yang tidak terbatas, termasuk ijin untuk mempergunakannya sebagai tempat usaha kecil-kecilan.

Sebelumnya keluarga dengan dua orang anak laki-laki itu kos di sebuah rumah yang – menurut mereka sendiri – sangatlah sempit. Satu rumah dengan dua ruangan. Satu ruangan berfungsi sebagai kamar tidur, sementara satunya untuk tempat masak dan keperluan lainnya. Kalau saudara, kerabat atau teman kerja ingin silaturahim ke rumahnya, mereka harus rela berjalan kaki beberapa lama karena jalan depan rumahnya sangat sempit sehingga tidak bisa dilewati kendaraan motor maupun mobil. Tidak heran apabila ada kegiatan kampung (RT/RW) ia selalu meminjam teras tetangganya kalau kebetulan ia menjadi tempat acara (tuan rumah kegiatan).

Calon rekanan teman saya ini pekerjaanya adalah bagian marketing dan penarikan sebuah lembaga amil zakat. Ia mendapat tugas untuk menggarap donator amil zakat kelas menengah ke atas. Sebagian donaturnya adalah dosen, pengusaha dan beberapa pejabat teras berbagai instansi pemerintah serta swasta. Dalam kapasitas tugasnya itulah ia sering berkunjung ke rumah donaturnya yang tentu saja kebanyakan mereka memiliki rumah-rumah berukuran luas dan terletak di lingkungan yang berkategori “mahal”.

Ketika bercerita ia menyampaikan kalau dirinya memiliki doa khusus setiap kali memasuki rumah-rumah bertipe mahal. Kalimat doanya adalah permohonan kepada Allah swt agar diberikan sebuah rumah yang besar seperti rumah-rumah yang ia masuki ketika bersilaturim kepada para donatornya. Doa itu bertahun-tahun ia lafadzkan dengan penuh keyakinan suatu ketika Allah swt mengabulkan permohonannya.

Tiga bulan menjelang masa kontrakan rumahnya habis, ia sempat pusing karena tidak ada bayangan mau pindah kemana. Maklum saja ia tidak cukup mempunyai tabungan untuk memperpanjang kontrakkan rumahnya, apalagi mencari kontrakan baru yang lebih baik kondisinya.

Namun demikian ia merasa punya satu tempat untuk meminta dan pasti akan dikabulkan. Ia berfikir bahwa ia punya Allah swt pemilik alam raya ini dan penentu semua peristiwa serta kejadian. Kalau berkehendak siapa yang bisa mencegah dan menghalangi? Begitu pikiran dan keyakinannya.

Langkah berikutnya yang ia lakukan dengan istrinya adalah memperbanyak ibadah dan amal sholeh. Tengah malam mereka berdua bangun untuk mendirikan sholat tahajud memohon kepada Allah swt agar mempermudah jalan hidup dan kehidupannya. Ibadah-ibadah sunnah ia tingkatkan dan pergencar sebagai pelengkap serta penyempurna ibadah wajibnya.

Tidak ketinggalan pula infaq ia perbanyak. Sebisa mungkin ia menyisihkan penghasilannya yang sudah sedikit itu untuk memberi kepada orang-orang yang membutuhkan. Tidak jarang ia infaq dalam jumlah yang besar karena memiliki keyakinan bahwa semakin besar infaqnya maka Allah swt akan memberikan balasan yang besar juga.

Demikianlah peningkatan ibadah dan amal sholeh itu ia laksanakan setiap hari selama tiga bulan. Ia sengaja melingkari tanggal dan hari di kalender ketika memulai azzam tersebut supaya terjaga semangatnya. Ia pernah merasa khawatir dan kecewa juga ketika ikhtiar itu sudah memasuki satu bulan tapi belum ada tanda-tanda Allah swt mengabulkan permohonannya. Namun keyakinan dirinya dan istrinya mengalahkan kegalauan tersebut. Semangatnya tetap tinggi karena percaya Allah swt tidak akan pernah menyalahi janjiNya.

Tepat tiga bulan dalam hitungan kalender yang ia lingkari, seseorang menawari dirinya untuk menempati rumahnya. Rumah itu hampir dijual, namun karena satu dan lain hal pihak pembeli tiba-tiba saja membatalkan pembelian. “sudah rejeki kali, semuanya kok serba pas dan terasa kebetulan sekali”. Begitu ia menjelaskan kepada kami.

Dan begitu positif menempati rumah tersebut, ia langsung sujud syukur sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah swt atas karunianya. Sebuah anugerah yang tidak pernah terbayangkan telah ia dan keluarganya terima. Tak lupa ia mengundang para tetangganya yang dulu hidup berdampingan dalam satu lingkungan untuk datang ke rumahnya; bareng-bareng mensyukuri karunia yang ia terima.

Satu kelebihan dari bapak ini adalah pengalaman hidupnya yang tak habis-habis untuk diceritakan. Beberapa kali kami mau pamit selalu tertunda karena ada saja bahan cerita yang mengalir begitu saja tanpa disengaja. Termasuk pengakuannya kalau sekarang ia sedang meng “up grade” doanya. Maksudnya doa mendapat rumah sudah terwujud, maka dia berdoa yang lain yang lebih tinggi tingkatannya. Baru setelah istrinya mengingatkan kepada suaminya bahwa mereka punya janji keluar dengan anak-anaknya, percakapan antara kamipun berhenti. Masih dengan keramahannya ia melepas kami sampai di jalan raya depan rumahnya.

Sepanjang perjalanan pulang, saya dan teman masih beberapa lama memperbincangkan pertemuan kami barusan. Paling tidak bagi kami yang lebih muda, pengalaman bapak orang yang beberapa tahun di atas usia kami terebut layak menjadi bahan pelajaran dan renungan. Bukankan setiap perisitiwa dari seseorang bisa melahirkan hikmah bagi orang lain?

Bagi saya peribadi ada dua hal menarik yang bisa menjadi pelajaran. Pertama adalah kekuatan doa, sementara hal kedua yang menarik adalah konten (isi) dari doa tersebut beserta sejarah “kemunculannya” sebagai perwujudan konsep diri orang itu sendiri.

Kita sebagai seorang muslim sangat meyakini bahwa seluruh alam seisinya merupakan milik Allah swt dan berada di dalam gengamanNya. Tidak ada satu peristiwapun yang luput dari campur tangan Allah swt. Seluruh kebaikan, ujian, cobaan dan bencana yang menimpa seseorang pasti masuk dalam rencana Allah swt. Maka sudah sewajarnya kalau setiap manusia memberikan penyembahan dan pengabdian terbaik kepadaNya. Hanyalah orang-orang yang sombong dan tidak tahu diri kalau kemudian menyadari hal itu masih saja menolak untuk taat dan patuh untuk melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi laraganNya.

Kesadaran akan ke Maha Kuasa an Allah swt beserta segala sifat keagunganNya merupakan dasar bagi seorang muslim untuk mengantungkan seluruh harapannya. Setelah melaksanakan segala daya dan upaya berusaha memenuhi hajatnya, maka langkah selanjutnya adalah memohon bantuan kepada Pemilik alam raya ini untuk mewujudkan keinginannya. Itulah doa; permintaan dan permohonan kepada Allah swt.

Tentu saja ada prasyarat-prasyarat khusus agar doa seseorang dikabulkan. Mulai dari rizqi yang halal yang ia makan, ibadah dan amal sholeh sebagai wujud ketaatan bagian pelaksanaan doa itu sendiri harus menunjukkan kesungguhan dan penuh harap kepada Allah swt. Di tambah dengan sebuah kesadaran terkabul tidaknya sebuah doa adalah hak prerogatif Allah swt dan semua pasti mengandung hikmah serta ibrah bagi yang menerimanya.

Kalau membaca kisah-kisah orang sholeh pada zaman dulu maupun sekarang, kita akan banyak menemukan betapa kekuatan doa mampu mengubah jalannya kehidupan seseorang. Tidak hanya seorang manusia saja, bahkan tidak sedikit pula satu masyarakat, bangsa maupun peradaban berubah karena satu doa yang dimunajadkan di kabulkan Allah swt. Begitulah kemenangan Rasulullah saw dalam perang Badr, ataupun kehancuran yang menimpa kaum nabi Nuh, kamu Tsamud, ‘Aad dan yang lainnya.

Bagian kedua yang cukup menarik adalah konten (isi) doa sendiri. Seseorang boleh minta apa saja kepada Allah swt; Kesehatan, kecukupan, keberkahan rizqi, tambahan ilmu, juga kekayaan. Paling tidak sebisa mungkin kita mengambil doa-doa yang dicontohkan Rasulullah saw sebagai rujukan. Kalaupun berdoa dengan bahasa dan keinginan sendiri juga tidak apa-apa karena Allah swt tentu saja mengetahui seluruh keinginan hambaNya baik dilisankan maupun masih terbersit di dalam pikiran dan hatinya.

Namun satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah keterkaitan antara doa yang seseorang panjantkan dengan karakter dirinya. Rasulullah saw selalu memintakan kebaikan untuk umatnya. Kondisi umat Islam mendapat prioritas lebih dalam doa beliau. Rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib umatnya setelah kehidupan beliau dan hari kiamat sering membuat beliau berlama-lama dalam doanya sambil mengucurkan air mata.

Bagaimana dengan kita saat ini? Tingkatan iman kita yang belum tinggi serta keterikatan yang kuat dengan dunia memang membuat doa yang terpanjatkan lebih banyak menyentuh aspek kepentingan pribadi. Keinginan-keinginan yang muncul dalam diri karena tuntutan kehidupan sosial lebih sering mengalir dari lisan kita. Tentu saja tidak masalah apapun yang kita pinta selama itu membawa kebaikan bagi agama dan akhirat kita.

Bagaimana dengan doa minta rumah besar seperti pengalaman rekanan teman saya di atas? ataupun permintaan-permintaan lainnya yang berupa materi dan terkesan materialistik? Kalau hal itu memang membawa kebaikan bagi diri dan agamanya, juga terjaga keihlasannya dalam beribadah dan beramal tidak masalah dimintakan kepada Allah swt. Meskipun nampaknya sebagian orang tidak menyepakati pendapat ini.

| edit post

0 Responses to "Keinginan, doa dan maslahat"

Posting Komentar