Bismillahirrahmanirrahim
Tidak ada obsesi lebih tinggi bagi seorang muslim kecuali berusaha menjadikan dirinya, lingkungannya dan masyarakatnya seperti kondisi pada masa kehidupan Rasulullah saw beserta para sahabat. Itu adalah idealisme tertinggi yang ingin di raih, mengulang masa terbaik dari umat Islam semenjak kemunculannya sampai hari akhir kelak.
Semangat itu yang senantiasa bersemayam di dalam relung hati pribadi-pribadi muslim yang baik. Mereka tidak kemudian larut dalam kekaguman berlebihan dengan peradaban barat yang saat ini menjulang tinggi menjadi barometer kehidupan manusia modern. Mereka menyadari meskipun kelihatan perkasa namun sesungguhnya bangunan peradaban barat itu rapuh secara spiritual dan moral.
Peradaban barat yang merupakan kelanjutan peradaban Yunani dan Romawi memang bernafaskan materialisme sehingga kering dari aspek-aspek spiritualitas. Semakin maju mereka akan merasa semakin kering dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Karenanya wajar kalau kemudian kasus kejahatan dan kebobrokan moral berjalan seiring dengan kemajuan peradaban mereka.
Lalu apa rahasia yang membuat kondisi masyarakat pada saat Rasulullah saw dan para sahabat hidup menjadi begitu istimewa dan menjadi matsaul ‘ala bagi kaum muslimin?
Rahasia itu ada pada al-Qur’an. Tidak ada lainnya. Kesungguhan mereka melaksanakan al-Qur’an membuat generasi mereka berbeda dengan generasi manapun sesudahnya. Mereka adalah generasi Qur’ani yaitu sekumpulan manusia yang benar-benar menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman, panduan dan barometer dalam kehidupan.
Sayyid Qutb dalam bukunya petunjuk jalan (ma’alim fit thoriq) menyebut mereka sebagai generasi Qur’ani yang unik. Beliau memberi tiga ciri bagi generasi Rasulullah saw dan para sahabat.
Ciri pertama, Mereka hanya mengambil satu sumber saja sebagai sumber pemikiran, kemasyarakatan dan peradaban. Sumber itu adalah wahyu Allah swt yaitu al-Qur’an. Mereka tidak mengambil sumber yang lain selain itu. Mereka menolak semua paham-paham buatan manusia meskipun kelihatan menarik dan menguntungkan. Bagi mereka tidak ada sumber kebenaran dan kebaikan selain al-Qur’an. Cukup al-Qur’an, tinggalkan yang lain.
Ciri kedua adalah totalitas penerimaan terhadap al-Qur’an. Para sahabat tidak membaca al-Qur’an sebatas untuk mencari ilmu saja, atau mengagumi keindahan tafsir serta sastranya. Mereka menerima al-Qur’an seperti seorang prajurit yang menerima perintah harian dari komandannya. Maka dengan penuh keseriusan mereka melaksanakan perintah hati dengan seluruh hati, pikiran dan perasaan mereka.
Tidak pernah otak mereka merasa lebih pintar dari pada isi al-Qur’an sehingga merasa layak menganggapnya produk budaya masyarakat kuno yang primitif. Tidak pernah mereka memilah-milih mana yang pas dengan kepentingan mereka dan mana yang menganggu kesenangan mereka.
Sebagai satu contoh adalah ketika Allah swt mewahyukan kepada Rasulullah saw surat Al-Maidah ayat 90-91 yang berisi pengharaman khamr (minuman keras). Maka secara spontan selokan kota Madinah penuh dengan khmar. Kaum muslimin berlomba-lomba membuang seluruh simpanan khamr di rumahnya.
Para pedagang yang sebelumnya menjual khamr juga langsung membuang seluruh barang dagangannya. Tidak ada raut muka sedih dan menyesal karena kehilangan pekerjaannya. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah bagaimana bisa sesegera mungkin melaksanakan perintah Allah swt dan RasulNya.
Meskipun kebiasaan meminum khamr sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Arab ketika itu namun karena Allah swt dan RasulNya yang memerintahkan tanpa ada satu pertanyaanpun perintah tersebut langsung dilaksanakan.
Ciri ketiga adalah totalitas mereka dalam memeluk Islam. Setelah meninggalkan jahiliyah menuju Islam, tidak ada keinginan mereka sedikitpun untuk kembali kepada masa lalu sedikitpun. Ketakutan mereka untuk menengok masa jahiliyah seperti ketakutan orang yang masuk ke dalam jurang dan tidak bisa kembali lagi. Mereka kaffah untuk masuk dan melaksanakan syariat Islam.
Maka wajar kalau kemudian ketika itu seakan tidak ada jarak antara penghuni bumi dengan penghuni langit. Tidak berlebihan jika pertolongan Allah swt selalu datang kapan saja Rasulullah saw dan para sahabat membutuhkannya. Manusia-manusia seperti itu kemudian mencerahkan dunia dengan Islam dan memimpin dunia dalam kebaikan dan kebenaran sesuai perintah Allah swt pemilik alam beserta segala isinya.
Abu Hasan Al-Hasany An-Nadawi, seorang ulama dari India, dalam bukunya kerugian dunia akan kemunduran Islam mengatakan sangat layak ketika itu kalau kemudian umat Islam tampil menjadi mercusuar peradaban manusia. Ada empat alasan menurut An-Nadawi sehingga umat Islam ketika itu layak menjaid penguasa dunia.
Pertama, kaum muslimin membawa kitab suci dari langit. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah swt yang diturunkan kepada manusia melalui Rasulullah saw sebagai aturan dalam kehidupan. Karenanya adalah sebuah kepastian akan kebenaran isi dan kandungannya. Maka siapa saja yang berusaha melaksanakannya dengan penuh kesungguhan, akan mendapatkan bantuan Allah swt untuk mencapai kemenangan yang diidamkan.
Kedua, tidak ada kepemimpinan dan hukuman dalam Islam kecuali mengajarkan pendidikan akhlaq dan kesucian hati. Tidak pernah ada diantara mereka keinginan untuk saling merebut masalah harta, jabatan maupun urusan duniawi lainnya. Sebaliknya mereka saling menjauh dan manghindar dari perbuatan-perbuatan tercela tersebut. Generasi didikan Rasulullah saw adalah manusia-manusia yang tawadu’, zuhud, amanah dan bijaksana.
Ketiga, mereka berjuang dan berbakti bukan untuk satu bangsa, ras ataupun golongan. Mereka mencurahkan semua tenaga dan pikirannya semata-mata untuk mengajak manusia meng Esakan Allah swt. Kaum muslimin mengajak manusia untuk keluar dari penyembahan kepada sesama manusia kepada penyembahan Dzat yang Maha kuasa, mengajak manusia dari kesempitan hidup kepada keadilan hidup dalam naungan Islam.
Keempat, mereka membawa ajaran yang sempurna. Islam menyeimbangkan antara jasmani dan rohani, fisik dan ruh, kehidupan dunia dan akhirat. Sehingga konsep itu membuat manusia-manusia ketika itu yang sedang terkungkung budaya kejahilan merasa menemukan cahaya untuk membimbing dirinya menemukan kemanusiannya yang sejati.
Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Apa sesungguhnya yang membedakan generasi Rasulullah saw dan para sahabat dengan generasi kita? Semua sepakat bahwa sesuatu yang menjadikan mereka unggul dan mulia karena al-Qur’an mereka praktekkah dalam kehidupan sehari-hari. Turunnya al-Qur’an telah merubah bangsa yang semula bukan siapa-siapa dalam percaturan peradaban dunia menjadi bangsa yang mengatur dan menentukan perjalanan manusia selama beberapa abad.
Ketika itu para sahabat mempelajari al-Qur’an untuk menerima perintah Allah swt. Apabila mereka membaca sebuah ayat maka yang terbayang dalam pikirannya ayat tersebut merupakan perintah dari Allah swt untuk dilaksanakannya saat itu juga. Maka urusan pribadinya, keluarganya dan masyarakatnya semuanya dikembalikan kepada apa kata al-Qur’an. Wajar kalau kemudian bantuan, pertolongan dan perlindungan Allah swt senantiasa memayungi kehidupan mereka.
Berbeda dengan generasi kita sekarang. Mayoritas orang mempelajari al-Qur’an hanya terbatas sebagai ilmu saja. Mereka membaca, menghafal dan mempelajari tajwid ataupun tafsir hanya sekedar ingin mengetahui keindahan sastranya. Mereka mengaguminya tapi tidak melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya. Bahkan ketika ada orang yang mengajak untuk melaksanakan isinya ia menolak dan berkilah bahwa perintah itu hanya untuk orang-orang yang hidup 15 abad lalu.
Akibatnya al-Qur’an tidak lagi menjadi pedoman, imam ataupun undang-undang. Ia hanya sebuah buku yang memuat cerita kehidupan orang-orang zaman dulu yang tidak relevan dengan kehidupan sekarang. Dan bisa dipastikan selama mayoritas umat Islam masih berfikir dan bersikap begitu, sulit rasanya membayangkan sistem Islam akan kembali mengatur dunia.
Karenanya sebagai orang-orang yang menginginkan dan memimpikan lahirnya kembali generasi seperti itu perlu kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada al-Qur’an. Kedekatan secara pribadi maupun mendekatkan keluarga dan masyarakat kita dengan kitab suci tersebut. Semakin dekat setiap muslim dengan al-Qur’an maka sedekat itulah harapan kejayaan Islam kembali hadir mengembalikan kedamaian ke seluruh penjuru dunia.
Dalam level keluarga yang bisa kita lakukan tentu saja membiasakan anggota keluarga berinteraksi rutin dengan al-Qur’an. Interaksi dilakukan secara pribadi dengan mengaji setiap hari maupun kegiatan-kegiatan keluarga seminggu sekali untuk mengkasi al-Qur’an.
Khusus anak-anak, proses pengenalan bisa dilakukan sejak ia masih janin dalam kandungan. Biasakan untuk memperdengarkan suara bacaan al-Qur’an, baik oleh orang tuanya maupun orang lain termasuk media perekam. Kebiasaan tersebut dijaga setelah ia lahir. Jika anak akrab dengan al-Qur’an sejak dini maka Insya Allah keakraban itu akan semakin kuat ketika ia dewasa nantinya.
Proses pengakraban secara fisik itu kemudian kita tidak lanjuti dengan aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan setiap hari. Kita ajak keluarga untuk sedikit demi sedikit menjalankan apa-apa yang Allah swt perintahkan dan larang melalui al-Qur’an. Jadi ada proses pembelajaran secara langsung; teori dan praktek nyata.
Apabila banyak keluarga muslim melakukan upaya untuk mengakrabi al-Qur’an, tentu akan menjadi fenomena masal di tengah masyarakat. Dalam skala lebih besar ada upaya bersama untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga-lembaga pendidikan al-Qur’an pada tingkat anak-anak, remaja maupun dewasa.
Derasnya arus budaya pop mengurangi minat generasi muda Islam untuk menjadi para pembelajar al-Qur’an, termasuk penghafalnya. Peran aktif umat sangat diharapkan untuk menjaga keberlangsungan lembaga-lembaga seperti TPA, TPA, pesantren tahfidz dan lembaga sejenisnya.
Tentu saja yang tidak boleh ditinggalkan adalah upaya kaum muslimin untuk mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Ada upaya bersama untuk mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam lingkup pribadi, keluarga, bersosial masyarakat, setiap aspek kehidupan dan juga berbangsa serta bernegara.
Harapannya tentu saja semua upaya manusiawi tersebut mendapat hidayah dan mau’nah dari Allah swt. Jika itu terjadi akan klop antara usaha bumi dan kehendak langit, maka kejayaan Islam semakin mendekati kenyataan. Amiin.
Tidak ada obsesi lebih tinggi bagi seorang muslim kecuali berusaha menjadikan dirinya, lingkungannya dan masyarakatnya seperti kondisi pada masa kehidupan Rasulullah saw beserta para sahabat. Itu adalah idealisme tertinggi yang ingin di raih, mengulang masa terbaik dari umat Islam semenjak kemunculannya sampai hari akhir kelak.
Semangat itu yang senantiasa bersemayam di dalam relung hati pribadi-pribadi muslim yang baik. Mereka tidak kemudian larut dalam kekaguman berlebihan dengan peradaban barat yang saat ini menjulang tinggi menjadi barometer kehidupan manusia modern. Mereka menyadari meskipun kelihatan perkasa namun sesungguhnya bangunan peradaban barat itu rapuh secara spiritual dan moral.
Peradaban barat yang merupakan kelanjutan peradaban Yunani dan Romawi memang bernafaskan materialisme sehingga kering dari aspek-aspek spiritualitas. Semakin maju mereka akan merasa semakin kering dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Karenanya wajar kalau kemudian kasus kejahatan dan kebobrokan moral berjalan seiring dengan kemajuan peradaban mereka.
Lalu apa rahasia yang membuat kondisi masyarakat pada saat Rasulullah saw dan para sahabat hidup menjadi begitu istimewa dan menjadi matsaul ‘ala bagi kaum muslimin?
Rahasia itu ada pada al-Qur’an. Tidak ada lainnya. Kesungguhan mereka melaksanakan al-Qur’an membuat generasi mereka berbeda dengan generasi manapun sesudahnya. Mereka adalah generasi Qur’ani yaitu sekumpulan manusia yang benar-benar menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman, panduan dan barometer dalam kehidupan.
Sayyid Qutb dalam bukunya petunjuk jalan (ma’alim fit thoriq) menyebut mereka sebagai generasi Qur’ani yang unik. Beliau memberi tiga ciri bagi generasi Rasulullah saw dan para sahabat.
Ciri pertama, Mereka hanya mengambil satu sumber saja sebagai sumber pemikiran, kemasyarakatan dan peradaban. Sumber itu adalah wahyu Allah swt yaitu al-Qur’an. Mereka tidak mengambil sumber yang lain selain itu. Mereka menolak semua paham-paham buatan manusia meskipun kelihatan menarik dan menguntungkan. Bagi mereka tidak ada sumber kebenaran dan kebaikan selain al-Qur’an. Cukup al-Qur’an, tinggalkan yang lain.
Ciri kedua adalah totalitas penerimaan terhadap al-Qur’an. Para sahabat tidak membaca al-Qur’an sebatas untuk mencari ilmu saja, atau mengagumi keindahan tafsir serta sastranya. Mereka menerima al-Qur’an seperti seorang prajurit yang menerima perintah harian dari komandannya. Maka dengan penuh keseriusan mereka melaksanakan perintah hati dengan seluruh hati, pikiran dan perasaan mereka.
Tidak pernah otak mereka merasa lebih pintar dari pada isi al-Qur’an sehingga merasa layak menganggapnya produk budaya masyarakat kuno yang primitif. Tidak pernah mereka memilah-milih mana yang pas dengan kepentingan mereka dan mana yang menganggu kesenangan mereka.
Sebagai satu contoh adalah ketika Allah swt mewahyukan kepada Rasulullah saw surat Al-Maidah ayat 90-91 yang berisi pengharaman khamr (minuman keras). Maka secara spontan selokan kota Madinah penuh dengan khmar. Kaum muslimin berlomba-lomba membuang seluruh simpanan khamr di rumahnya.
Para pedagang yang sebelumnya menjual khamr juga langsung membuang seluruh barang dagangannya. Tidak ada raut muka sedih dan menyesal karena kehilangan pekerjaannya. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah bagaimana bisa sesegera mungkin melaksanakan perintah Allah swt dan RasulNya.
Meskipun kebiasaan meminum khamr sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Arab ketika itu namun karena Allah swt dan RasulNya yang memerintahkan tanpa ada satu pertanyaanpun perintah tersebut langsung dilaksanakan.
Ciri ketiga adalah totalitas mereka dalam memeluk Islam. Setelah meninggalkan jahiliyah menuju Islam, tidak ada keinginan mereka sedikitpun untuk kembali kepada masa lalu sedikitpun. Ketakutan mereka untuk menengok masa jahiliyah seperti ketakutan orang yang masuk ke dalam jurang dan tidak bisa kembali lagi. Mereka kaffah untuk masuk dan melaksanakan syariat Islam.
Maka wajar kalau kemudian ketika itu seakan tidak ada jarak antara penghuni bumi dengan penghuni langit. Tidak berlebihan jika pertolongan Allah swt selalu datang kapan saja Rasulullah saw dan para sahabat membutuhkannya. Manusia-manusia seperti itu kemudian mencerahkan dunia dengan Islam dan memimpin dunia dalam kebaikan dan kebenaran sesuai perintah Allah swt pemilik alam beserta segala isinya.
Abu Hasan Al-Hasany An-Nadawi, seorang ulama dari India, dalam bukunya kerugian dunia akan kemunduran Islam mengatakan sangat layak ketika itu kalau kemudian umat Islam tampil menjadi mercusuar peradaban manusia. Ada empat alasan menurut An-Nadawi sehingga umat Islam ketika itu layak menjaid penguasa dunia.
Pertama, kaum muslimin membawa kitab suci dari langit. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah swt yang diturunkan kepada manusia melalui Rasulullah saw sebagai aturan dalam kehidupan. Karenanya adalah sebuah kepastian akan kebenaran isi dan kandungannya. Maka siapa saja yang berusaha melaksanakannya dengan penuh kesungguhan, akan mendapatkan bantuan Allah swt untuk mencapai kemenangan yang diidamkan.
Kedua, tidak ada kepemimpinan dan hukuman dalam Islam kecuali mengajarkan pendidikan akhlaq dan kesucian hati. Tidak pernah ada diantara mereka keinginan untuk saling merebut masalah harta, jabatan maupun urusan duniawi lainnya. Sebaliknya mereka saling menjauh dan manghindar dari perbuatan-perbuatan tercela tersebut. Generasi didikan Rasulullah saw adalah manusia-manusia yang tawadu’, zuhud, amanah dan bijaksana.
Ketiga, mereka berjuang dan berbakti bukan untuk satu bangsa, ras ataupun golongan. Mereka mencurahkan semua tenaga dan pikirannya semata-mata untuk mengajak manusia meng Esakan Allah swt. Kaum muslimin mengajak manusia untuk keluar dari penyembahan kepada sesama manusia kepada penyembahan Dzat yang Maha kuasa, mengajak manusia dari kesempitan hidup kepada keadilan hidup dalam naungan Islam.
Keempat, mereka membawa ajaran yang sempurna. Islam menyeimbangkan antara jasmani dan rohani, fisik dan ruh, kehidupan dunia dan akhirat. Sehingga konsep itu membuat manusia-manusia ketika itu yang sedang terkungkung budaya kejahilan merasa menemukan cahaya untuk membimbing dirinya menemukan kemanusiannya yang sejati.
Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Apa sesungguhnya yang membedakan generasi Rasulullah saw dan para sahabat dengan generasi kita? Semua sepakat bahwa sesuatu yang menjadikan mereka unggul dan mulia karena al-Qur’an mereka praktekkah dalam kehidupan sehari-hari. Turunnya al-Qur’an telah merubah bangsa yang semula bukan siapa-siapa dalam percaturan peradaban dunia menjadi bangsa yang mengatur dan menentukan perjalanan manusia selama beberapa abad.
Ketika itu para sahabat mempelajari al-Qur’an untuk menerima perintah Allah swt. Apabila mereka membaca sebuah ayat maka yang terbayang dalam pikirannya ayat tersebut merupakan perintah dari Allah swt untuk dilaksanakannya saat itu juga. Maka urusan pribadinya, keluarganya dan masyarakatnya semuanya dikembalikan kepada apa kata al-Qur’an. Wajar kalau kemudian bantuan, pertolongan dan perlindungan Allah swt senantiasa memayungi kehidupan mereka.
Berbeda dengan generasi kita sekarang. Mayoritas orang mempelajari al-Qur’an hanya terbatas sebagai ilmu saja. Mereka membaca, menghafal dan mempelajari tajwid ataupun tafsir hanya sekedar ingin mengetahui keindahan sastranya. Mereka mengaguminya tapi tidak melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya. Bahkan ketika ada orang yang mengajak untuk melaksanakan isinya ia menolak dan berkilah bahwa perintah itu hanya untuk orang-orang yang hidup 15 abad lalu.
Akibatnya al-Qur’an tidak lagi menjadi pedoman, imam ataupun undang-undang. Ia hanya sebuah buku yang memuat cerita kehidupan orang-orang zaman dulu yang tidak relevan dengan kehidupan sekarang. Dan bisa dipastikan selama mayoritas umat Islam masih berfikir dan bersikap begitu, sulit rasanya membayangkan sistem Islam akan kembali mengatur dunia.
Karenanya sebagai orang-orang yang menginginkan dan memimpikan lahirnya kembali generasi seperti itu perlu kesungguhan untuk mendekatkan diri kepada al-Qur’an. Kedekatan secara pribadi maupun mendekatkan keluarga dan masyarakat kita dengan kitab suci tersebut. Semakin dekat setiap muslim dengan al-Qur’an maka sedekat itulah harapan kejayaan Islam kembali hadir mengembalikan kedamaian ke seluruh penjuru dunia.
Dalam level keluarga yang bisa kita lakukan tentu saja membiasakan anggota keluarga berinteraksi rutin dengan al-Qur’an. Interaksi dilakukan secara pribadi dengan mengaji setiap hari maupun kegiatan-kegiatan keluarga seminggu sekali untuk mengkasi al-Qur’an.
Khusus anak-anak, proses pengenalan bisa dilakukan sejak ia masih janin dalam kandungan. Biasakan untuk memperdengarkan suara bacaan al-Qur’an, baik oleh orang tuanya maupun orang lain termasuk media perekam. Kebiasaan tersebut dijaga setelah ia lahir. Jika anak akrab dengan al-Qur’an sejak dini maka Insya Allah keakraban itu akan semakin kuat ketika ia dewasa nantinya.
Proses pengakraban secara fisik itu kemudian kita tidak lanjuti dengan aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan setiap hari. Kita ajak keluarga untuk sedikit demi sedikit menjalankan apa-apa yang Allah swt perintahkan dan larang melalui al-Qur’an. Jadi ada proses pembelajaran secara langsung; teori dan praktek nyata.
Apabila banyak keluarga muslim melakukan upaya untuk mengakrabi al-Qur’an, tentu akan menjadi fenomena masal di tengah masyarakat. Dalam skala lebih besar ada upaya bersama untuk menjaga kelangsungan hidup lembaga-lembaga pendidikan al-Qur’an pada tingkat anak-anak, remaja maupun dewasa.
Derasnya arus budaya pop mengurangi minat generasi muda Islam untuk menjadi para pembelajar al-Qur’an, termasuk penghafalnya. Peran aktif umat sangat diharapkan untuk menjaga keberlangsungan lembaga-lembaga seperti TPA, TPA, pesantren tahfidz dan lembaga sejenisnya.
Tentu saja yang tidak boleh ditinggalkan adalah upaya kaum muslimin untuk mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Ada upaya bersama untuk mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam lingkup pribadi, keluarga, bersosial masyarakat, setiap aspek kehidupan dan juga berbangsa serta bernegara.
Harapannya tentu saja semua upaya manusiawi tersebut mendapat hidayah dan mau’nah dari Allah swt. Jika itu terjadi akan klop antara usaha bumi dan kehendak langit, maka kejayaan Islam semakin mendekati kenyataan. Amiin.