RSS

Sejenak mengingat kesalahan

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Pernahkan kita mengkalkulasi secara cermat dan jujur dosa-dosa kita sejak baligh sampai hari ini? Mungkin ada diantara kita yang melakukannya, meski jumlahnya tidak banyak. Betapa melimpahnya kesalahan-kesalahan kita kepada Allah swt mulai dari skala yang kecil sampai besar. Bahkan ada juga sebagian yang kita lupa atau sengaja kita lupakan. Mungkin kita berfikir; ah..... itu kan dosa kecil saja paling-paling juga Allah swt memaafkannya.

Atau juga sudah terlanjur salah cara berfikir kita. Kita sejak kecil sudah diajari bahwa setiap muslim yang sudah bersyahadat pasti masuk surga. Kuncinya adalah syahadat. Keyakinan itu menjadi bagian alam bawah sadar kita sehingga sebagian saudara kita mempunyai motto “yang penting syahadat, sholat tidak wajib apalagi puasa. Maksiat selama tidak syirik langsung tidak masalah karena pasti dimaafkan”.

Memang benar Allah swt menjamin hamba-Nya yang bersyahadat akan masuk surga. Tetapi bukan sekedar syahadat lisan saja. Syahadat yang dijamin Allah swt dengan surga adalah syahadat yang diwujudkan dengan amal perbuatan sehari-hari. Amal perbuatan yang tentu saja sesuai dengan perintah Allah swt serta tidak sedikitpun melanggar laranganNya.

Teringat saya dengan salah seorang sahabat besar Rasulullah saw, Umar ibnul Khatab. Dalam kisah hidunya kita menyimak satu episode tentang ketakutan beliau akan kesalahannya pada masa lalu. Beliau setiap sholat sewaktu melakukan salam dengan memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan tidak jarang menangis. Bahkan sampai sesunggukan sambil berlinang air mata. Para sahabat heran dengan sikap Umar bin Khatab.

Salah seorang mereka kemudian bertanya kepada Umar bin Khatab tentang kebiasaan tersebut. Di sela-sela tangisnya Umar bin Khatab menjawab bahwa ia teringat akan putrinya. Umar menjelaskan bahwa dulu di masa jahilyyah ia pernah membunuh salah seorang putrinya yang masih kecil. Ia melakukan perbuatan tersebut karena malu mempunyai anak perempuan. Tradisi jahiliyyah memang memandang rendah derajat perempuan. Kelahirannya merupakan aib, keberadaanya dianggap menyusahkan kabilahnya.

Umar merasa bersalah kepada putrinya dan berdosa besar kepada Allah swt atas perbuatannya tersebut. Ia sadar betul balasan Allah swt bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak adalah neraka. Ia merasa bayangan putrinya selalu hadir di pelupuk mata. Perasaan tersebut masih saja seperti itu meskipun Rasulullah saw telah mengabarinya menjadi salah satu dari sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga (al-‘asyarah mubasyarah).

Umar bin Khatab adalah salah seorang sahabat besar Rasulullah saw. Allah swt menurunkan beberapa ayat al-Qur’an untuk membenarkan pendapatnya atau juga menjawab pertanyaannya. Usai perang Badr Rasulullah saw memutuskan para tawanan perang musyrikin Makkah untuk membayar tebusan untuk kebebasannya. Itu saran Abu Bakar dan Rasulullah saw menyetujuinya. Umar bin Khatab tidak sependapat. Adalah lebih baik kalau kemudian para tawanan itu dibunuh untuk memberi pelajaran kepada mereka atas penentangannya kepada syariat Allah swt dan Rasulullah saw. Allah swt membenarkan pendapat Umar bin Khatab dan menegur Rasulullah saw atas keputusannya. Tidak layak bagi seorang nabi untuk meminta tebusan sementara masih banyak orang kafir berkeliaran di muka bumi.

Kualitas Umar bin Khatab yang seperti itu tetap saja membuatnya risau atas dosa-dosanya yang telah lalu. Bahkan meski ia tahu Rasulullah saw telah menjaminnya masuk surga, ia tetap saja gundah. Khawatir Allah swt murka atas perbuatannya dulu dan mengazabnya dengan siksaan yang tidak mungkin dapat ia tanggung. Kekhawatiran itu terus membayanginya sampai akhir kehidupannya. Bagaimana dengan kita?


| edit post

0 Responses to "Sejenak mengingat kesalahan"

Posting Komentar