Kita semua, saya dan anda pastilah menginginkan sukses dalam hidupnya. Menjadi orang sukses tentulah idaman setiap orang. Jika tidak pastilah ia orang aneh. Dalam kehidupan kita sekarang ini sukses identik dengan keberhasilan yang sifatnya material. Mengapa demikian? Karena kita sedang hidup dalam masyarakat yang kental dengan budaya dan nilai materialistic.
Wajar kalau mayoritas orang tua yang memiliki anak senantiasa mendoktrin buah hatinya dengan serangkaian nasehat serta petuah sebagai bekal meraih kesuksesan. “belajar rajin biar besok bisa kerja yang enak”, “bekerja serius supaya dipercaya atasan dan gajinya cepat naik” dan beragam pesan-pesan lainnya yang senada ungkapan dan maknanya.
Dengan kerangka berfikir seperti itu pula proses mencari pasangan hidup bagi seorang gadis tidak boleh melewatkan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini dari orang tuanya; “calonmu itu bisa menghidupimu dengan layak tidak?”, “rencananya nanti setelah menikah kalian mau tinggal dimana?”, dan sederet pertanyaannya untuk memastikan anak gadisnya dapat hidup dengan layak usai menikah kelak.
Apakah salah ketika kita berfikir seperti di atas; mengukur kesuksesan dengan ukuran-ukuran material? Jawaban ya dan tidak bisa masuk kedua-duanya. Tergantung perspektif kita sebagai penjawabnya.
Jika materi menjadi fokus dari keberlangsungan hidup seseorang maka pilihannya tersebut kurang tepat. Keinginan manusia terhadap materi senantiasa berkembang dan bertambah. Tidak ada kata berhenti atau puas terhadap kepemilikan terhadap materi. Nafsu manusia akan selalu menginginkan tambah dan tambah lagi. Selalu begitu. Dan ambisi itu akan berhenti setelah ia meninggal dunia, atau dalam bahasa Rasulullah saw “setelah mulutnya dipenuhi dengan tanah”. (al-hadist).
Kecintaan berlebihan terhadap materi juga bisa menjadikan seseorang gelap mata. Kalau ia berupa harta maka asal usul dan cara tidak terlalu diperhatikan. Ada idiom yang sungguh tidak baik sudah sering kita dengar dari sebagian orang dewasa ini “mencari yang haram saja susah, apalagi mikirin yang halal”. Kalimat salah keluar dari orang tidak berpengetahuan baik.
Termasuk juga jika kita berbicara jabatan. Pokoknya posisi itu diperoleh, terkait dengan sikut kanan sikut kiri, black campaign terhadap competitor, juga deal dengan bandar judi dan mafia bukan masalah. Tentu saja itu semua tidak gratis. Barter kebijakan mesti terjadi ketika nanti menjabat sebagai imbalan pasokan dana sewaktu kampanye sebelumnya. Sebuah harga mahal untuk satu konsep bernama demokrasi.
Sayangnya pola pikir materialisme justru yang sekarang ini digemari dan digandrungi oleh sebagian besar masyarakat manusia di dunia, termasuk sebagian umat Islam. Barat sebagai penguasa peradaban modern sekarang ini gencar sekali mengekspor ideologinya tersebut ke seluruh pelosok penjuru dunia. Dengan kekuatan media; cetak elektronik dan komunikasi hampir tidak ada jengkal tanah yang tidak terkena kampanye mereka. Mungkin hanya orang gua yang tidak pernah keluar dari tempatnya sejak lahir sampai meninggal selamat dari jebakan tipu daya mereka.
Idealnya kita sebagai seorang makhluk yang tujuan keberadaannya untuk berbakti kepada Allah swt memiliki prinsip kehidupan berbeda dengan mereka. Dengan memahami esensi fungsi dan tugas dirinya manusia memiliki worldview yang lengkap mencakup seluruh aspek kehidupannya, termasuk tanggung jawab sosial untuk memastikan dunia beserta seluruh isinya berjalan dalam rel syariat yang benar.
Belum lagi jika memikirkan pertanggung jawaban akhir kelak di hari pembalasan. Itulah salah satu pilar pembeda kita sebagai muslim dengan orang-orang yang tidak meyakini adanya hari kiamat. Keyakinan itu sekaligus menjadi rem kita sehingga semua langkah dan tindakan keseharian sebagai seorang manusia terjaga dalam koridor kebaikan, kebenaran dan ketaatan kepada Allah swt.
Berbeda halnya apabila seseorang tidak meyakini adanya saat pembalasan nantinya. Ketidak punyaannya terhadap perspektif jauh ke depan tentang pertanggung jawaban kepada Pemberi Kehidupan membuat mereka seolah-olah hanya menghabiskan seluruh upaya, kerja dan kesenangan di dunia semata. Mereka tidak memiliki kekhawatiran terhadap buah dari seluruh perbuatannya di dunia. Kalaupun takut berbuat salah tidak lebih karena khawatir sanksi dan hukuman dari aturan manusia sehingga manakala ia berkuasa dan mempunyai uang untuk mengatur seperangkat penegak hukum, ketakutan itu hilang dengan sendirinya.
Maka kerangka berfikir tentang indikator-indikator sukses itu yang harus dirubah. Dalam Islam sukses itu berdimensi dekat dan jauh; dekat berkorelasi dengan dunia, sementara jauh berarti akhirat. Maka doa setiap muslim adalah “Ya Allah berikanlah kepada kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka”. (QS. al-baqarah).
Doa di atas melambangkan perspektif seorang muslim yang sempurna dan jauh ke depan. Ia tidak hanya meminta sesuatu di depan mata yang pragmatis, tetapi juga mempersiapkan kondisi masa depan dirinya setelah meninggal nanti. Rasulullah saw menyebut orang-orang seperti itu sebagai orang cerdas. “Orang cerdas adalah orang yang mempersiapkan untuk akhiratnya”. (al-Hadist).
Dengan demikian apabila seseorang ingin masuk ke dalam kategori sukses menurut indikasi-indikasi yang ditunjukkan Rasulullah saw haruslah menjadi orang baik. Mengapa harus baik? Karena tanpa menjadi orang baik mustahil orang itu mau melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi semua larangan Allah swt dalam kondisi apapun dan tempat manapun.
Tentu saja baik di sini rujukannya adalah Allah swt dan Rasulullah saw seperti tercantum dalam panduan hidup muslim yakni al-Qura’nul karim serta al-Hadist asy-syarif. Patokannya jelas dan tetap, bukan baik dalam pandangan manusia yang sifatnya bisa berubah-ubah menurut pikiran latar belakang dan kepentingan subyektif para pembuatnya.
Jika ia orang baik kesuksesan duniawi dan materi pastilah diperoleh dengan cara benar serta dipergunakan pada jalan benar pula. Tidak ada pula bentuk arogansi kepada orang lain karena memiliki kelebihan harta maupun jabatan tinggi yang sedang ia sandang. Tanggung jawab sosial juga akan tinggi terhadap lingkungan sekitara maupun umat secara keseluruhan. Itu semua bermuara kepada satu tujuan hakiki hidupnya yakni mencari keridhoan Allah swt.