Bismillahirrahmanirrahim
Galibnya manusia, keterikatan kita dengan orang lain terjadi dalam setiap waktu dan tempat. Kebutuhan untuk memenuhi, menyelesaikan dan mendapatkan keinginannya merupakan diantara faktor yang membuat seorang manusia menjalin interaksi dan hubungan dengan manusia yang lain.
Sebuah pepatah mengatakan “lain kepala lain isinya”. Ungkapan tersebut mewakili kenyataan bahwa sudah merupakan fitrah kalau setiap manusia pikiran serta keinginannya berbeda dengan orang lain. Sisi positifnya perbedaan tersebut membuat kehidupan sosial manusia menjadi indah karena setiap warna dari seseorang akan bercampur dengan warna dari orang lain. Tentu saja membutuhkan manajemen yang baik dari masing-masing individu supaya warna-warna tersebut senantiasa menghasilkan perpaduan yang serasi, selaras dan menyenangkan pandangan mata.
Percampuran berbagai warna itu juga akan melahirkan fenomena-fenomena sampingan sebagai akibat perbedaan asal, karakter, kemauan dan beragam latar belakang lainnya. Sentuhan-sentuhan nafsu serta ambisi berbalut emosi akan semakin menambah serunya romantika interaksi sosial antar individu. Jika tidak hati-hati gesekan dari masing-masing gaya individu bisa saja menghasilkan letupan-letupan di sekitar mereka. Letupan-letupan yang awalnya kecil tidak boleh diremehkan dan dibiarkan begitu saja karena jika tidak hati-hati dan dimanage dengan baik, percikannya akan membakar sekitarnya sehingga hanguslah segala amal kebaikan hasil pahala dalam kemesraan berbingkai pertemanan, persahabatan dan pertentanggaan selama ini.
Dibutuhkan sikap-sikap tertentu untuk menjaga pertemuan fisik dan kepentingan antar manusia selalu bernilai positif. Tiga diantara kiat tersebut adalah kemauan untuk mendengar, memberikan sambutan positif kepada orang lain dan berjiwa besar untuk mau mengalah, khususnya dalam masalah-masalah yang bukan termasuk kategori prinsipil.
Mau Mendengar
Diantara hikmah Allah swt menganugerahkan kepada manusia dua buah telinga dan satu mulut adalah perintah untuk lebih banyak mendengar daripada bicara. Seorang yang menyisihkan lebih banyak waktunya untuk mendengar biasanya mempunyai peluang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ilmu. Terlebih bagi seorang pelajar, mendengar merupakan kunci untuk mendapatkan ilmu lebih banyak.
Sedikit bicara juga menjaga diri dari dosa. Tidak sedikit manusia terjerumus dalam dosa karena mulutnya. “barang siapa yang banyak berbicara akan banyak salahnya, barang siapa banyak salahnya akan banyak dosanya, dan barang siapa banyak dosanya akan masuk ke dalam neraka”. Nasehat tersebut cukup untuk membuat kita berhati-hati dalam menjaga lisan dan lidah milik kita.
Tidak jarang orang hanya butuh didengar keluh kesahnya daripada dicarikan solusi. Secara psikologi seseorang yang sedang tertimpa masalah dalam kehidupannya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan masalahnya. Hanyak mendengarkan, tidak lebih karena hal itu cukup membantu. Paling tidak dengan menceritakan kepada orang lain masalahnya, beban yang seakan-akan ia pikul sendiri dibagi dengan orang lain.
Tentu saja membutuhkan perjuangan tidak ringan untuk menjadi seseorang yang mempunyai kebiasaan mau mendengarkan orang lain. Manusia memiliki kecenderungan untuk diperhatikan dan menjadi pusat perhatian dalam setiap kondisi, dan menguasai pembicaraan dalam sebuah forum adalah sarana paling efektif untuk menjadi pusat perhatian. Namun kalau kita mau mempunyai sebuah hubungan yang sehat dan bertahan lama dengan seseorang harus mulai belajar banyak mendengar dari sekarang.
Memberikan apresiasi positif
Kiat kedua untuk merawat sebuah hubungan dengan sesama manusia adalah kerelaan untuk memberikan apresiasi positif kepada orang lain apapun prestasinya. Bisa jadi apa yang orang lain lakukan dan peroleh itu tidak istimewa menurut standard kita, namun bagi orang tersebut mungkin lain. Pencapaian yang ia dapatkan barangkali merupakan prestasi terbaik dalam hidupnya sehingga aura kepuasan dan kebanggaan nampak sekali dalam dirinya. Apakah kita tega merusak kebahagiannya dengan meremehkannya?
Penghargaan yang kita berikan sebagai wujud ikut bergembira atas pencapaian oran lain bisa berbentuk macam-macam tidak harus memberikan hadiah berupa materi. Apresiasi itu bisa juga berupa menampakan wajah gembira kepada seseorang yang sedang menceritakan prestasi-prestasinya. Tentu saja ekspresi yang dikeluarkan harus dengan hati penuh keikhlasan supaya senyumnya tidak nampak “menakutkan”. Kalau hatinya tidak ikhlash dengan prestasi orang lain tapi malah iri maka tampilan wajahnya bisa lain. Inginya menunjukkan wajah gembira justru yang keluar adalah wajah menyeringai, nyengir atau bahkan sinis.
Bentuk apresiasi lainnya yang bisa kita berikan kepada orang yang sedang bergembira dengan prestasinya adalah dengan ucapan. Redaksi dari kalimat ucapan itu bisa berbagai macam; ucapan selamat atas prestasinya, maupun ungkapan-ungkapan yang menunjukkan kekaguman kita atas pencapainya.
Namun jangan sampai apresiasi yang kita berikan berlebihan karena akan menimbulkan efek tidak baik bagi orang itu sendiri. Bisa jadi akan muncul perasaan sombong (khibr) karena merasa sangat hebat. Hal itu tentu saja kontra produktif karena bisa menimbulkan sikap malas dalam dirinya untuk membuat prestasi berikutnya, atau justru merusak niat serta motivasinya karena berusaha mencetak prestasi supaya mendapatkan pengakuan dari orang lain. Oleh karena itu apresiasi tersebut harus tepat bentuk dan tepat sasaran.
Mengalah
Mengalah bukan berarti kalah. Bisa jadi tindakan tersebut merupakan sebuah langkah untuk memperoleh kemenangan lebih besar. Gambaran tersebut bisa kita lihat dalam langkah bijak Rasulullah saw dalam melakukan perjanjian Hudaibiyyah dengan kaum musrikin Makkah. Tindakan yang awalnya kurang mendapat persetujuan dari para sahabat karena seakan-akan menunjukkan kekalahan kaum muslimin dari orang-orang kafir ternyata merupakan strategi jitu beliau saw untuk memperoleh kemenangan lebih besar yakni Fathu Makkah.
Karena sifat dasar manusia ingin selalu menang, maka jika kita bisa dan mau mengalah dari orang lain tentu akan menimbulkan kesan baik bagi orang lain. Tentu saja mengalah disini pada hal-hal yang sifatnya bukan prinsip; aqidah, syaria’t, kebenaran dan kehormatan diri. Kalau hal-hal tersebut tentu saja perhitungannya berbeda.
Contoh sederhana adalah ketika mengemukakan sebuah pendapat atau ide atas sebuah permasalahan pada sebuah forum musyawarah. Tidak perlu kita ngotot memaksa orang untuk mengikuti pendapat kita karena belum tentu lebih baik. Bahkan sekalipun pendapat kita sepertinya paling baik dari semuanya. Berikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan pendapatnya, kalau perlu kita dukung idenya tersebut. Bukankah kebaikan bersama diatas ego dan ambisi tiap-tiap individu?
Penutup
Meskipun tidak semudah membalikkan telapan tangan, keharmonisan hidup dengan orang banyak bukanlah impian pada masa sekarang ini. Arus deras pola hidup dan gaya materialisme memang pada beberapa sisi lebih mengedepankan penghargaan kepada sesama manusia dengan pendekatan materi. Sikap lebih tertutup dengan orang lain dan lingkungan, senantiasa diliputi perasaan was-was dengan orang sekitar sedikit banyak mulai menghingapi sebagian kecil masyarakat kita.
Maka untuk mengurai itu semua kita awali dengan sebuah kesadaran bahwa hidup bersama orang lain adalah lebih baik daripada hidup sendiri meskipun tidak sedikit masalah yang bermunculan kaena hidup bersama tersebut. Panggilan alam sebagai makhluk sosial yang secara fitrah membutuhkan kehadiran orang lain jangan dihilangkan dari diri kita.
Oleh karena itu kesadaran dan kedewasaan dalam bersikap dan bertingkah laku mutlak diperlukan. Mendengarkan keluh kesahnya, menghargai prestasinya dan berlapang dadalah dengan mengalah atas keinginan mereka merupakan diantara hal untuk menjaga keharmonisan dalam berhubungan dengan orang banyak.
Rasulullah saw mengajarkan kita untuk menjaga lisan dan tangan kita dari mencederai oang lain. Beliau juga menegaskan bahwa ukuran kesempurnaan iman seseorang adalah dengan kebaikan ucapannya, penghormatannya kepada tamu dan juga keharmonisan dengan tetangannya. Bahkan kecintaan kita kepada saudara seiman kita harus sama dengan kecintaan kita kepada diri sendiri, itu baru sempurna iman seorang muslim. Begitu pesan Rasulullah saw. Indah sekali. Wallahu ‘alam.
Galibnya manusia, keterikatan kita dengan orang lain terjadi dalam setiap waktu dan tempat. Kebutuhan untuk memenuhi, menyelesaikan dan mendapatkan keinginannya merupakan diantara faktor yang membuat seorang manusia menjalin interaksi dan hubungan dengan manusia yang lain.
Sebuah pepatah mengatakan “lain kepala lain isinya”. Ungkapan tersebut mewakili kenyataan bahwa sudah merupakan fitrah kalau setiap manusia pikiran serta keinginannya berbeda dengan orang lain. Sisi positifnya perbedaan tersebut membuat kehidupan sosial manusia menjadi indah karena setiap warna dari seseorang akan bercampur dengan warna dari orang lain. Tentu saja membutuhkan manajemen yang baik dari masing-masing individu supaya warna-warna tersebut senantiasa menghasilkan perpaduan yang serasi, selaras dan menyenangkan pandangan mata.
Percampuran berbagai warna itu juga akan melahirkan fenomena-fenomena sampingan sebagai akibat perbedaan asal, karakter, kemauan dan beragam latar belakang lainnya. Sentuhan-sentuhan nafsu serta ambisi berbalut emosi akan semakin menambah serunya romantika interaksi sosial antar individu. Jika tidak hati-hati gesekan dari masing-masing gaya individu bisa saja menghasilkan letupan-letupan di sekitar mereka. Letupan-letupan yang awalnya kecil tidak boleh diremehkan dan dibiarkan begitu saja karena jika tidak hati-hati dan dimanage dengan baik, percikannya akan membakar sekitarnya sehingga hanguslah segala amal kebaikan hasil pahala dalam kemesraan berbingkai pertemanan, persahabatan dan pertentanggaan selama ini.
Dibutuhkan sikap-sikap tertentu untuk menjaga pertemuan fisik dan kepentingan antar manusia selalu bernilai positif. Tiga diantara kiat tersebut adalah kemauan untuk mendengar, memberikan sambutan positif kepada orang lain dan berjiwa besar untuk mau mengalah, khususnya dalam masalah-masalah yang bukan termasuk kategori prinsipil.
Mau Mendengar
Diantara hikmah Allah swt menganugerahkan kepada manusia dua buah telinga dan satu mulut adalah perintah untuk lebih banyak mendengar daripada bicara. Seorang yang menyisihkan lebih banyak waktunya untuk mendengar biasanya mempunyai peluang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ilmu. Terlebih bagi seorang pelajar, mendengar merupakan kunci untuk mendapatkan ilmu lebih banyak.
Sedikit bicara juga menjaga diri dari dosa. Tidak sedikit manusia terjerumus dalam dosa karena mulutnya. “barang siapa yang banyak berbicara akan banyak salahnya, barang siapa banyak salahnya akan banyak dosanya, dan barang siapa banyak dosanya akan masuk ke dalam neraka”. Nasehat tersebut cukup untuk membuat kita berhati-hati dalam menjaga lisan dan lidah milik kita.
Tidak jarang orang hanya butuh didengar keluh kesahnya daripada dicarikan solusi. Secara psikologi seseorang yang sedang tertimpa masalah dalam kehidupannya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan masalahnya. Hanyak mendengarkan, tidak lebih karena hal itu cukup membantu. Paling tidak dengan menceritakan kepada orang lain masalahnya, beban yang seakan-akan ia pikul sendiri dibagi dengan orang lain.
Tentu saja membutuhkan perjuangan tidak ringan untuk menjadi seseorang yang mempunyai kebiasaan mau mendengarkan orang lain. Manusia memiliki kecenderungan untuk diperhatikan dan menjadi pusat perhatian dalam setiap kondisi, dan menguasai pembicaraan dalam sebuah forum adalah sarana paling efektif untuk menjadi pusat perhatian. Namun kalau kita mau mempunyai sebuah hubungan yang sehat dan bertahan lama dengan seseorang harus mulai belajar banyak mendengar dari sekarang.
Memberikan apresiasi positif
Kiat kedua untuk merawat sebuah hubungan dengan sesama manusia adalah kerelaan untuk memberikan apresiasi positif kepada orang lain apapun prestasinya. Bisa jadi apa yang orang lain lakukan dan peroleh itu tidak istimewa menurut standard kita, namun bagi orang tersebut mungkin lain. Pencapaian yang ia dapatkan barangkali merupakan prestasi terbaik dalam hidupnya sehingga aura kepuasan dan kebanggaan nampak sekali dalam dirinya. Apakah kita tega merusak kebahagiannya dengan meremehkannya?
Penghargaan yang kita berikan sebagai wujud ikut bergembira atas pencapaian oran lain bisa berbentuk macam-macam tidak harus memberikan hadiah berupa materi. Apresiasi itu bisa juga berupa menampakan wajah gembira kepada seseorang yang sedang menceritakan prestasi-prestasinya. Tentu saja ekspresi yang dikeluarkan harus dengan hati penuh keikhlasan supaya senyumnya tidak nampak “menakutkan”. Kalau hatinya tidak ikhlash dengan prestasi orang lain tapi malah iri maka tampilan wajahnya bisa lain. Inginya menunjukkan wajah gembira justru yang keluar adalah wajah menyeringai, nyengir atau bahkan sinis.
Bentuk apresiasi lainnya yang bisa kita berikan kepada orang yang sedang bergembira dengan prestasinya adalah dengan ucapan. Redaksi dari kalimat ucapan itu bisa berbagai macam; ucapan selamat atas prestasinya, maupun ungkapan-ungkapan yang menunjukkan kekaguman kita atas pencapainya.
Namun jangan sampai apresiasi yang kita berikan berlebihan karena akan menimbulkan efek tidak baik bagi orang itu sendiri. Bisa jadi akan muncul perasaan sombong (khibr) karena merasa sangat hebat. Hal itu tentu saja kontra produktif karena bisa menimbulkan sikap malas dalam dirinya untuk membuat prestasi berikutnya, atau justru merusak niat serta motivasinya karena berusaha mencetak prestasi supaya mendapatkan pengakuan dari orang lain. Oleh karena itu apresiasi tersebut harus tepat bentuk dan tepat sasaran.
Mengalah
Mengalah bukan berarti kalah. Bisa jadi tindakan tersebut merupakan sebuah langkah untuk memperoleh kemenangan lebih besar. Gambaran tersebut bisa kita lihat dalam langkah bijak Rasulullah saw dalam melakukan perjanjian Hudaibiyyah dengan kaum musrikin Makkah. Tindakan yang awalnya kurang mendapat persetujuan dari para sahabat karena seakan-akan menunjukkan kekalahan kaum muslimin dari orang-orang kafir ternyata merupakan strategi jitu beliau saw untuk memperoleh kemenangan lebih besar yakni Fathu Makkah.
Karena sifat dasar manusia ingin selalu menang, maka jika kita bisa dan mau mengalah dari orang lain tentu akan menimbulkan kesan baik bagi orang lain. Tentu saja mengalah disini pada hal-hal yang sifatnya bukan prinsip; aqidah, syaria’t, kebenaran dan kehormatan diri. Kalau hal-hal tersebut tentu saja perhitungannya berbeda.
Contoh sederhana adalah ketika mengemukakan sebuah pendapat atau ide atas sebuah permasalahan pada sebuah forum musyawarah. Tidak perlu kita ngotot memaksa orang untuk mengikuti pendapat kita karena belum tentu lebih baik. Bahkan sekalipun pendapat kita sepertinya paling baik dari semuanya. Berikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan pendapatnya, kalau perlu kita dukung idenya tersebut. Bukankah kebaikan bersama diatas ego dan ambisi tiap-tiap individu?
Penutup
Meskipun tidak semudah membalikkan telapan tangan, keharmonisan hidup dengan orang banyak bukanlah impian pada masa sekarang ini. Arus deras pola hidup dan gaya materialisme memang pada beberapa sisi lebih mengedepankan penghargaan kepada sesama manusia dengan pendekatan materi. Sikap lebih tertutup dengan orang lain dan lingkungan, senantiasa diliputi perasaan was-was dengan orang sekitar sedikit banyak mulai menghingapi sebagian kecil masyarakat kita.
Maka untuk mengurai itu semua kita awali dengan sebuah kesadaran bahwa hidup bersama orang lain adalah lebih baik daripada hidup sendiri meskipun tidak sedikit masalah yang bermunculan kaena hidup bersama tersebut. Panggilan alam sebagai makhluk sosial yang secara fitrah membutuhkan kehadiran orang lain jangan dihilangkan dari diri kita.
Oleh karena itu kesadaran dan kedewasaan dalam bersikap dan bertingkah laku mutlak diperlukan. Mendengarkan keluh kesahnya, menghargai prestasinya dan berlapang dadalah dengan mengalah atas keinginan mereka merupakan diantara hal untuk menjaga keharmonisan dalam berhubungan dengan orang banyak.
Rasulullah saw mengajarkan kita untuk menjaga lisan dan tangan kita dari mencederai oang lain. Beliau juga menegaskan bahwa ukuran kesempurnaan iman seseorang adalah dengan kebaikan ucapannya, penghormatannya kepada tamu dan juga keharmonisan dengan tetangannya. Bahkan kecintaan kita kepada saudara seiman kita harus sama dengan kecintaan kita kepada diri sendiri, itu baru sempurna iman seorang muslim. Begitu pesan Rasulullah saw. Indah sekali. Wallahu ‘alam.