bismillahirrahmanirrahim
Inilah salah satu episode paling menarik dalam perjalanan seorang manusia; menyukai lawan jenis. Rasa suka itu bisa muncul pada siapa saja tanpa terkecuali. Tentu saja ada perbedaan kualitas dan cara menyikapinya. Biasanya semakin baik kualitas keimanan dan kedewasaan karakter seseorang penyikapannya akan semakin lebih baik. Meski tidak juga selalu begitu.
Ini masalah perasaan maka lebih sering penguasanya adalah emosi, bukan pikiran. Orang sepintar apapun bisa takluk dengan perasaannya. Kepandaian otaknya tidak mampu menolong mengendalikan dorongan hatinya untuk mengekspresikan rasa suka itu dalam berbagai bentuk dan cara. Bahkan kadang-kadang bisa mengubah perilaku seseorang secara luar biasa.
Seorang laki-laki yang semula (maaf) kurang rapi bisa menjadi pribadi rapi seketika. Ia yang semula sangat cuek dengan penampilannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Mulai ujung rambutnya disisir, pakaiannya disetrika, hingga tubuhnya senantiasa berbau harum.
Jari-jari tangannya juga tidak pernah bergeser dari tombol-tombol HP. Entah apa yang diketiknya kok tidak pernah selesai. Belum lagi hobinya yang suka pojok-pojok untuk nelpon sambil senyum-senyum sendiri. Bisa berjam-jam ia nelpon; berdiri, duduk, sampai berbaring. Mungkin tema diskusinya menyangkut nasib jutaan orang sehingga sulit untuk diputus walaupun satu detik.
Ada juga kebiasaan barunya; duduk-duduk di pinggir jalan, tenggok kiri-kanan. Ternyata ia menunggu teman atau tetanggayang lewat jalan itu dengan naik motor dan sendirian. Untuk apa? Tentu saja ia ingin nebeng mengunjungi si dia yang setia menanti di sana.
Kalau perempuan yang sedang ia incar adalah si penjaga counter pulsa, ia akan sering mengisi pulsa di tempat itu. Bahkan tanpa disuruh pun ia akan mempromosikan tempat tersebut sebagai rujukan beli pulsa buat teman-temannya. Harapannya adalah teman itu akan minta ia untuk mengantarnya, berarti kesempatannya bertemu dengan pujaan hati tercapai.
Begitu pula kalau yang ia taksir adalah anaknya ibu penjual gorengan. Setiap hari ia akan mengunjungi penjual tersebut untuk membeli gorengan plus. Plusnya tentu saja bertemu dengan si anak yang saban hari membantu ibunya berjualan.
Profil di atas para pelakunya tentu remaja atau pemuda kalangan bawah; rakyat kecil. Cirinya adalah fasilitas minim, finansial sedikit, juga kesempatan tidak banyak. Janjian mereka dengan pujaan hati dilakukan di sela-sela waktu mereka bekerja mencari nafkah hidup sehari-hari. Awalnya mungkin tidak sengaja, terprovokasi ataupun coba-coba. Namun nafsu kadang susah dikendalikan.
Jika rasa kangen tidak tertahan, sebagian mereka rela ijin kepada atasannya untuk suatu keperluan yang tidak mau disebutkan; pokoknya rahasia. Jika ada tambahan waktu bekerjapun ditolaknya dengan halus meski kompensasinya lebih tinggi dari biasanya. Nampaknya mereka tidak mau kalah dengan remaja-remaja kota kaya yang disaksikannya melalui sinetron-sinetron layar kaca. Imitasi sempurna.
Anak zaman memang susah untuk berperilaku beda dengan zamannya. Tekanan sosial lingkungan dan dorongan psikologis komunal membuat berat untuk tampil lain dari umumnya orang. Orang lebih nyaman menjadi orang biasa daripada orang luar biasa. Memilih untuk sama tentu saja lebih aman dan nyaman daripada berbeda tapi tidak nyaman; dianggap nyeleneh, aneh dan tidak up to date. Nggak gaul.
Sayangnya, perilaku mayoritas tidak selalu baik dan benar. Mungkin demokrasi ada baiknya, namun tidak semuanya baik. Tergantung kualitas subyek-subyek pelakunya. Jika kualitas pelakunya orang-orang yang baik dan suka kebenaran, demokrasi disitu tentu akan baik. Namun jika pelakunya adalah para bandit, maling, pecinta kejahatan dan kemaksiatan, pastilah namanya demokrasi penjahat.
Karenanya standard nilainya harus pasti dan tidak berubah. Patokannya adalah kebenaran yang pasti dan hakiki, tidak relatif serta temporer. Standar yang tidak berubah oleh zaman, tempat dan kecenderungan nafsu manusia. Tentu saja ia bukan buatan manusia supaya bisa obyektif, juga menembus batas waktu serta ruang. Itulah wahyu Allah swt. Kebenaran mutlak dari langit. Tidak ada keraguan di dalamnya.
Jikalaupun berbeda, maka berbedalah karena kebenaran. Mengusung misi lain dari orang kebanyakan karena dorongan kebenaran tentulah istimewa. Bisa jadi dianggap tidak umum, tidak waras alias abnormal. Termasuk dalam urusan perasaan.
Menyukai lawan jenis adalah kepastian, dan itu normal. Namun jika kemudian diteruskan dengan tindakan-tindakan progresif karena dorongan nafsu, rasa suka itu akan menjadi salah. Jika belum waktunya jangan bermain-main dengan perasaan, begitulah pesan orang bijak.
Kecanggihan tehnologi khususnya alat komunikasi membuat batas wilayah semakin hilang. Orang yang nun jauh disana seberang lautan bahkan samudra luas tanpa batas, nampak jelas di pelupuk mata. Riil dan hidup. Itu juga godaan.
Motivasi bisa dipikir dan datang belakangan. Ketika hati dan rasa suka sudah muncul, alasan untuk legalitas bisa diketemukan. Memotivasi belajar, meningkatkan gairah bekerja, atau apapun alibi yang dikemukakan sebenarnya hanyalah pembelaan diri (self defense). Mungkin saja bisa, namun caranya tidak benar maka hasilnya pasti tidak baik.
Tidak layak seorang muslim meng copy paste semua kemajuan ala umat lain. Batas pergaulan , kebebasan berpakaian, kebebasan mengekspresikan rasa suka tidak termasuk yang harus ditiru mutlak. Toh kita sudah punya batas nilai sendiri. Kita menyebutkan adab pergaulan terhadap lawan jenis.
Paling tidak ada tiga hal yang harus kita jaga ketika berhubungan dengan lawan jenis, tentu saja mereka yang bukan keluarga kita (mahram). Prinsip pertama adalah membentengi diri dari melihat yang tidak boleh. Islam mengatakan perbuatan tersebut sebagai ghodul bashor (menundukkan pandangan). Karena mata adalah pintu pertama, kita harus menjaganya dengan baik. Tidak jelalatan, atau malah mencari-cari untuk dipandang.
Hal kedua yang harus kita hindari adalah berduaan dengan lawan jenis, secara fisik riil maupun non riil. Dengan komunikasi berduaan bisa berarti dengan HP, internet maupun fasilitas yang sejenis. Kita menyebutnya khalwat (berduaan). Awas, ketika dua orang lawan jenis berduaan ada pihak ketiga yang menemani yaitu syetan. Tentu saja memprovokasi mereka untuk berbuat lebih tidak baik lagi dari sekedar berduaan.
Tindakan ketiga yang perlu kita jaga adalah menyentuh lawan jenis. Tidak perlu menyentuhnya kalau ia bukan orang-orang yang dihalalkan oleh agama untuk kita sentuh; orang tua, saudara kandung, atau karena hubungan pernikahan sehingga boleh bagi kita. Inilah prinsip yang susah untuk istiqomah dikerjakan ketika acara walimah, kenduri, atau menghadiri acara-acara seremonial lainnya. Sesuatu yang sering kita harus hadiri sebagai ciri makhluk sosial.
Jarang kita menemukan sebuah situasi massa yang tidak terjadi ikhtilat (percampuran laki dan perempuan). Pendidikan, rumah sakit, apalagi pasar merupakan tempat yang hampir mustahil tidak terjadi percampuran laki-perempuan. Khusus pendidikan sebenarnya bisa untuk diskenariokan untuk tidak bercampur, terutama lembaga berbasis Islam. Tinggal motivasi dan kebijakan untuk menerapkan aturan tersebut.
Lebih dari semua aturan tersebut adalah kemauan untuk tunduk kepada aturan Allah swt. Itu prinsip dan pembuka tindakan. Selama tidak ada keingginan melaksanakan tuntunan Allah swt dan rasul-Nya, semua aturan bisa dicari celahnya untuk dimanfaatkan demi menuruti dorongan nafsunya. Hanya keyakinan akan tanggung jawab terhadap hari akhir yang mampu membimbing seseorang senantiasa meniti jalan-jalan kebenaran meskipun itu sulit, berat dan tidak semua manusia mau melewatinya. Semoga kita termasuk golongan itu.
Inilah salah satu episode paling menarik dalam perjalanan seorang manusia; menyukai lawan jenis. Rasa suka itu bisa muncul pada siapa saja tanpa terkecuali. Tentu saja ada perbedaan kualitas dan cara menyikapinya. Biasanya semakin baik kualitas keimanan dan kedewasaan karakter seseorang penyikapannya akan semakin lebih baik. Meski tidak juga selalu begitu.
Ini masalah perasaan maka lebih sering penguasanya adalah emosi, bukan pikiran. Orang sepintar apapun bisa takluk dengan perasaannya. Kepandaian otaknya tidak mampu menolong mengendalikan dorongan hatinya untuk mengekspresikan rasa suka itu dalam berbagai bentuk dan cara. Bahkan kadang-kadang bisa mengubah perilaku seseorang secara luar biasa.
Seorang laki-laki yang semula (maaf) kurang rapi bisa menjadi pribadi rapi seketika. Ia yang semula sangat cuek dengan penampilannya berbalik seratus delapan puluh derajat. Mulai ujung rambutnya disisir, pakaiannya disetrika, hingga tubuhnya senantiasa berbau harum.
Jari-jari tangannya juga tidak pernah bergeser dari tombol-tombol HP. Entah apa yang diketiknya kok tidak pernah selesai. Belum lagi hobinya yang suka pojok-pojok untuk nelpon sambil senyum-senyum sendiri. Bisa berjam-jam ia nelpon; berdiri, duduk, sampai berbaring. Mungkin tema diskusinya menyangkut nasib jutaan orang sehingga sulit untuk diputus walaupun satu detik.
Ada juga kebiasaan barunya; duduk-duduk di pinggir jalan, tenggok kiri-kanan. Ternyata ia menunggu teman atau tetanggayang lewat jalan itu dengan naik motor dan sendirian. Untuk apa? Tentu saja ia ingin nebeng mengunjungi si dia yang setia menanti di sana.
Kalau perempuan yang sedang ia incar adalah si penjaga counter pulsa, ia akan sering mengisi pulsa di tempat itu. Bahkan tanpa disuruh pun ia akan mempromosikan tempat tersebut sebagai rujukan beli pulsa buat teman-temannya. Harapannya adalah teman itu akan minta ia untuk mengantarnya, berarti kesempatannya bertemu dengan pujaan hati tercapai.
Begitu pula kalau yang ia taksir adalah anaknya ibu penjual gorengan. Setiap hari ia akan mengunjungi penjual tersebut untuk membeli gorengan plus. Plusnya tentu saja bertemu dengan si anak yang saban hari membantu ibunya berjualan.
Profil di atas para pelakunya tentu remaja atau pemuda kalangan bawah; rakyat kecil. Cirinya adalah fasilitas minim, finansial sedikit, juga kesempatan tidak banyak. Janjian mereka dengan pujaan hati dilakukan di sela-sela waktu mereka bekerja mencari nafkah hidup sehari-hari. Awalnya mungkin tidak sengaja, terprovokasi ataupun coba-coba. Namun nafsu kadang susah dikendalikan.
Jika rasa kangen tidak tertahan, sebagian mereka rela ijin kepada atasannya untuk suatu keperluan yang tidak mau disebutkan; pokoknya rahasia. Jika ada tambahan waktu bekerjapun ditolaknya dengan halus meski kompensasinya lebih tinggi dari biasanya. Nampaknya mereka tidak mau kalah dengan remaja-remaja kota kaya yang disaksikannya melalui sinetron-sinetron layar kaca. Imitasi sempurna.
Anak zaman memang susah untuk berperilaku beda dengan zamannya. Tekanan sosial lingkungan dan dorongan psikologis komunal membuat berat untuk tampil lain dari umumnya orang. Orang lebih nyaman menjadi orang biasa daripada orang luar biasa. Memilih untuk sama tentu saja lebih aman dan nyaman daripada berbeda tapi tidak nyaman; dianggap nyeleneh, aneh dan tidak up to date. Nggak gaul.
Sayangnya, perilaku mayoritas tidak selalu baik dan benar. Mungkin demokrasi ada baiknya, namun tidak semuanya baik. Tergantung kualitas subyek-subyek pelakunya. Jika kualitas pelakunya orang-orang yang baik dan suka kebenaran, demokrasi disitu tentu akan baik. Namun jika pelakunya adalah para bandit, maling, pecinta kejahatan dan kemaksiatan, pastilah namanya demokrasi penjahat.
Karenanya standard nilainya harus pasti dan tidak berubah. Patokannya adalah kebenaran yang pasti dan hakiki, tidak relatif serta temporer. Standar yang tidak berubah oleh zaman, tempat dan kecenderungan nafsu manusia. Tentu saja ia bukan buatan manusia supaya bisa obyektif, juga menembus batas waktu serta ruang. Itulah wahyu Allah swt. Kebenaran mutlak dari langit. Tidak ada keraguan di dalamnya.
Jikalaupun berbeda, maka berbedalah karena kebenaran. Mengusung misi lain dari orang kebanyakan karena dorongan kebenaran tentulah istimewa. Bisa jadi dianggap tidak umum, tidak waras alias abnormal. Termasuk dalam urusan perasaan.
Menyukai lawan jenis adalah kepastian, dan itu normal. Namun jika kemudian diteruskan dengan tindakan-tindakan progresif karena dorongan nafsu, rasa suka itu akan menjadi salah. Jika belum waktunya jangan bermain-main dengan perasaan, begitulah pesan orang bijak.
Kecanggihan tehnologi khususnya alat komunikasi membuat batas wilayah semakin hilang. Orang yang nun jauh disana seberang lautan bahkan samudra luas tanpa batas, nampak jelas di pelupuk mata. Riil dan hidup. Itu juga godaan.
Motivasi bisa dipikir dan datang belakangan. Ketika hati dan rasa suka sudah muncul, alasan untuk legalitas bisa diketemukan. Memotivasi belajar, meningkatkan gairah bekerja, atau apapun alibi yang dikemukakan sebenarnya hanyalah pembelaan diri (self defense). Mungkin saja bisa, namun caranya tidak benar maka hasilnya pasti tidak baik.
Tidak layak seorang muslim meng copy paste semua kemajuan ala umat lain. Batas pergaulan , kebebasan berpakaian, kebebasan mengekspresikan rasa suka tidak termasuk yang harus ditiru mutlak. Toh kita sudah punya batas nilai sendiri. Kita menyebutkan adab pergaulan terhadap lawan jenis.
Paling tidak ada tiga hal yang harus kita jaga ketika berhubungan dengan lawan jenis, tentu saja mereka yang bukan keluarga kita (mahram). Prinsip pertama adalah membentengi diri dari melihat yang tidak boleh. Islam mengatakan perbuatan tersebut sebagai ghodul bashor (menundukkan pandangan). Karena mata adalah pintu pertama, kita harus menjaganya dengan baik. Tidak jelalatan, atau malah mencari-cari untuk dipandang.
Hal kedua yang harus kita hindari adalah berduaan dengan lawan jenis, secara fisik riil maupun non riil. Dengan komunikasi berduaan bisa berarti dengan HP, internet maupun fasilitas yang sejenis. Kita menyebutnya khalwat (berduaan). Awas, ketika dua orang lawan jenis berduaan ada pihak ketiga yang menemani yaitu syetan. Tentu saja memprovokasi mereka untuk berbuat lebih tidak baik lagi dari sekedar berduaan.
Tindakan ketiga yang perlu kita jaga adalah menyentuh lawan jenis. Tidak perlu menyentuhnya kalau ia bukan orang-orang yang dihalalkan oleh agama untuk kita sentuh; orang tua, saudara kandung, atau karena hubungan pernikahan sehingga boleh bagi kita. Inilah prinsip yang susah untuk istiqomah dikerjakan ketika acara walimah, kenduri, atau menghadiri acara-acara seremonial lainnya. Sesuatu yang sering kita harus hadiri sebagai ciri makhluk sosial.
Jarang kita menemukan sebuah situasi massa yang tidak terjadi ikhtilat (percampuran laki dan perempuan). Pendidikan, rumah sakit, apalagi pasar merupakan tempat yang hampir mustahil tidak terjadi percampuran laki-perempuan. Khusus pendidikan sebenarnya bisa untuk diskenariokan untuk tidak bercampur, terutama lembaga berbasis Islam. Tinggal motivasi dan kebijakan untuk menerapkan aturan tersebut.
Lebih dari semua aturan tersebut adalah kemauan untuk tunduk kepada aturan Allah swt. Itu prinsip dan pembuka tindakan. Selama tidak ada keingginan melaksanakan tuntunan Allah swt dan rasul-Nya, semua aturan bisa dicari celahnya untuk dimanfaatkan demi menuruti dorongan nafsunya. Hanya keyakinan akan tanggung jawab terhadap hari akhir yang mampu membimbing seseorang senantiasa meniti jalan-jalan kebenaran meskipun itu sulit, berat dan tidak semua manusia mau melewatinya. Semoga kita termasuk golongan itu.