RSS

Membangkitkan Islam dengan Manhaj Nabawi.

abinehanafi Filed Under: Label:
Bismillahirrahmanirrahim

Bagaimana membangkitkan kembali peradaban Islam yang sedang berada di bawah bayang-bayang peradaban barat yang kafir?

Kita ingat bahwa perjuangan dakwah Rasulullah saw tidak bertumpu kepada kekuasan, ekonomi, ataupun aspek-aspek kehidupan lainnya. Beliau pernah mencoba cara-cara itu untuk memperbaiki masyarakatnya, namun tidak berhasil.

Dalam bidang politik beliau pernah mencoba ketika terjadi peristiwa peletakkan Hajar Aswad. Ketika semua suku dan kabilah sudah menghunus pedang, kuda-kuda perang sudah dilepas dari kandangnya dan setiap prajurit sudah menyiapkan jiwa dan raganya untuk kehormatan kaum, Muhammad saw melakukan sebuah terobosan politik yang luar biasa jeniusnya.

Meskipun mendapatkan mandat secara penuh untuk memutuskan pengembalian Hajar Aswad ke tempatnya, beliau mengajak seluruh ketua kabilah mengangkat batu itu bersama-sama. Makkah terhindar dari banjir darah. Tapi hanya begitu saja, setelah itu semua kembali kepada kebiasaan lama mereka. Hanya saja kemudian mereka memberi gelar kepada beliau Al-Amin, orang yang dapat dipercaya.

Begitu pula dalam bidang sosial ekonomi. Rasulullah saw dikenal sebagai seorang penyantun, suka menyambung tali silaturrahim dan membebaskan budak. Bahkan salah seorang budak itu kemudian beliau angkat menjadi anak beliau yakni Zaid bin Haritsah. Namun kebijakan-kebijakan itu juga belum mampu mengubah sruktur keyakinan dan perubahan masyarakat Quraisy secara keseluruhan. Ternyata bukan itu semua solusi permasalahan bagi kaumnya.

Beliau kemudian mengasingkan diri, berlari, mengungsi dan menjauhi masyarakatnya untuk merenung mencari jalan terbaik keluar dari krisis multidimensional tersebut. Beliau merasa otak dan akalnya sudah buntu.

Maka ketika Allah swt melalui malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, jawaban beliau adalah aku tidak bisa membaca. “bacalah ya Muhammad” “aku tidak bisa membaca”. Beliau merasa tidak lagi mempunyai alternatif untuk memecahkan persoalan masyarakatnya. Beliau membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia untuk menyelesaikan problem sosial di Makkah.

“Bacalah dengan nama Rabb mu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Rabb mu yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan qolam. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.”

Mengherankan tentunya kalau membandingkan problem yang harus Rasulullah saw hadapi serta solusi yang ingin beliau dapatkan dengan perintah pertama yang beliau terima. Apa hubungannya? Allah swt adalah pencipta dan pemilik jagad raya ini. Tentu saja Dia mengetahui apa yang terbaik bagi hambaNya.

“Bacalah dengan nama Rabb mu yang menciptakan". Dari sini sebuah paradigma baru telah dibangun, yaitu adanya rekrontruksi (penataan ulang) pola pikir (tashawwur) yang dilakukan dengan menggunakan potensi Rububiyah. Gugah, ketuk dan bangkitkan potensi Rabbaniyah yang sudah lama terpatri dalam nurani setiap manusia, sebelum membicarakan berbagai macam aturan dan hukum, sebelum menentukan halal dan haram.

Iqra’ Bismirabbika - merupakan suatu paradigma dalam menyerap realitas lahiriah (syahadah) dan metafisik (ghaib) melalui kesadaran Rububiyah. Pada dasarnya, kesadaran Rububiyah sudah melekat dengan penciptaan manusia itu sendiri, ia sesungguhnya adalah kesadaran yang bersifat fitri (sesuatu yang melekat pada proses penciptaan fisik manusia). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang-tulang belakang mereka, dan Ia jadikan mereka saksi atas diri mereka: “Bukanlah Aku Tuhan kamu?” mereka berkata: “Betul! Kami menyaksikan” Yang demikian supaya kamu (tidak) berkata pada hari kiamat: “sesungguhnya kami tentang hal ini termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. Al Araf : 172)

Tetapi oleh karena beratnya godaan dan rayuan dalam menjalani kehidupan di dunia ini dengan sponsor utama syaithan laknatullah, maka potensi Rububiyah tidak lagi dominan dalam diri manusia. Ia sesungguhnya tidak hilang dan tidak akan mungkin hilang, melainkan tertimbun dan tertekan oleh dahsyatnya dominasi nafsu syahwat dan godaan syaithan tersebut. Oleh karena itu di dalam mengantarkan seorang manusia menuju kesadaran dasar yang dituju oleh wahyu, maka seseorang itu harus melakukan proses iqra’ bismirabbik,. Yakni, mengembalikan dominasi fitrah dalam membaca dan menyerap realitas kehidupan dunia dan alam semesta yang ada.

Kandungan al-Alaq mengugah kesadaran manusia untuk mengetahui bahwa dirinya adalah ciptaan dan berasal dari sesuatu yang hina (‘alaq) dan bodoh ( ma lam ya’ lam). Sementara Rabb nya adalah Maha Pencipta (Kholiq), Maha Mulia (Akram) dan Maha Mengetahui (‘alamal Insan). Al-Alaq ayat 1-5 akan melahirkan falsafah hidup bertauhid.

Falsafah hidup tauhid, yaitu kesadaran dasar akan eksistensi, kekuasaan dan kemuliaan Allah sebagai sumber cipta dan sumber ilmu akan melahirkan kesadaran Allah sebagai tujuan akhir (ghoyah). Jika digambarkan seorang yang telah beriman berada pada posisi awal, dan tujuan hidup yang baru yaitu Allah Yang Maha Agung daya tarik itu berada pada posisi lain, maka perjalanan menuju Allah adalah mujahadah. Atau, perjuangan yang sesungguhnya adalah perjalanan menuju Allah.

Dengan demikian falsafah tauhid-lah yang menjadi dasar bagi perjuangan seorang Mukmin. Ia menjadi landasan, tempat berpijak, pangkalan dan tempat bertolak perjalanan hidup seorang Mukmin, dalam usahanya menuju kepada Allah. Perjuangan itu tidak saja merupakan jihad yang suci, tetapi sebuah perjalanan perjuangan yang berat, panjang dan melelahkan. Berbagai hambatan dan rintangan siap menghadang. Begitu juga godaan dan rayuan selalu muncul. Karena beratnya perjalanan itu, maka pada dasarnya tidak seorang pun yang sukses melewatinya, dalam arti mampu mencapai Allah, jika semata-mata berbekal pada kemampuan dirinya.

Jika kita menapak tilasi perjalanan sejarah Rasul bersama para sahabat, dan dikaitkan dengan kelahiran kesadaran atau falsafah hidup yang memunculkan orientasi hidup menuju Allah, maka kita memahami betapa falsafah hidup itu mengubah jalan sejarah, tidak saja bagi individu Mukmin, tetapi juga kemanusiaan dan dunia.

Sebelum lahirnya iman, ketergantungan, harapan hidup adalah kepada diri sendiri, atau kepada sanak keluarga atau handai taulan, atau kepada berhala-berhala baik yang berwujud maupun yang abstrak. Kemudian setelah lahirnya iman, maka seluruh harapan hidup digantungkan hanya kepada Allah, tunduk dan patuh ditujukan kepada Allah semata.

Dari sinilah bangunan peradaban itu dibangun kembali dengan mengacu kepada jejak langkah perjalanan Rasulullah saw dan para sahabat memenangkan Islam. Tidak mungkin apa yang Allah swt ajarkan kepada Rasulullah saw dan beliau lakukan salah serta keliru. Itu adalah kenyataan historis yang tidak terbantahkan, ditunjang landasan normatif sebagai panduan kita untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah saw dalam kehidupan.

Itulah manhaj nabawi. Metode ini bertumpu pada lima surat yang pertama kali turun kepada Rasulullah saw yaitu al-Alaq ayat 1-5, Al-Qolam ayat 1-7, Al-Muzammil ayat 1-10, al-Mudatsir ayat 1-7 dan al-Fatihah ayat 1-7. Kelima surat tersebut biasa disebut Sistematika Nuzulnya Wahyu.

Berawal dari orientasi hidup yang kita bangun melalui surat Al Alaq. Setelah itu lahirlah sebuah obsesi hidup berqur’an dengan surat Al Qolam. Dan ketika obsesi telah terbangun, dilanjutkan dengan proses Internalisasi, proses Kristalisasi melalui surat Al Muzammil sebagai bekal mujahid dakwah. Baru kita mengadakan Ekspansi dengan dakwah dan jihad dalam berbagai aspek serta lingkupnya dengan surat Al Mudatstsir. Dengan demikian maka akan lahir Paradigma yang terbuka dan membuka kejumudan, yaitu paradigma Al-Fatihah. Insya Allah segalanya akan berakhir dengan Alhamdulillah, berakhir dengan tegaknya peradaban yang mendapat keridhoan Allah swt.

| edit post

0 Responses to "Membangkitkan Islam dengan Manhaj Nabawi."

Posting Komentar