RSS

ketika terorisme sebagai komoditas

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Berutunglah para politisi dan tentu saja Polri dengan adanya sejumlah orang yang dianggap sebagai teroris di negeri ini. Betapa tidak, setiap kali terjadi permasalahan di tingkat elit negeri ini baik pemerintahan maupun kepolisian peristiwa terorisme selalu menjadi sosok yang tampil menjadi pahlawan untuk menyelamatkan wajah mereka dari sorotan negatif public.

Kita tentu saja ingat menjelang akhir 2009 yakni sekitar bulan September, saat kepolisian sedang gencar-gencarnya di serang oleh masyarakat dengan perseteruan cicak versus buaya dalam kasus Bibit-Chandra, tampil Noordin M Top sebagai pahlawan meski harus kehilangan nyawanya. Wajah kepolisian yang semula diidentikkan dengan profil Anggodo mulai mendapatkan simpati kembali dari masyarakat.

Begitu pula munculnya sosok Dulmatin yang santer dicap sebagai salah satu gembong teroris di Asia Tenggara juga bersamaan dengan sedang giat-giatnya anggota DPR menggelar Pansus Century. Publikpun sebagian berpaling dari mempelototi hasil kerja dan rekomendasi Pansus ini dan mulai lupa dengan temuan-temuan yang mencurigakan tentang kemungkinan adanya keterkaitan tokoh-tokoh penting pemerintahan saat ini dalam kasus Century.

Peristiwa lebih lanjut, “teroris” kembali menjadi angin segar bagi pihak kepolisian setelah sebelumnya kepolisian sumpek dengan dugaan keterlibatan sejumlah perwiranya dalam kasus mafia Gayus Tambunan. Dalam kasus terakhir, sorotan masyarakat atas konflik internal di lingkungan Polri yang melibatkan sejumlah perwira tinggi tereduksi dengan berita penangkapan para teroris di Cikampek, Cawang dan juga Sukoharjo, Jawa Tengah. Penangkapan dan pembunuhan teroris itu bersamaan dengan semakin memanasnya kasus mantan Kabareskrim Susno Duaji. Semakin lama kasus Susno semakin terbuka borok-borok para penegak hukuk kita.

Wajar kalau kemudian masyarakat luas mencurigai bahwa aksi terorisme yang muncul di negara ini merupakan by design. Kemunculan para teroris seakan menjadi sarana untuk mengalihkan masyarakat dari isu yang sedang berkembang dan menyerang para pejabat di lingkar kekuasaan. Setiap kasus besar di tingkat elit memanas dan mulai transparan di mata publik, muncul pertempuran seru antara aparat anti teror dengan para teroris bak di film-film laga Hollywood.

Dalam lingkup global, keberhasilan pemerintah menindak para teroris bahkan sebelum mereka beraksi menujukkan kepada dunia internasional betapa negara ini serius dalam memerangi terorisme yang menjadi momok menakutkan bagi banyak negara di dunia. Maka citra para pemimpin Indonesia dengan sendirinya akan tergerek naik di percaturan dunia, setidaknya applaus sebagaimana yang diperoleh presiden SBY ketika mengumumkan keberhasilan Polri menembak Dulmatin di depan parlemen Australia beberapa waktu yang lalu.

Disamping berharap mendapat citra positif di atas, keberhasilan penangkapan teroris ini juga membuka peluang untuk mendapatkan bantuan dana dari luar negeri. Kerja keras aparat Indonesia untuk membekuk dan menumpas “para teroris” tentu saja membutuhkan nutrisi. Termasuk reward atas prestasi mereka membunuh sesama anak bangsa sendiri. Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar - atau mungkin seluruhnya – biaya operasional Densus 88 beserta seluruh aparat anti teror negeri ini berasal dari luar negeri. Mungkin semakin banyak nyawa teroris yang berhasil dihilangkan berarti semakin banyak gemerincingan dolar yang mengalir masuk ke kas lembaga-lembaga anti teror di Indonesia.

Sayang memang kalau peluru yang dimuntahkan aparat negeri ini hanya diarahkan kepada para teroris yang belum pasti tingkat kesalahan dan keterlibatannya dalam sebuah gerakan terror. Padahal, masih lebih banyak para teroris yang telah nyata-nyata menyengsarakan rakyat dan bangsa ini yang masih bebas berkeliaran, sementara mereka lebih layak untuk mendapatkan hukuman mati atas kejahatannya. Para koruptor hitam, pengemplang pajak, makelar kasus, pelaku illegal logging, aktifis pornografi dan pornoaksi lebih pantas untuk mati karena tingkat kerusakan akibat aksi-aksi teror mereka jauh lebih tinggi dan menyengsarakan masyarakat banyak disbanding para tersangka teroris teroris.

Namun slogan keadilan bagi semua ternyata masih sekedar angan-angan yang masih mengawang di langit, belum membumi di nusantara ini. Siapa yang berkuasa dan mempunyai uang banyak masih lebih berkuasa menentukan hasil sebuah persidangan dibanding para penegak keadilan beserta lembaga-lembaga peradilan itu sendiri. Selama tidak ada perubahan system berbangsa dan bernegara sesuai syariat Allah swt, nampaknya kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat masih sebatas cita-cita semata. ‘Allahu ‘alam.


| edit post

0 Responses to "ketika terorisme sebagai komoditas"

Posting Komentar