Bismillahirrahmanirrahim
Selain Rasulullah saw, dari sekian banyak sahabat beliau ada beberapa orang yang mempunyai kesan mendalam terhadap diri saya. Tentu saja tidak lepas dari dua hal utama; kekuatan karakternya dan sumbangsihnya terhadap Islam.
Tidak bisa dipungkiri Rasulullah saw adalah guru terbaik manusia. Kemampuan beliau menyelami satu persatu karakter manusia di sekelilingnya menjadi satu point penting. Tidak hanya mengenali, beliau kemudian berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang ada tersebut menjadi kekuatan dahsyat untuk menerangi kegelapan dunia ketika itu dengan cahaya-cahaya tauhid. Hasilnya adalah tujuh abad lamanya manusia benar-benar menjadi manusia. Manusia yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan mengetahui fungsi keberadaannya di dunia.
Bagi saya mereka adalah para lelaki sejati. Meski tidak mungkin bisa mencapai kualitas seperti manusia agung yang menjadi pemimpinnya, setidaknya kisah hidup mereka adalah coretan emas tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki hidup, berkarnya dan menghabiskan umurnya.
Kehidupan bagi seorang muslim bukanlah kehidupan kosong penuh canda, tawa, pesta dan kesenangan jasmani serta kepuasan akal. Islam mengajari mereka arti lebih dari konsep kehidupan. Hidup adalah berbakti kepada yang memberi hidup itu sendiri. Maka prinsip mereka adalah sesungguhnya hidup adalah keyakinan dan bagaimana memperjuangkan keyakinan tersebut.
Kesadaran itulah yang mengantarkan mereka rela memisahkan diri dari keluarganya meski harus hidup penuh kekurangan. Mereka tidak menyesal meninggalkan tanah airnya untuk sebuah tujuan mulia membangun markas perjuangan baru.
Tidak sekedar harta benda yang mereka korbankan. Cucuran keringat, tumpahan darah bahkan juga terbangnya nyawa dari raga siap mereka lakukan. Asalkan gema nama Dzat Yang Esa itu tetap bergema di seantero muka bumi. Asalkan pembawa risalah itu tetap hidup untuk melanjutkan tugasnya. Begitulah prinsip yang senantiasa terngiang-ngiang dalam gendang telinga serta nurani mereka. Bukalah buku-buku peradaban masyarakat yang lain, bisakan kita temukan kualitas pengorbanan seperti mereka dalam takaran mayoritas?
Dimana ada manusia rela mengorbankan seluruh hartanya untuk “bahan bakar” perjuangan keyakinannya meski tidak menyisakan sepeserpun untuk keluarganya? Bagaimana juga dengan sekelompok orang yang sedang luka parah saling mempersilahkan temannya untuk minum jatah airnya ketika ia sendiri sedang berada di ujung kematian? Dan itu tidak dua orang, tapi beberapa orang sehingga semua akhirnya tersenyum di ujung terakhir tarikan nafasnya. “Aku telah bertemu ainul mardiyah” demikian teriak mereka.
Namun mereka tetaplah manusia. Membayangkan mereka tidak mempunyai kesalahan ataupun kekhilafan tentunya suatu kemustahilan. Mereka manusia, bukan malaikat yang berjalan di atas permukaan bumi. Dan selain malaikat serta para utusan, tidak ada manusia yang "terjaga" (ma'sum). Bukankah manusia adalah tempatnya salah dan lupa?
Apalah artinya kerja kita jika dibandingkan mereka. Tidak pantas rasanya membandingkan pengorbanan mereka dengan segala hal yang telah kita berikan pada dien ini hari ini. "Jangan kalian mencaci maki/menghina para shahabatku, karena seandainya salah seorang diantara kalian berinfaq emas sebanyak gunung Uhud tak akan dapat menyamai derajat salah seorang diantara mereka, bahkan separuhnyapun tidak walaupun mereka hanya berinfaq satu mud". Begitulah wanti-wanti penghulu utusan tauhid kepada para pengikutnya.
Selain Rasulullah saw, dari sekian banyak sahabat beliau ada beberapa orang yang mempunyai kesan mendalam terhadap diri saya. Tentu saja tidak lepas dari dua hal utama; kekuatan karakternya dan sumbangsihnya terhadap Islam.
Tidak bisa dipungkiri Rasulullah saw adalah guru terbaik manusia. Kemampuan beliau menyelami satu persatu karakter manusia di sekelilingnya menjadi satu point penting. Tidak hanya mengenali, beliau kemudian berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang ada tersebut menjadi kekuatan dahsyat untuk menerangi kegelapan dunia ketika itu dengan cahaya-cahaya tauhid. Hasilnya adalah tujuh abad lamanya manusia benar-benar menjadi manusia. Manusia yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan mengetahui fungsi keberadaannya di dunia.
Bagi saya mereka adalah para lelaki sejati. Meski tidak mungkin bisa mencapai kualitas seperti manusia agung yang menjadi pemimpinnya, setidaknya kisah hidup mereka adalah coretan emas tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki hidup, berkarnya dan menghabiskan umurnya.
Kehidupan bagi seorang muslim bukanlah kehidupan kosong penuh canda, tawa, pesta dan kesenangan jasmani serta kepuasan akal. Islam mengajari mereka arti lebih dari konsep kehidupan. Hidup adalah berbakti kepada yang memberi hidup itu sendiri. Maka prinsip mereka adalah sesungguhnya hidup adalah keyakinan dan bagaimana memperjuangkan keyakinan tersebut.
Kesadaran itulah yang mengantarkan mereka rela memisahkan diri dari keluarganya meski harus hidup penuh kekurangan. Mereka tidak menyesal meninggalkan tanah airnya untuk sebuah tujuan mulia membangun markas perjuangan baru.
Tidak sekedar harta benda yang mereka korbankan. Cucuran keringat, tumpahan darah bahkan juga terbangnya nyawa dari raga siap mereka lakukan. Asalkan gema nama Dzat Yang Esa itu tetap bergema di seantero muka bumi. Asalkan pembawa risalah itu tetap hidup untuk melanjutkan tugasnya. Begitulah prinsip yang senantiasa terngiang-ngiang dalam gendang telinga serta nurani mereka. Bukalah buku-buku peradaban masyarakat yang lain, bisakan kita temukan kualitas pengorbanan seperti mereka dalam takaran mayoritas?
Dimana ada manusia rela mengorbankan seluruh hartanya untuk “bahan bakar” perjuangan keyakinannya meski tidak menyisakan sepeserpun untuk keluarganya? Bagaimana juga dengan sekelompok orang yang sedang luka parah saling mempersilahkan temannya untuk minum jatah airnya ketika ia sendiri sedang berada di ujung kematian? Dan itu tidak dua orang, tapi beberapa orang sehingga semua akhirnya tersenyum di ujung terakhir tarikan nafasnya. “Aku telah bertemu ainul mardiyah” demikian teriak mereka.
Namun mereka tetaplah manusia. Membayangkan mereka tidak mempunyai kesalahan ataupun kekhilafan tentunya suatu kemustahilan. Mereka manusia, bukan malaikat yang berjalan di atas permukaan bumi. Dan selain malaikat serta para utusan, tidak ada manusia yang "terjaga" (ma'sum). Bukankah manusia adalah tempatnya salah dan lupa?
Apalah artinya kerja kita jika dibandingkan mereka. Tidak pantas rasanya membandingkan pengorbanan mereka dengan segala hal yang telah kita berikan pada dien ini hari ini. "Jangan kalian mencaci maki/menghina para shahabatku, karena seandainya salah seorang diantara kalian berinfaq emas sebanyak gunung Uhud tak akan dapat menyamai derajat salah seorang diantara mereka, bahkan separuhnyapun tidak walaupun mereka hanya berinfaq satu mud". Begitulah wanti-wanti penghulu utusan tauhid kepada para pengikutnya.