Bismillahirrahmanirrahim
Rendah diri. itu mungkin kata paling tepat untuk menggambarkan mentalitas bangsa ini dihadapan pemerintah dan negara bernama Amerika Serikat. Kesimpulan tersebut semakin menemukan kebenarannya jika kita mengamati bagaimana sikap para pemimpin bangsa ini dalam mempersiapkan kegiatan sebelum dan ketika kedatangan Presiden Barrack Obama dua hari yang lalu.
Para petinggi negara ini sempat harap-harap cemas khawatir Obama kembali membatalkan kunjungannya seperti beberapa waktu yang lalu. Betapa sumringahnya wajah-wajah “beliau” ketika ternyata Obama jadi datang, meskipun cuma satu malam. Bandingan dengan India yang ia kunjungi selama tiga hari.
Meskipun ekspos media terbagi karena masyarakat tersedot perhatiannya terhadap bencana beruntun yang menimpa bangsa ini, persiapan penyamputan Obama dipersiapkan dengan sangat special. Satu tujuannya tentu saja membuat sang tamu nyaman selama berkunjung ke tempat dimana dulu ia pernah beberapa tahun menghabiskan masa kecilnya.
Sudah pasti ada pengalihan konsentrasi jalan ketika Obama lewat untuk menuju suatu tempat. Sesuatu yang tidak mungkin tidak dikeluhkan pengguna jalan lainnya. Ketika pejabat lokal saja mau lawat, paling tidak para pemakai jalan harus mengalah 30 menit. Apalagi kalau yang mau adalah “penguasanya penguasa negeri ini?”
Penyiapan pasukan pengaman juga cukup fenomenal. Hampir semua pasukan elit dari setiap matra angkatan di negeri ini diterjunkan, termasuk pesawat tempur dan kapal perang. Itu belum termasuk pasukan yang dibawa presiden pertama AS berkulit hitam itu sendiri dari negaranya. Sehingga ada sebuah pemadangan menarik ketika jumlah demonstran yang memprotes kedatangan Obama kalah banyak dengan pasukan anti huru hara yang disiapkan.
Peran media juga cukup besar untuk membuat seolah-olah kedatangan Obama adalah hajatan besar bagi negeri ini. tidak sedikit media massa, termasuk televise, melakukan laporan ekslusif sejak kedatangan Obama di bandara Halim Perdanakusuma hingga meninggalkan bandara yang sama keesokan harinya.
Diantara tayangan eksklusif yang dilakukan televise berskala nasional adalah taklshow atau perbincangan seputar kedatangan Obama. Jika diskusi yang diselenggarakan terkait dengan manfaat atau keuntungan yang didapat dari kedatangan “sang presiden” bagi Indonesia secara umum mungkin masih masuk akal dan bisa diterima akal sehat.
Nyatanya beberapa televisi justru menghadirkan perbincangan yang tidak produktif dan konstruktif. Mereka mengundang nara sumber orang-orang dari masa lalu Obama dan mungkin Obama sendiri sudah melupakannya. Teman satu kelasnya selama satu tahun, tetangganya selama sekian bulan ataupun bapak/ibu gurunya ketika ia masih SD. Manfaat apa yang bisa diperoleh bagi masyarakat umum dari perbincangan di televisi jika bahasannya seperti demikian?
Paling-paling para penonton diajak untuk melihat wajah gembira orang-orang yang menjadi nara sumber tersebut karena mereka pernah bersentuhan secara langsung dengan Obama. Termasuk juga perasaan kecewa yang berlebihan dari mantan murid atau guru dua sekolah yang dulu pernah menjadi tempat Obama belajar selama tiga tahun di Indonesia karena tidak dikunjungi Obama. Bukankah mereka seharusnya sudah paham bahwa kecil sekali kemungkinan Obama mengunjungi mereka, sementara ada saja acara kenegaraan yang sejak awal dalam status “kemungkinan tidak jadi”?
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah kebanggaan sebagian masyarakat bangsa ini ketika Obama merasa tahu dan masih ingat dengan benda, tempat, atau makanan khas Indonesia yang dulu pernah ia nikmati. Aplaus juga selalu diberikan setiap hadirin pada semua pertemuan Obama dengan masyarakat Indonesia pada saat ia mengucapkan beberapa kata Indonesia. “apa kabar?”, “salam sejahtera”, “bakso” dan beberapa kata lainnya. Seakan-akan merupakan kebahagiaan dan anugerah bagi bangsa ini ketika Obama masih bisa mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Orang banyak kemudian lupa menghitung dan memikirkan keuntungan bangsa ini dari kedatangan Obama. Apakah seimbang cost yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh? Ataukan kita mungkin cukup puas bisa menyambut dan menyenangkan sang presiden dari negara tekuat di dunia saat ini tersebut?
Semua tindakan yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia tersebut merupakan khas bangsa yang kalah, bahkan terjajah. Perilaku mereka tidak mencerminkan keagungan dari identitas bangsa yang merdeka dan mandiri. Nampak sekali ketundukan representasi dari rasa ketakutan terhadap si tuan besar. Maka semua tindakan adalah dalam rangka menyenangkan dan memuliakan junjungan. Jika tidak mampu berbuat yang terbaik, mereka khawatir mendapatkan marah dan sangsi dari sang penjajah.
Separah itukah mentalitas bangsa ini? sebagian mungkin iya, bahkan lebih parah dari yang kita bayangkan. Sebagian tentu saja tidak. Mereka masih memiliki nurani untuk mengutuk dan mengecam sepak terjang Obama dan pemerintah Amerika Serikat. Meskipun tidak sebiadab pendahulunya, George Bush, tetap saja tidak ada harapan cerah bagi hubungan lebih baik antara pemerintahannya dengan umat Islam. Sistem negara yang sudah dalam jeratan jarring-jaring zionis internasional tetap saja memposisikan Amerika dan sekutunya face to face dengan mayoritas umat Islam, kecuali kaki tangannya tentu saja.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqadimah menggambarkan prototipe bangsa yang kalah akan selalu taat dan patuh dengan bangsa pemenang. Tidak hanya itu, bangsa yang kalah juga akan meniru segala hal yang dilakukan dan diperbuat oleh masyarakat dari bangsa pemenang. Sampai dalam bentuk dan hiasan rumahpun – menurut Ibnu khaldun – bangsa yang kalah akan meniru dari bangsa yang menang.
Tentu saja sangat disayangkan jika mental kalahan terus kita pelihara. Indonesia merupakan bangsa yang besar, satu diantaranya tentu saja karena mayoritas penduduknya muslim. Perlu perubahan paradigm berfikir untuk mengubah mentalitas seperti itu. Dan yang pasti semuanya harus bermula dari para pemimpin negeri ini. Jika para pemimpin negeri ini tidak mampu mengubah sikap dan cara pandang tersebut, mustahil perubahan itu akan berlangsung dengan cepat dan efektif. Apalagi jika para pemimpin negeri ini merasa sangat bangga pernah tinggal di Amerika Serikat dan menganggapnya sebagai rumah kedua sehingga perlu memanggil tamunya "Yang Mulia". Rasanya harapan itu masih lama untuk terwujud.
Rendah diri. itu mungkin kata paling tepat untuk menggambarkan mentalitas bangsa ini dihadapan pemerintah dan negara bernama Amerika Serikat. Kesimpulan tersebut semakin menemukan kebenarannya jika kita mengamati bagaimana sikap para pemimpin bangsa ini dalam mempersiapkan kegiatan sebelum dan ketika kedatangan Presiden Barrack Obama dua hari yang lalu.
Para petinggi negara ini sempat harap-harap cemas khawatir Obama kembali membatalkan kunjungannya seperti beberapa waktu yang lalu. Betapa sumringahnya wajah-wajah “beliau” ketika ternyata Obama jadi datang, meskipun cuma satu malam. Bandingan dengan India yang ia kunjungi selama tiga hari.
Meskipun ekspos media terbagi karena masyarakat tersedot perhatiannya terhadap bencana beruntun yang menimpa bangsa ini, persiapan penyamputan Obama dipersiapkan dengan sangat special. Satu tujuannya tentu saja membuat sang tamu nyaman selama berkunjung ke tempat dimana dulu ia pernah beberapa tahun menghabiskan masa kecilnya.
Sudah pasti ada pengalihan konsentrasi jalan ketika Obama lewat untuk menuju suatu tempat. Sesuatu yang tidak mungkin tidak dikeluhkan pengguna jalan lainnya. Ketika pejabat lokal saja mau lawat, paling tidak para pemakai jalan harus mengalah 30 menit. Apalagi kalau yang mau adalah “penguasanya penguasa negeri ini?”
Penyiapan pasukan pengaman juga cukup fenomenal. Hampir semua pasukan elit dari setiap matra angkatan di negeri ini diterjunkan, termasuk pesawat tempur dan kapal perang. Itu belum termasuk pasukan yang dibawa presiden pertama AS berkulit hitam itu sendiri dari negaranya. Sehingga ada sebuah pemadangan menarik ketika jumlah demonstran yang memprotes kedatangan Obama kalah banyak dengan pasukan anti huru hara yang disiapkan.
Peran media juga cukup besar untuk membuat seolah-olah kedatangan Obama adalah hajatan besar bagi negeri ini. tidak sedikit media massa, termasuk televise, melakukan laporan ekslusif sejak kedatangan Obama di bandara Halim Perdanakusuma hingga meninggalkan bandara yang sama keesokan harinya.
Diantara tayangan eksklusif yang dilakukan televise berskala nasional adalah taklshow atau perbincangan seputar kedatangan Obama. Jika diskusi yang diselenggarakan terkait dengan manfaat atau keuntungan yang didapat dari kedatangan “sang presiden” bagi Indonesia secara umum mungkin masih masuk akal dan bisa diterima akal sehat.
Nyatanya beberapa televisi justru menghadirkan perbincangan yang tidak produktif dan konstruktif. Mereka mengundang nara sumber orang-orang dari masa lalu Obama dan mungkin Obama sendiri sudah melupakannya. Teman satu kelasnya selama satu tahun, tetangganya selama sekian bulan ataupun bapak/ibu gurunya ketika ia masih SD. Manfaat apa yang bisa diperoleh bagi masyarakat umum dari perbincangan di televisi jika bahasannya seperti demikian?
Paling-paling para penonton diajak untuk melihat wajah gembira orang-orang yang menjadi nara sumber tersebut karena mereka pernah bersentuhan secara langsung dengan Obama. Termasuk juga perasaan kecewa yang berlebihan dari mantan murid atau guru dua sekolah yang dulu pernah menjadi tempat Obama belajar selama tiga tahun di Indonesia karena tidak dikunjungi Obama. Bukankah mereka seharusnya sudah paham bahwa kecil sekali kemungkinan Obama mengunjungi mereka, sementara ada saja acara kenegaraan yang sejak awal dalam status “kemungkinan tidak jadi”?
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah kebanggaan sebagian masyarakat bangsa ini ketika Obama merasa tahu dan masih ingat dengan benda, tempat, atau makanan khas Indonesia yang dulu pernah ia nikmati. Aplaus juga selalu diberikan setiap hadirin pada semua pertemuan Obama dengan masyarakat Indonesia pada saat ia mengucapkan beberapa kata Indonesia. “apa kabar?”, “salam sejahtera”, “bakso” dan beberapa kata lainnya. Seakan-akan merupakan kebahagiaan dan anugerah bagi bangsa ini ketika Obama masih bisa mengucapkan kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Orang banyak kemudian lupa menghitung dan memikirkan keuntungan bangsa ini dari kedatangan Obama. Apakah seimbang cost yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh? Ataukan kita mungkin cukup puas bisa menyambut dan menyenangkan sang presiden dari negara tekuat di dunia saat ini tersebut?
Semua tindakan yang dilakukan sebagian masyarakat Indonesia tersebut merupakan khas bangsa yang kalah, bahkan terjajah. Perilaku mereka tidak mencerminkan keagungan dari identitas bangsa yang merdeka dan mandiri. Nampak sekali ketundukan representasi dari rasa ketakutan terhadap si tuan besar. Maka semua tindakan adalah dalam rangka menyenangkan dan memuliakan junjungan. Jika tidak mampu berbuat yang terbaik, mereka khawatir mendapatkan marah dan sangsi dari sang penjajah.
Separah itukah mentalitas bangsa ini? sebagian mungkin iya, bahkan lebih parah dari yang kita bayangkan. Sebagian tentu saja tidak. Mereka masih memiliki nurani untuk mengutuk dan mengecam sepak terjang Obama dan pemerintah Amerika Serikat. Meskipun tidak sebiadab pendahulunya, George Bush, tetap saja tidak ada harapan cerah bagi hubungan lebih baik antara pemerintahannya dengan umat Islam. Sistem negara yang sudah dalam jeratan jarring-jaring zionis internasional tetap saja memposisikan Amerika dan sekutunya face to face dengan mayoritas umat Islam, kecuali kaki tangannya tentu saja.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqadimah menggambarkan prototipe bangsa yang kalah akan selalu taat dan patuh dengan bangsa pemenang. Tidak hanya itu, bangsa yang kalah juga akan meniru segala hal yang dilakukan dan diperbuat oleh masyarakat dari bangsa pemenang. Sampai dalam bentuk dan hiasan rumahpun – menurut Ibnu khaldun – bangsa yang kalah akan meniru dari bangsa yang menang.
Tentu saja sangat disayangkan jika mental kalahan terus kita pelihara. Indonesia merupakan bangsa yang besar, satu diantaranya tentu saja karena mayoritas penduduknya muslim. Perlu perubahan paradigm berfikir untuk mengubah mentalitas seperti itu. Dan yang pasti semuanya harus bermula dari para pemimpin negeri ini. Jika para pemimpin negeri ini tidak mampu mengubah sikap dan cara pandang tersebut, mustahil perubahan itu akan berlangsung dengan cepat dan efektif. Apalagi jika para pemimpin negeri ini merasa sangat bangga pernah tinggal di Amerika Serikat dan menganggapnya sebagai rumah kedua sehingga perlu memanggil tamunya "Yang Mulia". Rasanya harapan itu masih lama untuk terwujud.