Bismillahirrahmanirrahim
Pernahkah diri kita berbuat kesalahan kepada orang lain, sengaja maupun tidak? Jawabanya tentu saja pernah. Sebagai manusia kita pasti pernah melakukan hal tersebut sebagaimana juga kita pernah disalahi orang lain dengan sengaja maupun tidak.
Interaksi dalam kehidupan sosial manusia membuat kedua kondisi di atas menjadi lumrah dan sangat wajar terjadi serta menimpa seseorang. Bedanya barangkali terletak dalam penyikapan atas efek yang muncul selanjutanya.
Lumrahnya adalah proses perselisihan yang terjadi antar individu satu dengan individu lainnya tidak membutuhkan waktu relatif lama untuk menyelesaikannya. Setiap masalah pasti ada jalan keluar, setiap kepentingan pasti akan bisa dipertemukan dengan kepentingan lainnya. Terlebih lagi merupakan sebuah kerugian waktu dan tenaga kalau kemudian seseorang memelihara permasalahannya dengan orang lain selama problem yang terjadi masih dalam koridor muamalah.
Dan diantara kata kunci untuk menutup semua permasalahan hati dengan orang lain adalah memaafkan. Seberapa besar seseorang mempunyai keberanian dan kemauan untuk menerima kesalahan orang lain lalu ia maafkan merupakan pintu menyelesaikan kendala interaksi antar sesama manusia.
Berani memaafkan berarti ia memiliki jiwa besar untuk secara utuh menerima orang lain apa adanya. Karena pada hakekatnya tidak ada seorang manusiapun yang selamanya baik dalam pandangan orang lain. Tentu saja ia memiliki karakter, sifat ataupun kebiasaan yang bagi orang lain menganggu sehingga dengan sadar atau tidak terjadi persingungan.
Disamping jiwa besar, seseorang juga perlu memiliki jiwa penuh kesabaran untuk bisa memaafkan orang lain. Kesabaran ini penting sehingga tidak melahirkan dendam berkepanjangan. Jiwa yang sabar akan menyadari konsekuensi hidup bersosial dengan orang banyak sehingga menerima konsekuensinya.
Kalau kita membaca kisah-kisah perjalanan Rasulullah saw dalam mendakwahkan dinnul Islam, tidak sedikit kita menemukan efek positif dari rasa maaf beliau yang sangat tinggi. Banyak musuh-musuh dakwah yang semula menganggu dan mencemooh perjuangan beliau berubah menjadi pengikut setia.
Dalam peristiwa perjalanan hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah kita menemukan tokoh bernama Suraqah bin Malik. Ia adalah seorang pembunuh bayaran yang tertarik hadiahorang-orang quraisy berupa 1000 ekor onta jika berhasil menangkap Rasulullah saw.
Karena kelebihannya dalam mencari jejak, meskipun Rasulullah saw dan Abu Bakar berusaha mengelabui para pengejarnya, Suraqah masih dapat mengikuti rute perjalanan mereka dan mengejarnya. Bahkan jarak antara Suraqah dengan Rasulullah saw ketika sudah tinggal beberapa langkah kaki kuda saja.
Ketika itu kemudian Allah swt menengelamkan kaki kuda Suraqah ke dalam pasir. Awalnya ia masih mencoba mengejar Rasulullah saw kembali, namun lagi-lagi kaki kudanya terperosok ke dalam pasir. Barulah setelah tiga kali upayanya menemui kegagalan, ia menyerah dan berteriak-teriak mengiba meminta maaf serta ampun kepada Rasulullah saw.
Mengetahui pemburunya sudah putus asa, Rasulullah saw kemudian mendatangi Suraqah dan memaafkannya. Melihat ketinggian akhlaq Rasulullah saw Suraqah menjadi malu dan menawarkan bekalnya. Namun Rasulullah saw menolaknya. Beliau hanya berpesan kepada Suraqah untuk tidak mengatakan pertemuan mereka saat itu.
Suraqah menepati janji tersebut. Setiap bertemu orang-orang yang memburu Rasulullah saw, ia selalu menyuruh mereka kembali karena buruannya tidak ada dan sudah pergi terlalu jauh. Orang-orang itu mempercayainya karena mereka mengetahui kehebatan seorang Suraqah dalam berburu. Ia saja gagal apalagi mereka mungkin begitu pikiran mereka ketika itu.
Sejarah kemudian mencatat Suraqah menjadi seorang muslim yang baik. Ia juga mempunyai umur panjang sehinga termasuk mujahid yang membebaskan Madain, pusat kerajaan Persia pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab.
Namun demikian untuk memiliki kemampuan memaafkan kesalahan orang lain membutuhkan perjuangan sangat berat. Tidak setiap jiwa manusia kemudian memiliki kerelaan yang tinggi untuk menerima pernyataan maaf dari orang lain.
Halangan terbedar untuk memberi maaf kepada orang lain adalah ego yang kita miliki. Perasaan lebih dari orang lain, selalu merasa lebih benar, tinggi hati dan penyakit hati yang sejenis menjadi ganjalan seseorang untuk menjadikan sifat pemaaf sebagai karakter dalam dirinya. Apalagi kalau kemudian dirinya dalam posisi benar dan berkuasa, wah..... tambah berat perjuangan dirinya untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Butuh proses belajar untuk berada pada posisi hati gemar memaafkan kesalahan orang lain. Karenanya selalu selipkan permohanan kepada Allah swt dalam doa kita agar Dia memberikan rasa maaf yang tidak terbatas dalam diri kita. Amiiin.
”Maaf mas, kakinya yang kanan saya injak”. Kata seorang penumpang bis ekonomi yang sangat padat sekali pada suatu siang yang sangat terik sekali.
”oh..... nggak papa kok. Kalau mau nginjak yang satunya juga boleh. Nih.... silahkan.” jawab penumpang yang terinjak kakinya sambil tersenyum dan menjulurkan kakinya sebelah kiri.
Pernahkah diri kita berbuat kesalahan kepada orang lain, sengaja maupun tidak? Jawabanya tentu saja pernah. Sebagai manusia kita pasti pernah melakukan hal tersebut sebagaimana juga kita pernah disalahi orang lain dengan sengaja maupun tidak.
Interaksi dalam kehidupan sosial manusia membuat kedua kondisi di atas menjadi lumrah dan sangat wajar terjadi serta menimpa seseorang. Bedanya barangkali terletak dalam penyikapan atas efek yang muncul selanjutanya.
Lumrahnya adalah proses perselisihan yang terjadi antar individu satu dengan individu lainnya tidak membutuhkan waktu relatif lama untuk menyelesaikannya. Setiap masalah pasti ada jalan keluar, setiap kepentingan pasti akan bisa dipertemukan dengan kepentingan lainnya. Terlebih lagi merupakan sebuah kerugian waktu dan tenaga kalau kemudian seseorang memelihara permasalahannya dengan orang lain selama problem yang terjadi masih dalam koridor muamalah.
Dan diantara kata kunci untuk menutup semua permasalahan hati dengan orang lain adalah memaafkan. Seberapa besar seseorang mempunyai keberanian dan kemauan untuk menerima kesalahan orang lain lalu ia maafkan merupakan pintu menyelesaikan kendala interaksi antar sesama manusia.
Berani memaafkan berarti ia memiliki jiwa besar untuk secara utuh menerima orang lain apa adanya. Karena pada hakekatnya tidak ada seorang manusiapun yang selamanya baik dalam pandangan orang lain. Tentu saja ia memiliki karakter, sifat ataupun kebiasaan yang bagi orang lain menganggu sehingga dengan sadar atau tidak terjadi persingungan.
Disamping jiwa besar, seseorang juga perlu memiliki jiwa penuh kesabaran untuk bisa memaafkan orang lain. Kesabaran ini penting sehingga tidak melahirkan dendam berkepanjangan. Jiwa yang sabar akan menyadari konsekuensi hidup bersosial dengan orang banyak sehingga menerima konsekuensinya.
Kalau kita membaca kisah-kisah perjalanan Rasulullah saw dalam mendakwahkan dinnul Islam, tidak sedikit kita menemukan efek positif dari rasa maaf beliau yang sangat tinggi. Banyak musuh-musuh dakwah yang semula menganggu dan mencemooh perjuangan beliau berubah menjadi pengikut setia.
Dalam peristiwa perjalanan hijrah Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah kita menemukan tokoh bernama Suraqah bin Malik. Ia adalah seorang pembunuh bayaran yang tertarik hadiahorang-orang quraisy berupa 1000 ekor onta jika berhasil menangkap Rasulullah saw.
Karena kelebihannya dalam mencari jejak, meskipun Rasulullah saw dan Abu Bakar berusaha mengelabui para pengejarnya, Suraqah masih dapat mengikuti rute perjalanan mereka dan mengejarnya. Bahkan jarak antara Suraqah dengan Rasulullah saw ketika sudah tinggal beberapa langkah kaki kuda saja.
Ketika itu kemudian Allah swt menengelamkan kaki kuda Suraqah ke dalam pasir. Awalnya ia masih mencoba mengejar Rasulullah saw kembali, namun lagi-lagi kaki kudanya terperosok ke dalam pasir. Barulah setelah tiga kali upayanya menemui kegagalan, ia menyerah dan berteriak-teriak mengiba meminta maaf serta ampun kepada Rasulullah saw.
Mengetahui pemburunya sudah putus asa, Rasulullah saw kemudian mendatangi Suraqah dan memaafkannya. Melihat ketinggian akhlaq Rasulullah saw Suraqah menjadi malu dan menawarkan bekalnya. Namun Rasulullah saw menolaknya. Beliau hanya berpesan kepada Suraqah untuk tidak mengatakan pertemuan mereka saat itu.
Suraqah menepati janji tersebut. Setiap bertemu orang-orang yang memburu Rasulullah saw, ia selalu menyuruh mereka kembali karena buruannya tidak ada dan sudah pergi terlalu jauh. Orang-orang itu mempercayainya karena mereka mengetahui kehebatan seorang Suraqah dalam berburu. Ia saja gagal apalagi mereka mungkin begitu pikiran mereka ketika itu.
Sejarah kemudian mencatat Suraqah menjadi seorang muslim yang baik. Ia juga mempunyai umur panjang sehinga termasuk mujahid yang membebaskan Madain, pusat kerajaan Persia pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab.
Namun demikian untuk memiliki kemampuan memaafkan kesalahan orang lain membutuhkan perjuangan sangat berat. Tidak setiap jiwa manusia kemudian memiliki kerelaan yang tinggi untuk menerima pernyataan maaf dari orang lain.
Halangan terbedar untuk memberi maaf kepada orang lain adalah ego yang kita miliki. Perasaan lebih dari orang lain, selalu merasa lebih benar, tinggi hati dan penyakit hati yang sejenis menjadi ganjalan seseorang untuk menjadikan sifat pemaaf sebagai karakter dalam dirinya. Apalagi kalau kemudian dirinya dalam posisi benar dan berkuasa, wah..... tambah berat perjuangan dirinya untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain.
Butuh proses belajar untuk berada pada posisi hati gemar memaafkan kesalahan orang lain. Karenanya selalu selipkan permohanan kepada Allah swt dalam doa kita agar Dia memberikan rasa maaf yang tidak terbatas dalam diri kita. Amiiin.
”Maaf mas, kakinya yang kanan saya injak”. Kata seorang penumpang bis ekonomi yang sangat padat sekali pada suatu siang yang sangat terik sekali.
”oh..... nggak papa kok. Kalau mau nginjak yang satunya juga boleh. Nih.... silahkan.” jawab penumpang yang terinjak kakinya sambil tersenyum dan menjulurkan kakinya sebelah kiri.