Bismillahirrahmanirrahim
Diantara pilihan siswa sebagai relaksasi ketika libur sekolah adalah bermain game, rental maupun di rumah sendiri. Bahkan bisa jadi itu pilihan mayoritas remaja untuk menghabiskan waktu liburnya.
Coba silahkan cek persewaan-persewaan PS atau internet pasti fullbooked anak-anak usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Tidak hanya ketika pagi, siang atau sore hari, malam bahkan tengah malampun mereka masih asyik “silaturahim” ke tempat-tempat seperti itu.
Entah bagaimana rasanya orang tua yang mempunyai anak-anak seperti itu. Bisa juga karena sudah mewabah sehingga perbuatan seperti itupun di anggap trend dan sebuah kewajaran sehingga tindakan sebagian orang tuapun membiarkannya. Toh mereka tidak berbuat kejahatan, mungkin begitu prinsip mereka.
Game merupakan salah satu “anak kandung” tehnologi yang menimbulkan sikap dilematis. Tentu saja pada masa sekarang melarang peredaran game adalah sesuatu yang sangat sulit. Hal yang bisa dilakukan tentu saja membatasi dan memilihkan game yang sehat bagi anak-anak. Walaupun kenyataannya memang sulit untuk dilakukan.
Beberapa game memang membuat sebagian anak terasah kecekatan dan kecerdasannya. Sayangnya yang beberapa itu tidak banyak. Sebagian besar game hanya memunculkan virus kecanduan dan menomor sekiankan kegiatan yang lain. Kegiatan yang masuk dalam kegiatan di kalahkan adalah utamanya berkaitan dengan belajar. Terlebih dalam kultur sebagian masyarakat kita, belajar di luar kelas merupakan sesuatu yang sangat susah.
“lho main game juga kan belajar, ntar kalu sudah pintar bisa buat program, dijual berarti kan bisa mencari uang sendiri”. Kalau ada yang mempunyai fikiran begitu, berapa orang?
“main game membantu melatih otak saya berkonsetransi padahal sebelumnya susah kalau diajak konsentrasi”. Konsentrasi main game? Yups jelas, bisa konsentrasi untuk yang lain, belajar umpamanya?
Dan game merupakan satu dari beberapa efek tehnologi yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana. Relatif bebasnya akses situs-situs porno juga merupakan problem yang sangat berbahaya. Usaha untuk memeranginya masih memerlukan energi dan kekuatan yang sangat besar. Belum lagi sisi negatif media massa elektronik ketika berada di tangan para pemilik modal dengan mindset “hedonis” dan “kapitalis”.
Pada sisi itu sesungguhnya tehnologi menjadi “godaan” bagi tumbuh suburnya karakter-karakter pembangun masyarakat yang elegan dan mampu mecerdaskan lingungannya. Di tengah manfaat besar tehnologi dalam lingkup kehidupan kita untuk mempermudah, mempercepat dan menghibur kita, maka sesungguhnya ada tanggung jawab besar untuk mengontrol dan “menjinakkanya”. Ternyata adigum lama “the man behind the gun” tetap berlaku dan menjadi patokannya.
Diantara pilihan siswa sebagai relaksasi ketika libur sekolah adalah bermain game, rental maupun di rumah sendiri. Bahkan bisa jadi itu pilihan mayoritas remaja untuk menghabiskan waktu liburnya.
Coba silahkan cek persewaan-persewaan PS atau internet pasti fullbooked anak-anak usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Tidak hanya ketika pagi, siang atau sore hari, malam bahkan tengah malampun mereka masih asyik “silaturahim” ke tempat-tempat seperti itu.
Entah bagaimana rasanya orang tua yang mempunyai anak-anak seperti itu. Bisa juga karena sudah mewabah sehingga perbuatan seperti itupun di anggap trend dan sebuah kewajaran sehingga tindakan sebagian orang tuapun membiarkannya. Toh mereka tidak berbuat kejahatan, mungkin begitu prinsip mereka.
Game merupakan salah satu “anak kandung” tehnologi yang menimbulkan sikap dilematis. Tentu saja pada masa sekarang melarang peredaran game adalah sesuatu yang sangat sulit. Hal yang bisa dilakukan tentu saja membatasi dan memilihkan game yang sehat bagi anak-anak. Walaupun kenyataannya memang sulit untuk dilakukan.
Beberapa game memang membuat sebagian anak terasah kecekatan dan kecerdasannya. Sayangnya yang beberapa itu tidak banyak. Sebagian besar game hanya memunculkan virus kecanduan dan menomor sekiankan kegiatan yang lain. Kegiatan yang masuk dalam kegiatan di kalahkan adalah utamanya berkaitan dengan belajar. Terlebih dalam kultur sebagian masyarakat kita, belajar di luar kelas merupakan sesuatu yang sangat susah.
“lho main game juga kan belajar, ntar kalu sudah pintar bisa buat program, dijual berarti kan bisa mencari uang sendiri”. Kalau ada yang mempunyai fikiran begitu, berapa orang?
“main game membantu melatih otak saya berkonsetransi padahal sebelumnya susah kalau diajak konsentrasi”. Konsentrasi main game? Yups jelas, bisa konsentrasi untuk yang lain, belajar umpamanya?
Dan game merupakan satu dari beberapa efek tehnologi yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana. Relatif bebasnya akses situs-situs porno juga merupakan problem yang sangat berbahaya. Usaha untuk memeranginya masih memerlukan energi dan kekuatan yang sangat besar. Belum lagi sisi negatif media massa elektronik ketika berada di tangan para pemilik modal dengan mindset “hedonis” dan “kapitalis”.
Pada sisi itu sesungguhnya tehnologi menjadi “godaan” bagi tumbuh suburnya karakter-karakter pembangun masyarakat yang elegan dan mampu mecerdaskan lingungannya. Di tengah manfaat besar tehnologi dalam lingkup kehidupan kita untuk mempermudah, mempercepat dan menghibur kita, maka sesungguhnya ada tanggung jawab besar untuk mengontrol dan “menjinakkanya”. Ternyata adigum lama “the man behind the gun” tetap berlaku dan menjadi patokannya.