RSS

kita ini masih muda, mas…

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

“Saya minta bantuannya karena anak saya mengaku stress, depresi, sumpek, tertekan dengan teman, guru dan linkungannya. Saya berniat siang ini berangkat ke sana untuk berbicara dengannya. Saya khawatir karena sebentar lagi ujian. Saya sebaiknya bagaimana?”

Begitu sebagian penggalan dialog saya dengan seorang ibu lewat ponsel kemarin pagi. Sembari memberikan beberapa saran yang menurut saya baik untuk menenangkannya, saya berjanji membantu ibu itu untuk ngobrol dengan putranya. Saya meminta beliau untuk menghubungi saya beberapa hari lagi.

Tadi pagi saya duduk berdua berhadap-hadapan dengan putra si ibu itu di sebuah ruangan. Awalnya si anak tidak mengaku kalau dirinya sedang tidak stabil. Bahkan meskipun ia bercerita beberapa hal tentang dirinya, ada yang ia sembunyikan. Sayapun tidak memaksanya.

Setelah ia bercerita, saya sampaikan hal-hal yang menurut saya penting untuk diketahuinya. Paling tidak secara teori ia memiliki landasan dalam menyikapi kondisi dirinya. Alhamdulillah, ia tetap sabar mendengar kalimat demi kalimat yang saya sampaikan.

Kurang lebih 15 menit saya menyampaikan tentang apa itu stress, penyebab dan kira-kira solusi apa yang sebaiknya dilakukan orang yang sedang dalam kondisi tersebut. Ia mengangguk dan menyanggupi beberapa permintaan saya untuk ia lakukan terkait dirinya serta orang tua yang menyayanginya.

Saya semakin percaya kesimpulan banyak orang yang mengatakan kalau remaja dan pemuda sekarang gampang down ketika menghadapi persoalan sedikit rumit. Nampaknya predikat sebagai generasi instant yang pingin serba cepat, pingin enak terus dan ogah sedih semakin menemukan kebenarannya.

Mereka terjebak dalam perangkap kehidupan pop ala televisi dan majalah-majalah remaja tiruan barat. Live is for fun, life is easy going, just for happy, free style dan ungkapan yang sejenis mewakili gambaran kehidupan yang mereka inginkan. Kampanye yang setiap hari mereka ikuti dengan sadar ataupun tidak, berhasil mengubah bangunan karakter yang harusnya dimiliki sebagai pewaris negeri.

Akibatnya ketika persoalan yang sebenarnya tidak seberapa, seakan-akan seperti memikirkan masalah orang satu kampung. Ditambah lagi dengan minimnya upaya untuk mencari solusi-solusi alternatif supaya masalahnya selesai. Ia hanya menunggu orang-orang di sekitarnya membantu untuk menyelesaikan masalahnya. Pasif dan menunggu.

Meskipun tidak semua anak muda berkarakter seperti itu, namun wabah itu terasa semakin menyebar ke mana-mana. Tidak ketinggalan pula menghinggapi generasi muda Islam. Mungkinkah amanah perjuangan umat ini diserahkan kepada mereka yang bertipologi seperti itu? Bukankah pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan?

Perjalanan panjang kehidupan manusia sudah mengajarkan pentingnya peran sosok para pemuda dalam kebangkitan sebuah masyarakat, bangsa ataupun peradaban. Energi besar yang berkumpul dalam diri mereka merupakan modal luar biasa jika mampu memaksimalkannya.

Bukankah para pendahulu kita generasi muslim pertama para pembela Rasulullah saw sebagian besar adalah anak-anak muda. Ada Ali dan Ja’far bin Abi Thalib serta Zubair bin Awwam yang masih berusia 8 tahun, Arqam bin Abi Arqam 16 tahun, Shahih Ar Rumy 19 tahun, Zaid bin Haritsah 20 tahun, Saad bin Abi Waqqash 17 tahun, dan Utsman bin Affan 17 tahun.

Bahkan Rasulullah saw mengangkat Usamah bin Zaid ketika berusia 18 tahun sebagai panglima perang menghadapi negara adi kuasa Romawi. termasuk Umar bin Khatab yang sering mengajak Abdullah bin Abbas mengikuti rapat-rapat kenegaraan karena kecerdasan dan kefaqihan ilmu agamanya.

Bagaimana dengan remaja dan pemuda Islam hari ini? Saatnya unjuk prestasi!!!




| edit post

0 Responses to "kita ini masih muda, mas…"

Posting Komentar