Bismillahirrahmanirrahim
Peradaban adalah wujud konkret realitas iman seseorang dalam setiap sisi kehidupan. Setiap sisi kehidupan tentu saja mewakili seluruh aspek gerak seseorang; ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain manifestasi seseorang dalam setiap langkah kehidupan itulah peradaban. Dan tentu saja peradaban Islam adalah peradaban Qur’an.
Peradaban Islam bermula sejak Rasulullah saw menerima wahyu dari Allah swt yakni surat al-Alaq ayat 1-5 di gua Hira’. Itulah awal blue print peradaban Islam dicetak dan siap untuk diwujudkan dalam kehidupan.
Proses pembentukan peradaban Islam secara sosial memang sangat berat ketika dakwah Islam masih selingkup kota Makkah. Tantangan dan permusuhan orang-orang kafir, terutama para pembesarnya, membuat aktualisasi peradaban Islam ketika itu tidak bisa leluasa. Tidak sedikit pemeluk Islam generasi awal harus menyembunyikan identitas muslimnya demi menjaga nyawa tidak meregang dari badan. Allah swt memahami kondisi tersebut dan memperbolehkan sikap itu dipilih selama situasinya darurat betul dan bara iman tetap tersimpan kuat di dalam dada(QS. An-Nahl ayat 85).
Visi besar memujudkan tegaknya peradaban Islam yang kaffah menemukan momentumnya ketika Rasulullah saw melaksanakan hijrah ke Madinah. Lahan dakwah yang sudah disemai oleh Mushab bin Umair mendapatkan sentuhan pengokohan. Tunas-tunas Islam telah menancap kuat di dada para penolong (Anshar), terlebih bagi para pendatang (Muhajirin) yang telah mengalami masa-masa tidak menyenangkan selama menjaga keberadaan iman selama 13 tahun di Makkah.
Panduan wahyu Allah swt terhadap gabungan energi besar Anshar dan Muhajirin menjadikan Madinah sebagai wujud nyata idealitas peradaban Islam. Tatanan sosial, relasi sosial, struktur ekonomi dan kesanggupan berkorban apapun demi agama tergambar jelas. Masa yang penuh keindahan, kecemerlangan dan naungan ridho Allah swt tersebut menjadi mimpi serta harapan setiap muslim pada generasi-generasi berikutnya hingga akhir zaman nanti.
Rasulullah saw wafat meninggalkan ratusan ribu anak panah yang siap melanjutkan estafeta keberlangsungan peradaban Islam. Maka tidak hanya Madinah, Makkah dan jazirah Arab yang merasakan kenikmatan hidup dalam sentuhan nubuwwah, gema suara adzanpun terdengar di benua hitam Afrika, benua biru Eropa dan tentu saja Asia tempat kita tinggal dan menetap.
Namun tetap saja tidak ada yang abadi dalam kefanaan dunia, apapun itu. Kecemerlangan sentuhan nubuwwah penuh berkah mulai mengalami penurunan nilai pasca wafatnya empat khalifah yang lurus (khalifah rasyidah) Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Thalib radhiyallahu’anhum ajma’in. Pertanda akhir sebuah era dan permulaan era yang lain.
Perlahan-lahan ketaatan manusia terhadap patokan wahyu menyusut. Iman sebagai panduan hidup mulai berbenturan dengan sentuhan syahwat materi dan godaan hati untuk mencintai sebagian yang subhat. Awalnya adalah sedikit, ibarat minum air laut haus ternyata tidak hilang dengan sekali teguk tapi justru akan semakin haus ketika semakin minum. Benarlah sabda Rasulullah saw bahwa mulut manusia itu baru akan merasa puas jika diisi dengan tanah alias masuk ke liang kubur.
Sempat hadir beberapa pemimpin harapan untuk menjaga bangunan umat supaya tidak roboh. Umar bin Abdul Aziz, sang khulafaurrasyidin ke 5, berusaha mengembalikan era nubuwwah di tengah keluarga Umawi yang sebagian sudah terjerat cinta dunia berlebihan. Sang khalifah berhasil mewujudkan kesehateraan misal selama dua setengah tahun masa pemerintahannya sampai-sampai para amil zakat bingung hendak kemana membagi harta zakat. Sayang konspirasi jahat para penggila harta dan kuasa berhasil mengantar beliau lebih cepat menemui Rabbnya.
Hadir pula dalam pentas sejarah sosok Sultan Sholahuddin al-Ayubi, sang pembebas al-Quds. Asa kaum muslimin selama 90 tahun untuk melepaskan tanah suci ketiga tersebut dari tangan para penyembah kayu salib terwujudkan. Beliau berhasil membangkitkan kembali bara jihad yang sekian lama sebelumnya terpuruk di hati para lelaki muslim.
Para ulama salafus sholeh juga berjasa besar memihara keberlangsungan cahaya Allah swt tetap bersinar terang di permukaan bumi. Kehadiran para imam-imam fiqih dan hadist menjadi obor penerang umat ditengah kejayaan materi umat yang kian melimpah ruah. Tanpa mereka jelas umat akan semakin lepas kendali dan lebih cepat keterpurukan melanda umat ini.
Setelah invasi biadab bangsa barbar Tartar, kedatangan bangsa barat seakan menjadi titik besar kemunduran umat Islam dalam percaturan peradaban manusia. Imperialisme dan kolonialisme menjadi gong permulaan dominasi peradaban materialisme barat yang menindas dan memporak-porandakan semua sendi penopang bangunan peradaban Islam. Yahudi dengan zionismenya berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang dan tangan lainnya mengenggam bola dunia.
Umat terlucuti keagungannya. Tak tampak lagi rona kebanggaan sebagai para pewaris kebenaran para nabi dan rasul. Risalah langit termarjinalkan di sudut-sudut kehidupan. Cengkeraman itu terasa sangat dalam karena berulang kali para pahlawan Islam yang muncul belum sanggup mencabutnya dari tubuh umat.
Abad telah berlalu sementara kemenangan kembali umat ini belum terlaksana. Bukankah sudah banyak darah syuhada tertumpah untuk menegakkan kembali keagungan agama ini? Bukankah sudah ribuan bahkan jutaan para pembela Islam bangkit berusaha membebaskan umat ini dari ketidak berdayaan di hadapan orang-orang kafir penentang Allah swt?
“Dan demikianlah kami pergilirkan hari-hari itu (kemenangan) diantara manusia”. “Dan tidaklah kamu akan mendapati bahwa sunnah-sunnah Allah swt akan berubah”.
Spirit itu harus terus terjaga dalam setiap hati dan doa orang-orang beriman. Waktu bukan masalah, siapa pendobrak dan pengusung bendera kemenangan bukan persoalan. Keagungan risalah dan umat ini harus direbut kembali berapapun ongkos yang harus dikeluarkan. Tidak peduli berapa nyawa harus dikorbankan. Dan tak perlu bertanya berapa waktu yang diperlukan. “Sesungguhnya Allah swt tidak akan menyalahi janji-Nya”.
Peradaban adalah wujud konkret realitas iman seseorang dalam setiap sisi kehidupan. Setiap sisi kehidupan tentu saja mewakili seluruh aspek gerak seseorang; ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain manifestasi seseorang dalam setiap langkah kehidupan itulah peradaban. Dan tentu saja peradaban Islam adalah peradaban Qur’an.
Peradaban Islam bermula sejak Rasulullah saw menerima wahyu dari Allah swt yakni surat al-Alaq ayat 1-5 di gua Hira’. Itulah awal blue print peradaban Islam dicetak dan siap untuk diwujudkan dalam kehidupan.
Proses pembentukan peradaban Islam secara sosial memang sangat berat ketika dakwah Islam masih selingkup kota Makkah. Tantangan dan permusuhan orang-orang kafir, terutama para pembesarnya, membuat aktualisasi peradaban Islam ketika itu tidak bisa leluasa. Tidak sedikit pemeluk Islam generasi awal harus menyembunyikan identitas muslimnya demi menjaga nyawa tidak meregang dari badan. Allah swt memahami kondisi tersebut dan memperbolehkan sikap itu dipilih selama situasinya darurat betul dan bara iman tetap tersimpan kuat di dalam dada(QS. An-Nahl ayat 85).
Visi besar memujudkan tegaknya peradaban Islam yang kaffah menemukan momentumnya ketika Rasulullah saw melaksanakan hijrah ke Madinah. Lahan dakwah yang sudah disemai oleh Mushab bin Umair mendapatkan sentuhan pengokohan. Tunas-tunas Islam telah menancap kuat di dada para penolong (Anshar), terlebih bagi para pendatang (Muhajirin) yang telah mengalami masa-masa tidak menyenangkan selama menjaga keberadaan iman selama 13 tahun di Makkah.
Panduan wahyu Allah swt terhadap gabungan energi besar Anshar dan Muhajirin menjadikan Madinah sebagai wujud nyata idealitas peradaban Islam. Tatanan sosial, relasi sosial, struktur ekonomi dan kesanggupan berkorban apapun demi agama tergambar jelas. Masa yang penuh keindahan, kecemerlangan dan naungan ridho Allah swt tersebut menjadi mimpi serta harapan setiap muslim pada generasi-generasi berikutnya hingga akhir zaman nanti.
Rasulullah saw wafat meninggalkan ratusan ribu anak panah yang siap melanjutkan estafeta keberlangsungan peradaban Islam. Maka tidak hanya Madinah, Makkah dan jazirah Arab yang merasakan kenikmatan hidup dalam sentuhan nubuwwah, gema suara adzanpun terdengar di benua hitam Afrika, benua biru Eropa dan tentu saja Asia tempat kita tinggal dan menetap.
Namun tetap saja tidak ada yang abadi dalam kefanaan dunia, apapun itu. Kecemerlangan sentuhan nubuwwah penuh berkah mulai mengalami penurunan nilai pasca wafatnya empat khalifah yang lurus (khalifah rasyidah) Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Thalib radhiyallahu’anhum ajma’in. Pertanda akhir sebuah era dan permulaan era yang lain.
Perlahan-lahan ketaatan manusia terhadap patokan wahyu menyusut. Iman sebagai panduan hidup mulai berbenturan dengan sentuhan syahwat materi dan godaan hati untuk mencintai sebagian yang subhat. Awalnya adalah sedikit, ibarat minum air laut haus ternyata tidak hilang dengan sekali teguk tapi justru akan semakin haus ketika semakin minum. Benarlah sabda Rasulullah saw bahwa mulut manusia itu baru akan merasa puas jika diisi dengan tanah alias masuk ke liang kubur.
Sempat hadir beberapa pemimpin harapan untuk menjaga bangunan umat supaya tidak roboh. Umar bin Abdul Aziz, sang khulafaurrasyidin ke 5, berusaha mengembalikan era nubuwwah di tengah keluarga Umawi yang sebagian sudah terjerat cinta dunia berlebihan. Sang khalifah berhasil mewujudkan kesehateraan misal selama dua setengah tahun masa pemerintahannya sampai-sampai para amil zakat bingung hendak kemana membagi harta zakat. Sayang konspirasi jahat para penggila harta dan kuasa berhasil mengantar beliau lebih cepat menemui Rabbnya.
Hadir pula dalam pentas sejarah sosok Sultan Sholahuddin al-Ayubi, sang pembebas al-Quds. Asa kaum muslimin selama 90 tahun untuk melepaskan tanah suci ketiga tersebut dari tangan para penyembah kayu salib terwujudkan. Beliau berhasil membangkitkan kembali bara jihad yang sekian lama sebelumnya terpuruk di hati para lelaki muslim.
Para ulama salafus sholeh juga berjasa besar memihara keberlangsungan cahaya Allah swt tetap bersinar terang di permukaan bumi. Kehadiran para imam-imam fiqih dan hadist menjadi obor penerang umat ditengah kejayaan materi umat yang kian melimpah ruah. Tanpa mereka jelas umat akan semakin lepas kendali dan lebih cepat keterpurukan melanda umat ini.
Setelah invasi biadab bangsa barbar Tartar, kedatangan bangsa barat seakan menjadi titik besar kemunduran umat Islam dalam percaturan peradaban manusia. Imperialisme dan kolonialisme menjadi gong permulaan dominasi peradaban materialisme barat yang menindas dan memporak-porandakan semua sendi penopang bangunan peradaban Islam. Yahudi dengan zionismenya berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang dan tangan lainnya mengenggam bola dunia.
Umat terlucuti keagungannya. Tak tampak lagi rona kebanggaan sebagai para pewaris kebenaran para nabi dan rasul. Risalah langit termarjinalkan di sudut-sudut kehidupan. Cengkeraman itu terasa sangat dalam karena berulang kali para pahlawan Islam yang muncul belum sanggup mencabutnya dari tubuh umat.
Abad telah berlalu sementara kemenangan kembali umat ini belum terlaksana. Bukankah sudah banyak darah syuhada tertumpah untuk menegakkan kembali keagungan agama ini? Bukankah sudah ribuan bahkan jutaan para pembela Islam bangkit berusaha membebaskan umat ini dari ketidak berdayaan di hadapan orang-orang kafir penentang Allah swt?
“Dan demikianlah kami pergilirkan hari-hari itu (kemenangan) diantara manusia”. “Dan tidaklah kamu akan mendapati bahwa sunnah-sunnah Allah swt akan berubah”.
Spirit itu harus terus terjaga dalam setiap hati dan doa orang-orang beriman. Waktu bukan masalah, siapa pendobrak dan pengusung bendera kemenangan bukan persoalan. Keagungan risalah dan umat ini harus direbut kembali berapapun ongkos yang harus dikeluarkan. Tidak peduli berapa nyawa harus dikorbankan. Dan tak perlu bertanya berapa waktu yang diperlukan. “Sesungguhnya Allah swt tidak akan menyalahi janji-Nya”.