Desain awal musyawarah adalah untuk menyelesaian permasalahan, mensikronkan semua hal yang belum nyambung dan memberikan keputusan final terhadap hal-hal yang masih mengambang. Maka semua argumentasi, dalil, alasan dan sebab akibat akan dikeluarkan sehingga menemukan solusi atau jalan keluar dari permasalahan. Tentu saja akan menimbulkan diskusi menarik apabila semua peserta berfikir keras memeras otak dan menggali penggalaman pribadi ataupun orang lain sebagai acuan peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu
Repotnya memang terkadang dan tidak jarang diskusi berkembang menjadi debat panas penuh nuansa persaingan kepentingan dengan ide serta argumentasi masing-masing. Kualitas pemimpin forum mutlak menentukan lancar tidaknya alur diskusi, atau bahkan tidak lebih dari debat kusir tanpa arah dan keputusan.
Biasanya forum musyawarah akan menjadi hangat apabila masing-masing pihak memegang erat prinsipnya tanpa mau berkompromi dengan pihak lain. Disitulah masalahnya. Padahal musyawarah dibuat untuk memadukan semua kepentingan pribadi atau kelompok menjadi kepentingan bersama. Memangkas semua ambisi setiap kelompok menjadi ambisi bersama seluruh peserta musyawarah.
Tidak masalah kalau memang harus terjadi debat panas dengan suara yang cukup keras, mata melotot atau bahkan sambil berdiri untuk memberikan penekanan pada argumentasinya. Asalkan kepala dan hati tetap dingin, dan senyum masih terkembang lebar di bibir masing-masing. Karena lebih baik semua uneg-uneg terlontar di forum resmi daripada gerundel dibelakang. Hal itu merupakan kebiasaan yang kurang baik.
Kuncinya pada pengendalian emosi dan kepentingan masing-masing. Jika tidak mampu mengerem itu semua akibatnya bisa fatal. Kita tidak sedikit kali mendengar rapat nasional sebuah organisasi baik pemuda maupun orang dewasa terjadi adu jotos, lempar-lemparan kursi, jual beli kata-kata kasar atau umpatan dan sebagian memilih aksi walk out keluar sidang. Langkah selanjutnya biasanya muncul kepengurusan tandingan dari organisasi tersebut. Rasanya tidak sekali dua kali kita mendengar dan melihat fenomena seperti itu di masyarakat.
Bahkan seorang teman pernah bercerita tentang serunya suasana rapat yang ia ikuti dari sebuah lembaga mahasiswa Islam beberapa tahun silam. Acara rapat yang dibarengi dengan angkat dan banting kursi, kata-kata kurang baik hampir menjadi pemandangan wajib. What a shame!!!
Lebih ironis lagi jika salah seorang peserta rapat yang memang orang cukup baik dan memiliki pemahanam Islam cukup baik pula mencoba untuk berdalil dengan ayat-ayat al-Qur’an atau menenangkan peserta rapat supaya suasana lebih kondusif, tidak jarang akan diejek peserta rapat lainnya. Misalnya beberapa dari mereka akan berkata “kalau ceramah di masjid saja mas”, atau bahkan akan berteriak-teriak seperti orang kesurupan “panas, panas. kita kan jin dengar ayat Qur’an pasti kepanasan” sambil melompat-lompat di tempatnya. Nau’dzubillah.
Jika sudah seperti itu musyawarah bukan sesuatu yang menarik dan produktif lagi. Kalau tujuan awalnya adalah untuk mencari solusi, hasilnya justru menimbulkan masalah-masalah baru. Perang batin, perang perasaan, perang dingin antar pihak-pihak tertentu dan perang-perang lainnya.
Sehingga idealnya setiap kita harus siap lebih dahulu untuk berbagi kepentingan dengan orang lain sebelum menghadiri atau masuk ke sebuah ruangan untuk bermusyawarah. Siap untuk memberi dan menerima. Memberikan usul dan solusi serta menerima keputusan terbaik yang disepakati bersama pula.
Penyiapan diri tentu lebih baik sehingga timbul perasaan tidak selalu merasa benar ide dan pikirannya, tidak mesti menang kemauannya dan motivasi untuk selalu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Padahal itu yang paling penting namun tidak jarang malah terkubur oleh ego dan ambisi sebagian peserta musyawarah.