RSS

Idul fitri di kampung (1); memudarnya “bid’ah hasanah”?

abinehanafi Filed Under: Label:
Esensi idul fitri sesungguhnya adalah bagaimana silaturahim pada sebuah komunitas muslim bisa kembali harmonis atau terjaga keharmonisannya. Paling tidak ada satu waktu dimana semua anggota sebuah lingkungan mempunyai kesempatan dan kemauan untuk saling meminta maaf serta saling memaafkan. Dalam konteks itulah keunikan perayaan idul fitri di Indonesia menjadi istemewa dan unik, sesuatu yang tidak ditemukan di wilayah lain. Apakah kegiatan ini termasuk “bid’ah hasanah”?
Fenomena suasana saling anjangsana, bersilaturahim, dan saling mengunjungi akan lebih terasa kalau qt lahir desa atau sebuah kota kecil. Karateristik masyarakatnya yang masih relatif saling mengenal dan kerap berinteraksi membuat moment idul fitri terasa spesial. Tidak hanya bagi orang-orang dewasa, bagi anak-anakpun datangnya hari lebaran membuat mereka akan merasakan “kekenyangan”, “mengantongi banyak jajan” dan (kalau beruntung) di sakunya banyak uang”.
Kebiasaan kaum muslimin untuk menyediakan banyak kue dan panganan di ruang tamu mereka pada hari-hari idul fitri menjadi sasaran. Tidak jarang ada “komunikasi” antara mereka untuk saling memberi informasi rumah-rumah siapa saja yang sajiannya paling enak dan paling banyak. Terlebih jika tuan rumah memberikan angpaw, bisa dipastikan rumahnya akan kebanjiran tamu manusia-manusia belum dewasa tersebut.
Secara berkelompok, anak-anak itu akan berjalan kaki menjangkau dair ujung desa ke ujung desa lainnya di empat penjuru mata angin. Tidak peduli mereka kenal atau tidak dengan tuan rumah yang disinggahi. Selama “informasi” dari kelompok lain memberikan kabar gembira, mereka akan mendatanginya meski jauh dari pangkalan main mereka.

Apakah kebiasaan itu masih berlangsung?

Di sebagian daerah tradisi itu masih berlangsung, sementara di beberapa daerah kebiasaan baik itu mulai luntur dan senderung ditinggalkan. Di desa sy sendiri tradisi itu masih berlangsung dengan baik, sayangnya keaktifan bersilaturahim hanya dilakukan oleh orang-orang tua dan mereka yang paling tidak sudah menikah. Sementara di kalangan anak-anak dan remaja keaktifan untuk bersilaturahim setiap tahunnya semakin menurun. Terlebih ketika arus modernisasi dan kemudahan berkomunikasi deras menyerbu pedesaan.
Kalau dulu ketika sy masih anak-anak, bersama teman-teman sebaya pagi, siang, sore bahkan malam akan berkeliling desa untuk “badan” ke rumah orang-orang, sekarang anak-anak lebih suka duduk manis di depan televisi atau PS dari pagi sampai malam hari.
Ketika masa remaja sy paling-paling kmi setelah capek berkeliling ke rumah-rumah untuk berlebaran hanya cangkrukan di masjid ataupun tempat kmi biasa mangkal, kegiatan itu semakin tidak laku. Remaja-remaja sekarang yang hampir semuanya memegang motor lebih suka ketika lebaran bermain ke kota kecamatan untuk sekedar kongkow-kongkow ataupun mengunjungi obyek-obyek wisata terdekat yang menyajikan beragam hiburan seperti pentas musik dan sejenisnya.

Dari segi eksternal barangkali arus globalisasi bisa menjadi alasan memudarnya kebiasaan baik tersebut di lingkunganq. Guru dan orang tua baru bernama televisi semakin berhasil menarik hati anak-anak dan remaja untuk mengikuti setiap kemauan serta “ajaran” mereka. Gaya hidup khas kota besar mulai di “copy” “paste” anak-anak muda pedesaan dengan sedikit sekali di “edit”nya. Akibatnya sebagian mereka seperti orang kota yang sedang “berlibur” di desa.
Sedangkan faktor internalnya barangkali kekurang berhasilan nilai-nilai ini diwariskan dari generasi sebelumnya ke generasi muda sekarang. Saat ini ada sedikit kesan bahwa yang wajib saling mengunjungi ketika idul fitri adalah mereka yang sudah berumur atau paling tidak sudah menikah. Entah darimana datangnya, paling tidak kesan tersebut para remaja merasa tidak wajib alias sunnah untuk berlebaran dari rumah ke rumah orang-orang di kampungnya.

Semoga kenyataan tersebut yang nampaknya mulai disadari sebagian tokoh masyarakat segera dicarikan solusinya. Kita memang tidak boleh ketinggalan zaman, tapi jangan sampai kemudian kemajuan zaman secara fisik material membuat nilai-nilai positif yang menjadi bagian diri kita dilepaskan. Ironis lagi kalau hanya dijadikan sejarah dan kenanagan masa lalu; indah dikenang tapi pahit dirasakan. ‘Allahu ‘alam.

| edit post

0 Responses to "Idul fitri di kampung (1); memudarnya “bid’ah hasanah”?"

Posting Komentar