Bismillahirrahmanirrahim
"kapan mudik?" "tanggal berapa mudik?" "mudik pake apa?"
Bagi orang perantauan seperti saya dan setipe, pertanyaan diatas sudah banyak dilontarkan teman sejak ramadhan masuk angka dua puluhan. Tentu saja tidak boleh bosan menjawabnya, walaupun yang bertanya sampai puluhan orang secara bergantian. Belum lagi keluarga di kampuang yang juga pingin tahu kapan mudiknya. Pastilah lebih banyak mengulang jawaban yang sama.
Sulit membayangkan lebaran di Indonesia tanpa istilah mudik. Pastilah tidak seru alias hampar. Hanya libur dua hari pas tanggal merahnya. Tidak ada keramaian dan keriuhan seperti ketika mudik menjadi fenomena massal di negeri ini. Pusat perbelanjaan tradisional dan modern penuh sesak. Agen kendaraan umum panen keuntungan. Terminal, stasiun, bandara dan pelabuhan penuh sesak dengan manusia. Belum lagi kesemerawutan jalan raya di hampir seluruh jalan yang menghubungkan kota-kota besar menuju kota-kota kecil maupun daerah pinggiran.
Lalu mengapa orang harus rela pulang kampung ketika lebaran meski harus berdesak-desakan dan mengeluarkan ongkos lebih banyak dari biasanya untuk transportasi? bukankah bisa salaturahim mengunjungi orang tua dan kerabat di tempat asal pada waktu-waktu lainnya yang lebih longgar dan lebih murah biayanya?
Beragam jawabannya. Belum lagi kalau mendengar ulasan dari para pengamat dan analis dengan tinjauan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda-beda; sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya. Di tambah komentar para pejabat pemerintah sejak pusat sampai daerah. Semakin banyak kemungkinan orang tetap ngotot untuk mudik. Maklum saja jutaan kepala orang yang mudik tentu saja ada jutaan alasan yang mungkin mereka miliki.
Namun satu yang pasti adalah adanya rasa cinta dalam diri para pemudik. Cinta kepada orang tua, cinta kepada kerabat handai taulan di kampung dan pada teman-teman ketika masih kecil. Motivasi itu saya pikir yang paling besar dari dorongan-dorongan lainnya dari para pemudik.
Bukankah kalau sudah cinta halangan besar menjadi terasa kecil? jarak yang jauh nampak dekat saja? Memang dengan cinta mudik sungguh terasa nikmat! amiinn.
"kapan mudik?" "tanggal berapa mudik?" "mudik pake apa?"
Bagi orang perantauan seperti saya dan setipe, pertanyaan diatas sudah banyak dilontarkan teman sejak ramadhan masuk angka dua puluhan. Tentu saja tidak boleh bosan menjawabnya, walaupun yang bertanya sampai puluhan orang secara bergantian. Belum lagi keluarga di kampuang yang juga pingin tahu kapan mudiknya. Pastilah lebih banyak mengulang jawaban yang sama.
Sulit membayangkan lebaran di Indonesia tanpa istilah mudik. Pastilah tidak seru alias hampar. Hanya libur dua hari pas tanggal merahnya. Tidak ada keramaian dan keriuhan seperti ketika mudik menjadi fenomena massal di negeri ini. Pusat perbelanjaan tradisional dan modern penuh sesak. Agen kendaraan umum panen keuntungan. Terminal, stasiun, bandara dan pelabuhan penuh sesak dengan manusia. Belum lagi kesemerawutan jalan raya di hampir seluruh jalan yang menghubungkan kota-kota besar menuju kota-kota kecil maupun daerah pinggiran.
Lalu mengapa orang harus rela pulang kampung ketika lebaran meski harus berdesak-desakan dan mengeluarkan ongkos lebih banyak dari biasanya untuk transportasi? bukankah bisa salaturahim mengunjungi orang tua dan kerabat di tempat asal pada waktu-waktu lainnya yang lebih longgar dan lebih murah biayanya?
Beragam jawabannya. Belum lagi kalau mendengar ulasan dari para pengamat dan analis dengan tinjauan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda-beda; sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya. Di tambah komentar para pejabat pemerintah sejak pusat sampai daerah. Semakin banyak kemungkinan orang tetap ngotot untuk mudik. Maklum saja jutaan kepala orang yang mudik tentu saja ada jutaan alasan yang mungkin mereka miliki.
Namun satu yang pasti adalah adanya rasa cinta dalam diri para pemudik. Cinta kepada orang tua, cinta kepada kerabat handai taulan di kampung dan pada teman-teman ketika masih kecil. Motivasi itu saya pikir yang paling besar dari dorongan-dorongan lainnya dari para pemudik.
Bukankah kalau sudah cinta halangan besar menjadi terasa kecil? jarak yang jauh nampak dekat saja? Memang dengan cinta mudik sungguh terasa nikmat! amiinn.