RSS

Mother, how are you today...?

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masing terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas….
Ibu……..
Ibu……..
………….

Lirik potongan lagu Iwan Fals di atas cukup terkenal di era 80’an ketika saya masih belajar di sekolah menengah. Sekilas menyimak syair-syairnya bayangan kita akan menampilkan beratnya perjuangan seorang ibu untuk anaknya. Gambaran seorang perempuan kampung yang punggungnya memanggul sesuatu entah kayu bakar, padi hasil panen atau barang sejenisnya. Kakinya pun tanpa alas sehingga berdarah-darah karena harus menyusuri hutan, sawah ataupun ladang.

Fungsi seorang ibu memang terkesan lekat dengan penderitaan. Coba kita hitung beban derita secara fisik dan psikologis seorang ibu yang mengandung dan melahirkan. Selama hampir sepuluh bulan ia harus “mengantongi” anaknya yang semakin hari semakin besar dan berat. Hari-hari menjelang melahirkan merupakan hari-hari yang sangat melelahkan. Makan tidak nyaman, tidurpun tidak nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun di tengah malam

Proses melahirkan juga merupakan perjuangan antara hidup dan mati. Usai melahirkan, ia harus merasakan letihnya menyusui dan mengeloni bayinya sepanjang malam. Lalu ketika si bayi mulai beranjak menjadi anak-anak, si ibu harus pontang-panting menjaganya dari banyak mara bahaya di sekitarnya.

Masuk remaja si anak mulai merasa mandiri untuk kemudian tidak selalu taat kepada orang tuanya. Apalagi kalau diingatkan untuk hati-hati terhadap hal-hal yang bisa menganggu keberhasilannya di masa depan seperti pergaulan dan permainan. Kemudian si anakpun kuliah, bekerja dan menikah. Apakah derita si ibu sudah selesai? Belum sama sekali. Ketika anaknya yang sudah berkeluarga mempunyai masalah dan persoalan, ibupun masih harus berfikir tentang keharmonisan keluarga anaknya.

Belum lagi kalau anaknya mempunyai anak. Cucunya adalah permata hati berikutnya. Ia ikut panik ketika cucunya sakit bahkan lebih panik dari orang tua si anak sendiri. Begitulah derita ibu seakan tidak pernah berakhir.

Barangkali itu diantara faktor yang membuat para feminis ogah menjadi seorang ibu rumah tangga. Pekerjaan itu mereka anggap akan menjadi belenggu yang membatasi gerak hidup karena hanya berkutat di dalam rumah.

Maka muncul anggapan di masyarakat untuk menjadi seorang ibu rumah tangga tidak perlu pendidikan dan ketrampilan khusus. Toh pekerjaannya hanya memasak, mengurus anak dan rumah. Ia cukup memiliki bekal ketrampilan bersih-bersih, bisa memasak dan merawat anak. Apakah memang demikian?

Karier sebagai ibu rumah tangga menuntut pendiidkan yang sama atau malah lebih dibanding karir apapun di luar rumah. Karir mulia ini berkaitan dengan tugas merawat manusia, tua, muda, dan anak. Ini adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Demikan pendapat Al-Faruqi.

Rumah merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya dan ibu merupakan guru utamanya. Meskipun bukan jaminan, namun jika anak mendapatkan cukup perhatian, kasih sayang dan sentuhan tangan-tangan lembut ibunya di rumah, peluangnya untuk memiliki kepribadian yang baik sangat besar.

Karena itulah Islam sangat menganjurkan seorang ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun. Secara psikologi masa awal-awal kehidupan seorang anak adalah saat-saat pembentukan sel-sel otaknya. Dan ASI memiliki peran penting untuk itu.

Pemimpin kita Rasulullah saw ketika di tanya salah seorang sahabat tentang orang yang harus dihormati pertama kali beliau menjawab ibu. Jawaban itu beliau ulangi tiga kali, baru kemudian bapak. Tentu saja pernyataan itu menunjukkan betapa istimewanya fungsi dan kedudukan seorang ibu dalam konsepsi Islam.

Demikianlah Islam mengangkat derajat wanita sangat tinggi. Tidak ada peradaban sebelumnya yang lebih menghargai wanita lebih dari Islam. Peradaban Yunani dan Romawi yang digembar-gemborkan sebagai soko guru peradaban modern sangatlah memandang rendah wanita. Termasuk filsuf-filsuf mereka Plato dan Aristoteles yang menganggap wanita bukan manusia yang sempurna, bahkan lebih hina dari laki-laki.

Begitu pula ketika masa Jahiliyyah. Derajat kaum wanita tak ubahnya benda mati yang bisa diperlakukan apa saja. Tidak ada kehormatan, penghargaan ataupun persamaan hak bagi mereka.

Kemudian Islam datang meletakkan wanita setara dengan pria sebagai ciptaan Allah swt. Mereka mempunyai hak waris, jual beli, mahar, hak meminta cerai dan hak-hak istimewa lainnya yang pada masa-masa sebelumnya mustahil ada.

Sayangnya kekalahan peradaban Islam dari barat dewasa ini membuat rasa percaya diri kaum muslimah untuk menjadi sosok ibu menurun. Banyak dari muslimah ikut-ikutan gandrung dengan perjuangan persamaan gender, emansipasi wanita, dan tema-tema semacamnya. Maka berbondong-bondonglah para wanita keluar rumah meninggalkan buah hatinya mengejar sesuatu yang nyaris seperti fatamorgana; karir. Kewajibannya sebagai ratu di istananya ia tinggalkan.

Islam tidak melarang para wanita mempunyai peran dan kesempatan mengaktualisasikan dirinya karena memiliki potensi serta kelebihan. Bukankah sejak zaman Rasulullah saw dan para sahabat para sahabat wanita atau sohabiyyah juga punya andil dalam mendirikan dan menjaga keberlangsungan peradaban Islam di Madinah?

Namun itu bukan kewajiban utama. Fungsi paling penting bagi seorang wanita adalah menjadi isteri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya. Ada tugas mulia menunggu di rumah; menyiapkan generasi-generasi pelanjut risalah tegaknya kalimatullah di muka bumi.

Keberhasilan generasi-generasi Islam tak lepas dari kehebatan ibu-ibu mereka. Kita tentu tidak lupa dengan al-khansa yang bangga kehilangan empat orang puteranya menjadi syuhada dalam perang Qadisiyah. Atau juga kehebatan Asma binti Abu Bakar meneguhkan jiwa puteranya Abdullah bin Zubari menghadapi al-Hajjaj.

Maka sesungguhnya menjadi seorang ibu adalah menjadi matahari bagi dunia. Merekalah insinyur-insinyur penentu tinggi rendahnya kualitas manusia. Karenanya ditanganyalah maju mundurnya peradaban satu kaum dipertaruhkan. happy mom's day. Allahu ‘alam

| edit post

0 Responses to "Mother, how are you today...?"

Posting Komentar