Bismillahirrahmanirrahim
Rasanya tidak lengkap bagi seorang muslim setiap menjelang akhir Desember kalau tidak membicarakan tentang natal. Banyak sekolah, kampus, jama’ah pengajian dan lembaga-lembaga dakwah mengadakan kajian seputar masalah itu. Tentu saja dengan tema dan titik tekan berbeda.
Saya sendiri sebenarnya kurang berminat membicarakan hal tersebut karena fatwa para ulama dan MUI tahun 1981 sudah lebih jelas untuk menyikapi tanggal merah tersebut. Kalaupun mempunyai interest tentu saja keingginan menyebarkan apa yang sudah kita ketahui kepada saudara-saudara kita yang belum tahu tentang hal itu.
Ada dua hal menurut saya mengapa kita sebagai seorang muslim merasa tertarik untuk ikut membicarakan tentang natal. Alasan pertama adalah kedekatan teologis antara Islam dan Nasrani. Meskipun konsepsi mereka sudah sangat menyimpang dari ajaran Tauhid, namun label ahlul kitab memang menjadi milik mereka.
Maka wajar kalau kemudian kita untuk membicarakannya. Tentu saja dengan motivasi berbeda yakni memberi tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan menyimpang. Dan kemudian mengajak mereka untuk kembali kepada kalimat yang sama yakni mentauhidkan Allah swt (Ali Imron ayat 64). Tapi untuk berbuat seperti itu tentunya butuh keberanian yang ekstra dan tentu saja kemampuan yang lebih pemahaman Islam dan pengetahuan kristologinya.
Faktor kedua adalah kekuatan geopolitik dunia saat ini berada di tangan peradaban barat yang notabene Nasrani. Meskipun sesungguhnya Barat itu lebih identik dengan kebudayaan Yunani dan Romawi sendiri yang pagan.
Para missionaris yang memang didoktrin untuk menyelamatkan gembala-gembala yang sesat itu kemudian memanfaatkan tangan-tangan para penguasa untuk menyebarkan misi zending mereka. Kekuatan media massa pun mereka kerahkan untuk mengalang opini.
Maka kita saksikan seluruh dunia dari ujung Afrika sampai Merauke pasti semarak dengan kegiatan-kegiatan Natal. Dari mulai para pemimpin negara hingga rakyat jelata digembor-gemborkan saling mengucapkan selamat.
Itu semua diantara tujuannya adalah untuk mempengaruhi otak-otak kaum muslimin agar mau mengadaikan agamanya. Kalaupun kemudian tidak pindah agama, kaum muslimin mau menerima konsepsi mereka tentang penyaliban Yesus. Karena tanpa dogma itu tidak ada kristen.
Dengan dalih toleransi tentu saja mereka akan mengharapkan ucapan selamat natal karena itu bukti pengakuan kaum muslimin atas ketuhanan Yesus. Mereka tidak sungkan-sungkan mengawali lebih dahulu dengan mengucapkan selamat hari raya idul fitri maupun hari raya Islam lainnya dengan ucapan langsung maupun spanduk/banner di depan gereja-gereja mereka.
Tapi itu sesungguhnya tidak gratis (no free lunch). Mereka berharap kaum muslimin akan sungkan kalau tidak berbuat sama yakni memberikan ucapan kepada mereka dengan lisan maupun tulisan. Termasuk mengundang tokoh-tokoh kaum muslimin untuk menghadiri perayaan bersama.
Dari segi hukum sendiri sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kita sebagai kaum muslimin menyikapinya. Para ulama dan MUI sendiri sudah memfatwakan HARAM bagi kaum muslimin untuk mengucapkan selamat natal termasuk menghadiri perayaannya.
Kita tidak toleran...? Toh kita tidak pernah mengundang mereka untuk menghadiri hari raya kita. Ini masalah aqidah, bukan muamalah. Bukankah hidup seorang muslim itu untuk aqidah dan memperjuangkannya? (innal hayata aqidatun wa jihadun).
Saya teringat perkataan amirul mu’minin Umar bin Khatab yang menyuruh kaum muslimin tidak memasuki rumah-rumah ibadah orang kafir ketika sedang ada perayaan-perayaan hari besar mereka. Kata beliau ketika laknat dan azab Allah swt sedang menaungi mereka.
Maka adalah kesalahan besar kalau kemudian para aktifis liberal menuduh pola pikir kita terlalu dipengaruhi keyakinan akan adanya rekayasa global orang-orang kafir terhadap kaum muslimin. Mungkin mereka lupa bahwa sudah sunnatullah kalau pertarungan ideologi dan peradaban hadir di sepanjang waktu dan tempat; siapa menjual dan siapa membeli. Allahu ‘alam
Rasanya tidak lengkap bagi seorang muslim setiap menjelang akhir Desember kalau tidak membicarakan tentang natal. Banyak sekolah, kampus, jama’ah pengajian dan lembaga-lembaga dakwah mengadakan kajian seputar masalah itu. Tentu saja dengan tema dan titik tekan berbeda.
Saya sendiri sebenarnya kurang berminat membicarakan hal tersebut karena fatwa para ulama dan MUI tahun 1981 sudah lebih jelas untuk menyikapi tanggal merah tersebut. Kalaupun mempunyai interest tentu saja keingginan menyebarkan apa yang sudah kita ketahui kepada saudara-saudara kita yang belum tahu tentang hal itu.
Ada dua hal menurut saya mengapa kita sebagai seorang muslim merasa tertarik untuk ikut membicarakan tentang natal. Alasan pertama adalah kedekatan teologis antara Islam dan Nasrani. Meskipun konsepsi mereka sudah sangat menyimpang dari ajaran Tauhid, namun label ahlul kitab memang menjadi milik mereka.
Maka wajar kalau kemudian kita untuk membicarakannya. Tentu saja dengan motivasi berbeda yakni memberi tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan menyimpang. Dan kemudian mengajak mereka untuk kembali kepada kalimat yang sama yakni mentauhidkan Allah swt (Ali Imron ayat 64). Tapi untuk berbuat seperti itu tentunya butuh keberanian yang ekstra dan tentu saja kemampuan yang lebih pemahaman Islam dan pengetahuan kristologinya.
Faktor kedua adalah kekuatan geopolitik dunia saat ini berada di tangan peradaban barat yang notabene Nasrani. Meskipun sesungguhnya Barat itu lebih identik dengan kebudayaan Yunani dan Romawi sendiri yang pagan.
Para missionaris yang memang didoktrin untuk menyelamatkan gembala-gembala yang sesat itu kemudian memanfaatkan tangan-tangan para penguasa untuk menyebarkan misi zending mereka. Kekuatan media massa pun mereka kerahkan untuk mengalang opini.
Maka kita saksikan seluruh dunia dari ujung Afrika sampai Merauke pasti semarak dengan kegiatan-kegiatan Natal. Dari mulai para pemimpin negara hingga rakyat jelata digembor-gemborkan saling mengucapkan selamat.
Itu semua diantara tujuannya adalah untuk mempengaruhi otak-otak kaum muslimin agar mau mengadaikan agamanya. Kalaupun kemudian tidak pindah agama, kaum muslimin mau menerima konsepsi mereka tentang penyaliban Yesus. Karena tanpa dogma itu tidak ada kristen.
Dengan dalih toleransi tentu saja mereka akan mengharapkan ucapan selamat natal karena itu bukti pengakuan kaum muslimin atas ketuhanan Yesus. Mereka tidak sungkan-sungkan mengawali lebih dahulu dengan mengucapkan selamat hari raya idul fitri maupun hari raya Islam lainnya dengan ucapan langsung maupun spanduk/banner di depan gereja-gereja mereka.
Tapi itu sesungguhnya tidak gratis (no free lunch). Mereka berharap kaum muslimin akan sungkan kalau tidak berbuat sama yakni memberikan ucapan kepada mereka dengan lisan maupun tulisan. Termasuk mengundang tokoh-tokoh kaum muslimin untuk menghadiri perayaan bersama.
Dari segi hukum sendiri sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kita sebagai kaum muslimin menyikapinya. Para ulama dan MUI sendiri sudah memfatwakan HARAM bagi kaum muslimin untuk mengucapkan selamat natal termasuk menghadiri perayaannya.
Kita tidak toleran...? Toh kita tidak pernah mengundang mereka untuk menghadiri hari raya kita. Ini masalah aqidah, bukan muamalah. Bukankah hidup seorang muslim itu untuk aqidah dan memperjuangkannya? (innal hayata aqidatun wa jihadun).
Saya teringat perkataan amirul mu’minin Umar bin Khatab yang menyuruh kaum muslimin tidak memasuki rumah-rumah ibadah orang kafir ketika sedang ada perayaan-perayaan hari besar mereka. Kata beliau ketika laknat dan azab Allah swt sedang menaungi mereka.
Maka adalah kesalahan besar kalau kemudian para aktifis liberal menuduh pola pikir kita terlalu dipengaruhi keyakinan akan adanya rekayasa global orang-orang kafir terhadap kaum muslimin. Mungkin mereka lupa bahwa sudah sunnatullah kalau pertarungan ideologi dan peradaban hadir di sepanjang waktu dan tempat; siapa menjual dan siapa membeli. Allahu ‘alam